DANIEL PANE

SELAMAT DATANG DAN MENIKMATI YANG TELAH DISAJIKAN

Jumat, 30 Maret 2012

Teologi Sosial: TUAK dalam Globalisasi


TEOLOGI SOSIAL BAGI KAUM PEMINUM TUAK
Latar belakang
            Masalah sosial merupakan suatu masalah yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah ini, tidak terlepas dari zaman globalisasi.. Dalam sebuah artikel yang berjudul Gelombang Globalisasi Antara Dua Sisi, menusikan pendapat beberapa tokoh mengenai pengertian globalisasi. Menurut Prof. Emeritus Datuk Dr. Osman Bakar, globalisasi merupakan suatu himpunan proses pengaliran global berbagai-bagai jenis objek yang melibatkan perlbagai bidang aktivitas manusia. Objek yang diglobalisasikan bisa saja dalam bentuk maklumat, idea, nilai, institusi, atau sistem.[1] Dalam Kamus Dewan, “globalisasi didefenisikan sebagai fenomena yang mejadikan dunia mengecil dari segi perhubungan manusia disebabkan kepantasan perkembangan teknologi.”[2]
            Dalam artikel yang sama, penulis menguti pendapat Alvin Toffer dalam bukunya ‘Third Wave’ menafsirkan fenomena globalisasi sebagai suatu gelombang ketiga. Pada masa kini, terjadi pergeseran kekuatan dan pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada modal atau kapital, kemudian pada penguasaan terhadap informasi. Begitu juga menurut Ahmad Faraj, “maklamat globalisasi adalah untuk menjadikan semua aktivitas hidup setiap bangsa di dunia seperti ekonomi, industri, pemikiran budaya, keilmuan, ciptaan, HAM, dan sebagainya bersifat global dan tidak lagi menjadi ciri kepada mana-mana bangsa atau sejarah mereka baik bersifat agama, keturunan, dan budaya.”[3]
            Dari penjelasan di atas, maka globalisasi menurut pemahaman saya adalah suatu usaha atau proses atau suatu tahapan kolonialisme dari suatu bangsa terhadap bangsa lain.. Ketika suatu bangsa menanamkan modalnya ke bangsa lain, ia membawa budaya, sistem, atau nilai yang terdapat dalam budayanya ke bangsa lain yang memiliki perbedaan dengan bangsanya. Sehingga, bangsa yang dikunjungi masuk ke budaya, atau menerima budaya dari luar bangsa itu, dengan berbagai alasan. Ketika bangsa yang dikunjungi itu menerima budaya atau menyerap nilai moral yang dibawa oleh bangsa lain. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi bangsa asing itu, karena bangsa yang didatangi menjadi tempat dalam menanamkan modal dalam negeri itu. Hal ini pun merupakan suatu keuntungan bagi bangsa pribumi, karena hal ini dianggap sebagai suatu kesempatan untuk mengurangi pengangguran, dibukanya lapangan pekerjaan, dan untuk pembangunan bangsa itu sendiri. Untuk melancarkan kegiatan itu, maka dilakukanlah globalisasi dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Artinya tidak ada lagi pembatasan yang dianggap sebagai penghambat kegiatan ini. Negara lain terasa dekat walaupun jaraknya jauh.
            Keadaan yang demikian menyebabakan bangsa yang menerima penanaman modal itu bergantung kepada negara atau bangsa yang menanamkan modal itu. Hal itu menyebabkan muncul anggapan bahwa negara penanam modal penguasa terhadap negara tempat penanaman modal tersebut, dan  negara penanam modal menjadi penguasa terhadap negara penerima modal. Negara-negara yang biasanya penanam modal ialah negara-negara maju baik dalam bidang industri. Oleh karena itu, globalisasi tidak dapat terlepas dari kolonialisme.
            Dari penjelasan di atas, menurut pemahaman saya, globalisasi merupakan suatu tahapan dalam bidang kolonialisme bangsa-bangsa kaya atau maju untuk mengambil keutungan sebesar-besarnya terhadap bangsa-bangsa yang lemah.
Zaman globalisasi juga tidak terlepas dari dari masalah Bank Dunia, IMF, dan WTO. Doug Lorimer dalam artikelnya menuliskan pendapat Hirts dan Thompson, “bagi kaum kanan di negara-negara industri maju retorika mengenai globalisasi adalah merupakan sebagai ‘takdir’. Globalisasi memberikan kesempatan untuk melanjutkan kehidupan kegagalan yang bersifat menghancurkan dalam hal eksperimen kebijakan moneter dan individualisme yang radikal pada tahun 1980an. Hak-hak para buruh dan kesejahteraan sosial dan praktek-praktek semacamnya di era manajemen ekonomi nasional akan menyebabkan masyarakat barat menjadi tidak kompetitif dalam hubungannya dengan negara-negara yang baru saja mengalami proses industrialisasi di Asia dan karenanya harus dikurangi secara dramatisir”[4]
            Setelah resesi tahun 1980-1982, ada peningkatan dalam semua negara-negara ekonomi kapitalis maju. Resep neo-liberal nampak sudah jalan. Penerimaan oleh publik terhadap resep itu adalah yang paling luas karena crash pasar modal pada tahun  1987 tidak segera menghasilkan resesi harapan-harapan setiap orang. perekonomian negara-negara kapitalis maju terus tumbuh dan pengangguran sedikit menurun. Namun pada resesi tahun 1990-1993 menyebabkan dampak yang lebih luas, dimana pengangguran meningkat tajam, mencapai tingkat rata-rata resmi 8% di seluruh negara-negara imperialis. Kemudian dilakukan perbaikan besar-besaran pada tahun 1994 tetapi tidak berlangsung lama. Pengangguran di seluruh negara-negara imperialis hanya menurun menjadi 7% menurut laporan resmi.[5]
            Pada tahun 1980an juga, kemandegan ekonomi neo-liberal dijustifikasi dengan klaim bahwa pengorbanan kecil saat ini akan menghasilkan lapangan kerja baru dan kesejahteraan masa depan. Pada tahun 1990an, sangat jelas sekali bahwa tingkat pengangguran yang tinggi merupakan sebuah masa depan kehidpan yang permanen di dalam ekonomi pasar bebas.[6]
            produksi dan perdagangan yang berorientasi pada keuntungan.”[7]
            Dalam tulisannya juga dituliskan bahwa jantung dari globalisasi adalah mekanisme pasar bebas yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan ekonomi-politik secara alamiah. Di dalam pasar berbagai pihak akan bersaing untuk menjadi yang terbaik dan dalam pertarungan ini, pihak yang tidak dapat menyesuaikan diri dari kondisi pasar akan kalah dan tenggelam. Slogan dasar para pendukung globalisasi “biarkan pasar yang menentukan.” Bagi negara berkembang, globalisasi dianggap sebagai suatu berkat karena memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk bermain. Setiap negara hanya perlu menyesuaikan diri dengan aturan yang ada untuk mencari “keunggulan yang komperatif” dan tentunya siap bersaing di pasar terbuka.”[8]
            Bank Dunia berperan sebagai pengumpul atau penyedia modal bagi negara-negara maju dan bekembang. Bank Dunia memberikan modal atau menanamkan modal bagi negara-negara yang sedang berkembang. Sehingga modal-modal itu akan dikembalikan ke Bank Dunia. Negara yang menerima modal itu menjadi bergantung pada Bank Dunia yang beberapa anggotanya adalah anggota G8 (mis. Amerika Serikat, Inggris, dsb.). Oleh karena itu, ekonomi negara Dunia Ketiga mengikat diri kepada Bank Dunia. Sehingga Bank Dunia secara tidak langsung memberikan banyak keuntungan bagi negara-negara yang memiliki modal di Bank Dunia, khususnya anggota G8, negara yang memiliki modal atau saham di Bank Dunia.[9]
            Pada tahun 1995 didirikanlah WTO (World Trade Organization) yang bertindak berdasar komplain yang diajukan oleh anggotanya. Dengan demikian, WTO merupakan slahsatu aktor dan forum perundingan antarperdagangan dari mekanisme globalisasi yang terepenting.  Para penganut paham ekonomi neoliberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari ‘kompetisi bebas’. Kompetisi yang agresif adalah akbiat dari kepercayaan bahwa ‘pasar bebas’ adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sember daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.[10]
Muhammad Ali menuliskan bahwa terpuruk industri keuangan Amerika yang dipicu macetnya perumahan kualitas rendah ternyata menunjukkan betapa rapuhnya konsep dan sistem keuangan kapitalis liberal. Dengan kata lain, sistem keuangan yang selama ini dibanggakan Amerika beserta sekutu dan penganutnya selama ini, ternyata menunjukkan kerapuhan dan risiko yang ditimbulkannya bagi perekonomian dunia secara keseluruhan. Sebagaian ekonom Amerika menilai, keterpurukan sistem keuangan saat ini, berawal dari kebijakan The Fed menerapkan suku bunga rendah pada era awal 2001an. Ditambah maraknya berbagai inovasi produk di pasar keuangan. Kebijakan bunga rendah ini di satu sisi mendorong terjadinya booming Kredit yang luar biasa, sehinga menjadikan belanja masyarakat meningkat, sedangkan saving berkurang.
Dalam tulisan Hilmar Farid, ‘jantung dari globalisasi ialah mekanisme pasar bebas.’[11] Mekanisme pasar bebas ini mengakibatkan adanya kesempatan kepada pihak untuk memajukan industri atau perusahaan masing-masing. Mekanisme ini juga mengakibatkan munculnya persaingan-persaingan yang ketat untuk mencapati suatu keunggulan. Siapa yang menang, maka ialah yang maju, siapa yang kalah maka industri atau perusahaannya akan tenggelam.
            Untuk mengantisipasi industri atau perusahaan agar tidak bangkrut, maka setiap industri membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas untuk menghasilkan produk yang hebat, dan dapat diteima masyrakat global. Untuk itu, dibukalah lembaga-lembaga pelatihan tenaga kerja yang dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil. Keterampilan tenaga kerja tersebut dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dapat diterima masyarakat global, dan secara tidak langsung dapat mendapatkan modal sebanyak-banyaknya.
            Franz Magnis-Suseno menuliskan pendapat Marx, ‘pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar. Dalam pekerjaan, manusia membuat dirinya nyata.” Dalam tulisannya juga dituliskan bahwa manusia adalah makhluk ganda yang aneh. Disatu pihak ia adalah makhluk alami, seperti binatang. Ia membutuhkan alam untuk hidup. Di lain pihak, ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing. Ia terlebih dahulu menyesuaikan alam dengan kebutuhannya. Binatang hanya bekerja di bawah desakan naluri, persis sesuai dengan kebutuhannya, tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal. Bebas kerena ia dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung. Kegiatan bebas dan sadarlah ciri manusia. Universal karena di satu pihak ia dapat memakai pelbagai cara untuk tujuan yang sama (manusia dapat membangun rumah dari kayu, batu, tanah, bahkan salju).[12]
            Makna pekerjaan tercermin dalam perasaan bangga. Keringat yang tercurah tidak berarti apa pun ketika diperhadapkan dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaan. Pekerjaan membuktikan bahwa manusia itu nyata. Makna pekerjaan tidak terbatasa pada orang yang bekerja itu saja. Melalui pekerjaan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Manusia juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dan orang lain bergantung pada hasil kerja orang lain. Sehingga, hasil pekerjaan membuat orang merasa bahagia dan puas.
            Jika pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti menggembirakan, memberi kepuasan. Tetapi kenyataannya sering terjadi kebalikannya. Bagi kebanyakan orang, dan khususnya bagi para kaum buruh. Industri   dalam sistem kapitalis, pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka melainkan justru mengasingkan mereka. Pendapat Marx yang dikutip oleh Suseno, dalam sistem kapitalisme, orang yang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa, sehingga syarat untuk bisa hidup. Jadi pekerjaan tidak mengembangkan melainkan mengasingkan manusia baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.[13]
            Manusia tidak lagi dalam suasana kebebasan dalam bekerja. Namun, manusia telah terikat dengan industri dan mengasingkan diri dari kebebasannya. Manusia yang demikian melakukan pekerjaan dengan tekanan peraturan yang dilakukan oleh industri, dimana peraturuan tersebut bertujuan untuk menghasilkan produk yang baik, serta menguntungkan industri. Manusia menjadi proses industri. Manusia menjadi potensi, mereka ikut juga dieksploitasi dalam hal tenaga untuk kepentingan industri.
            Bila diperhatikan kehidupan dan karya pada zaman pertanian, dapat diperhatikan terjadi pertukuaran dengan sistem barter. Barang yang dihasilkan seseorang dapat ditukarkan dengan barang yang dihasilkan oleh orang lain. Dalam masyarakat tani setiap anggota keluarga mempunyai tanggung jawab tertentu dalam proses mencapai hasil akhir. Keadaan saling tergantung antara semua yang terkai sangat menonjol. Wanita yang bekerja dalam masyarkat tani tidak dipandang sebagai unsur tersendiri, terlindungi, dan terpisah.[14]
            Wanita sering dipandang sebagai sesuatu yang membantu kaum pria dalam menunaikan tugasnya. Misalnya, wanita mengurus rumah dan anak-anak agar pria dapat pergi bekerja; wanita sebagai perawat sehingga dokter (pria) mengerjakan seni penyembuhan; wanita mengurus kantor, mengatur surat-surat, pria yang mengambil keputusan. Wanita tidak lazim menjadi pekerja tambang, bangunan atau pengemudi truk, bahkan wanita tidak biasa menjadi dokter, insinyur, atau pemimpin perusahaan.
            Namun, dalam persaingan industri atau perusahaan tenaga kerja juga diperlukan yang memiliki ketrampilan dalam menghasilkan produk yang bermutu tinggi, serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin banyak. Oleh karena itu, maka suatu perusahaan atau industri memakai manusia yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Dalam hal ini, tidak diperdulikan jenis kelamin. Apa itu perempuan ataupun laki-laki, yang penting memiliki kemampuan untuk mencipta atau menghasilkan produk yang berkualitas.
            Dalam hal demikan, terbukalah kesempatan bagi wanita untuk menunjukkan dirinya bahwa ia juga dapat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, muncullah persaingan gender dalam tenaga kerja. Wanita dan laki-laki sama-sama bersaing untuk mendapatkan suatu pekerjaan dalam suatu industri atau perusahaan besar. Siapa yang memiliki kemampuan untuk berproduksi secara kualitas ia yang berhasil siapa yang lemah, ia akan tenggelam.
            Bagaimana pun wanita mesti membuktikan kemampuannya kepada dirinya sendiri dalam pekerjaan nontradisional apa pun, tetapi ia harus melakukannya dengan cara yang dapat diterima oleh dirinya maupun oleh para pria di sekitarnya, tanpa merusak diri sendiri. Wanita belajar berurusan dengan pria, dengan sesama wanita sebagaimana adanya, dengan segala ulah dan sikapnya. Masuknya kaum wanita ke segala bidang kekaryaan sedikit demi sedikit tampaknya menimbulkan perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Ada pria yang menganggap dunia kekaryaan sebagai wilayah kekuasaannya. Boleh saja wanita mengatur rumah tangga, tetapi kaum prialah yang harus mengatur dunia kekaryaan.[15]
            Dalam hal ini, sekolah maupun universitas memiliki peran dalam globalisasi. Lawrence Kohlberg menuliskan semua sekolah dan universitas perlu membantu menciptakan peranan terhadap partisipasi yang bertanggungjawab sebagai sarana untuk perkembangan kemasyarakatan, sebab peran kewarganegaraan dalam kerja yang akan dimasuki oleh para lulusan, justru tidak merupakan peranan untuk partisipasi yang bertanggung jawab. Lebih lagi, sekolah dibutuhkan untuk mendorong refleksi rasional dan moral serta pembahasan mengenai peranan partisipasi, jika pengalaman partisipatoris itu diharap mendukung perkembangan.[16]
            Kohlberg mengutip pendapat Fred Newmann ‘pendidikan umum seharusnya mengajarkan siswa untuk berfungsi di dalam suatu struktur legal politis demokrasi perwakilan. Hal ini berarti harus ada konsistensi anatara prinsip-prinsip demokrasi yang dianjurkan dan proses pendidikan aktual. Pendidikan harus membuktikan prinsip-prinsip utama dari demokrasi ini dan menerapkannya pada proses pendidikan. Persamaan kebebasan dan persetujuan dari orang yang diperintah merupakan dua prinsip yang paling fundamental di balik demokrasi perwakilan. Prinsip-prinsip persamaan kebebasan dan persetujuan itu dapat diwujudnyatakan delam proses pendidikan dengan memberikan kebebasan memilih, keterbukaan, intelek dan partisipasi aktif.[17]
            Di negara-negara berkembang adopsi sistem pendidikan dari luar sering kali mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan sistem pendidikan yang ada sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena seluruh daya guna sistem pendidikan tersebut diragukan. Generasi muda banyak memberontak terhadap metode-metode dan sistem pendidikan yang ada. Bahaya yang dapat timbul dari keadaan tersebut bukan hanya bentrokan-bentrokan dan malapetaka, melainkan justru bahaya yang lebih fundamental yaitu lenyapnya sifat-sifat perikemanusiaan. Freire dalam buku yang dituliskan Dr. C. Asri Budiningsih mengkritik selama ini sekolah telah menjadi alat penjinakan, yang memanipulasi peserta didik agar mereka dapat diperalat untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal tampil dan menghadirkan dirinya sebagai suatu lembaga strutural baru yang justru menggali jurang sosial. Segelintir orang yang mengenyam pendidikan formal mebmentuk kubu elite sosial (setelah ada legitimasi yang berupa ijazah, kepandaian, dan kesempatan) dalam kehidupan bermasyarakat sering memegang peranan dan posisi kunci dalam menentukan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.[18]
            Kebebasan jarang terdapat di sekolah maupun di perguruan tinggi. Kurikulum telah ditentukan oleh atasan yang harus diikuti oleh semua sekolah sejenis. Penyimpangan dapat dihukum. Demikian pula buku pelajaran, seta ujian-ujian tidak mengizinkan kebebasan. Dilakukan penelitian, bahwa kebebasan merupakan dasar pendidikan yang ternyata memberikan hasil yang menggembirakan. Belajar bebas berbeda sama sekali dengan belajar terikat oleh peraturan dan pengawasan yang ketat. Belajar yang terikat jauh lebih mudah dilaksanakan dan dapat dilakukan oleh setiap guru karena banyak sedikit dapat dijalankan secara maksimal.[19]
            Secara tidak langsung, sekolah justru menjadi pendukung dalam globalisasi. Dalam globalisasi diperlukan manusia-manusia yang memiliki ketrampilan. Dengan kata lain, sekolah mempersiapkan anak didik memasuki pengalaman. Untuk itu, diperlukan bahan-bahan pelajaran dan pengajar yang berkualitas untuk menciptakan manusia-manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, terjadilah penaikan harga pendidikan, serta orang-orang miskin tidak dapat memasukkan anak-anak mereka ke sekolah karena biaya pendidikan yang tinggi.
            Globalisasi juga  mempengaruhi budaya nasional. Kebudayaan adalah kenyatan yang dilahirkan manusia dengan perbuatan. Kebudayaan tidak saja asalnya, tetapi juga kelanjutannya bergantung pada manusia. Kebudayaan Barat yang disebut kebudayaan modern bermula pada zaman Renaisance. Bangsa Belanda merupakan bangsa yang lebih berperan dalam memasukkan budaya Barat ke Indonesia. Kira-kira pertengahan abad XX sejumlah pemuda Indonesia berhasil menghirup ilmu modern. Masyarakat yang telah dimanja oleh alam, akan lemah juangnya, bila pada suatu saat menghadapi suatu kondisi yang sukar dan gawat.[20]
            Semakin majunya zaman, semakin majulah dan semakin banyaklah kebutuhan manusia. Oleh karena itu budaya juga semakin dipengaruhi oleh zaman. Pada era globalisasi, terjadi persaingan antar industri untuk menghasilkan produk yang dikenal oleh masyarakat global, dan disukai masyarakat global. Oleh karena itu, industri membutuhkan tenaga kerja yang handal. Manusia pun menjadi ikut bersaing dalam mendapatkan pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya. Industri mencari pekerja yang handal tanpa memperhatikan jenis kelamin. Dalam hal ini, sekolah menjadi berperan dalam mempersiapkan manusia yang siap bekerja pada suatu industri. Tenaga kerja telah menjadi potensi (tenaga mereka dieksploitasi) untuk kepentingan industri.
            Kebudayaan nasional juga turut dipengaruhi globalisasi melalui acara-acara televisi, misalnya iklah. Iklan memperkenalkan beberapa barang yang diproduksi oleh sebuah industri atau perusahaan. Misalnya, KFC. Begitu juga dengan berdirinya swalayan-swalayan yang memperkenalkan beberapa produk-produk terkenal secara global, dengan harga tertentu. Barang-barang tersebut menarik perhatian beberapa masyarakat. Siapa yang mampu membelinya, maka akan dibeli. Namun, bagi masyarakat yang tidak mampu, akan berusaha mendapatkannya dengan tujuan agar tidak dikatakan sebagai orang ketinggalan zaman.
            Banyak masyarakat Indonesia tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi (SMA), karena kurangnya biaya untuk itu. Hal itu karena terjadinya nilai ekonomi yang rendah. Keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar keluaraganya. Agar eksistensinya sebagai manusia tidak hilang, beberapa masyarakat melakukan pekerjaan sebagai tanda ia ada. Karena kebutuhan semakin banyak, harga naik, maka beberapa masyarakat berjuanga memenuhi kebutuhan dasar itu sebagai kelangsungan hidup mereka.
            Selain memenuhi kebutuhan dasar, globalisasi menghasilkan produk-produk yang diminati masyarakat. Setiap orang ingin memilikinya, misalnya handphone. di tengah-tengah persaingan muncullah keinginan untuk mendapatkan barang yang global itu walaupun dengan cara halus maupun kekerasan.
            Di tengah-tengah persaingan bebas ini, muncullah tindakan kriminalitas. Soejono Dardjowidjojo menamai kriminalitas dengan white collar dan blue color. White collar diterjemahkan kriminalitas halus. Kriminal yang dilakukan dengan cara halus, tidak dengan fisik. Misalnya, pembobolan BNI Cabang Kebayoran, Korupsi, Penyelundupan berbagai barang-barang, misalnya beras, mobil mewah, dan sebagainya. Orang-orang yang melakukan demikian merupakan orang-orang kaya yang tidak puas denagn apa yang dimilikinya. Meskipun ia dapat memenuhi kebutuhan dasar, ia juga ingin memiliki barang-barang yang mewah, dikenal oleh masyrakat global, dan ingin menunjukkan keeksistensinya sebagai masyarakat yang global.  Blue color diterjemahkan kriminalitas kasar. Hal ini dilakukan dengan kasar, hingga dapat menghilangkan nyawa. Hal ini karena ingin mempertahankan hidup, dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan dasar.[21]
            Selain melakukan kriminalitas seperti di atas, muncul masalah-masalah sosial, pelacuran. Pelacuran ini muncul bukan hanya karena kurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, namun karena ikut sertanya masalah seks bebas. Seks bebas diakibatkan adanya acara-acara tontonan yang memiliki unsur seksualitas. Hal ini nyata dalam berseraknya kaset film porno, tontonan yang bersifat erotis dan sebagainya. Statistik menunjukkan bahwa kurang lebih 75% dari jumlah pelacur adalah wanita-wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia muda, yaitu 13-24 tahun. Hal ini diakibatkan beberapa hal, yaitu:[22]
  1. Menentang kewibawaan pendidik, dan konflik dengan orang tua atau salah seorang anggota keluarga
  2. Tudak mampu berprestasi di sekolah, konflik dengan teman-teman sekolah
  3. Merasa tidak puas atau nasib sendiri.
  4. Kekacauan kepribadian
  5. Mengikuti semau gue
Beberapa masyarakat mengalami stress karena tidak mampu memenuhi kebutuhannya dalam era globalisasi. Banyak produk yang ditawarkan oleh beberapa industri, namun harganya tidak dapat terjangkau. Oleh karena itu, beberapa cara dilakukan untuk keluar dari tekanan itu.
Salah satu cara yang dipakai ialah menggunakan narkoba. Beberapa masyarakat juga mengkonsumsi narkoba agar dianggap gaul, dianggap hebat, bahkan sudah mengikuti zaman. Masalah penyalahgunaan narkotika adalah masalah sosial dan kesehatan yang kompleks yang pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar, yaitu:[23]
  1. Tersedia obat itu sendiri dan mudah didapat dengan harga terjangkau
  2. Kepribadian individu atau pemakai
  3. Masyarakat atau tempat perilaku penyalahgunaan obat terjadi seperti keluarga, sekolah.


Analisis Sosial, dan Keprihatinan Sosial
            Dari keterangan di atas, tampak muncul suatu masalah yang terdapat di kehidupan sosial, terutama bagi para peminum Tuak.oleh karena itu, perlu suatu analisa sosial, mengapa itu sampai terjadi. Selanjutnya, ditemukan apa yang menjadi keprihatinan sosial yang ada di dalam masalah sosial tersebut.
            Dalam kasus peminum tuak, ada pihak-pihak yang terlibat dalam masalah sosial, yaitu:
        Pejabat
        Tokoh Masyarakat/ yang dituakan, orang kaya.
        Pemilik warung
        “Paragat”
        Peminum tuak
Selain itu juga, ada pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari permasalahan sosial dalam konteks peminum tuak, yaitu:
Pihak yang paling diuntungkan:
        Pemilik warung : Menambah penghasilan, menambah relasi,
        “Paragat” : Menambah penghasilan
        Peminum : memperoleh manfaat “sementara” (Stress, beban pikiran hilang).
        Pemerintah : Mempermudah sosialisasi informasi.
        Agen tuak : menambah penghasilan
Pihak yang dirugikan:
        Peminum : merusak kesehatan
        Keluarga : kurangnya perhatian terhadap anak, dan istri, serta mempengaruhi stabilitas ekonomi keluarga.
        Masyarakat sekitar : Keamanan dan ketentraman terganggu.
        Gereja : para peserta kebaktian lingkungan semakin berkurang
Dalam kasus yang demikian, tentu ada beberapa pihak yang tidak mau tinggal dalam masalah yang terdapat padanya. Beberapa mereka ada yang menuntut perubahan untuk menata kehidupan sosial yang barangkali terganggu akan kehadiran kedai tuak.


Pihak yang menuntut perubahan:
1. Keluarga :
        Agar adanya perubahan dari bapak yang hidup dalam kebiasaan minum tuak.
        Agar bapak menyadari peran dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
        Agar bapak mempertahankan keharmonisan dalam keluarga.
        Agar meminimalisasikan pengeluaran di warung tuak.
2. Masyarakat :
        Agar terciptanya ketentraman dan ketertiban dari para peminum tuak.
        Agar tidak terjadi tindakan kriminalitas.
        Agar tidak melakukan perjudian, narkoba.
3. Pemerintah (Pihak kepolisian)
        Agar tercipta keamanan dalam kehidupan (menciptakan suasana yang kondusif)

Dalam analisa sosial ini, dilakukan analisis budaya berupa nilai atau pun norma yang terdapat dalam budaya.
Nilai dan norma sosial:
        Tuak dianggap sebagai minuman khas orang Batak.
        Menambah relasi/Parsaoran, karena warung dianggap sebagai tempat untuk bertemu dengan rekan, berdiskusi, ada istilah Partungkoan.
        Minum tuak sah-sah saja bila dikonsummsii secara tidak berlebihan.
Dalam nilai dan norma sosial, oleh karena itu, menurut saya yang membawa nilai itu adalah Masyarakat Batak sendiri. Namun ada sanksi sosial .
Sanksi sosial yang menonjol yang diberlakukan jika tidak mengikuti nilai dan norma sosial yang ada:
¨      Hukuman: apabila peminum tuak, meminum tuak dengan berlebihan dan menyebabkan mereka menjadi mabuk, maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran nilai dan norma karena telah mengganggu ketentraman masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dan pihak yang berwajib akan turun tangan untuk proses lebih lanjut.
¨      Hukuman: apabila peminum tuak tidak lagi hanya mengkonsumsi tuak saja, tetapi disamping itu mereka melakukan hal-hal yang juga bertentangan/melanggar nilai-nilai dan norma masyarakat, seperti: perjudian, narkoba, tindakan kriminalitas, perselingkuhan dan lain sebagainya.
Dari keterangan di atas, tampaklah pola pikir dan tingkat kesadaran pelaku dalam masalah peminum tuak.
a.       Peminum Tuak : Liberal dan Naif. Karena peminum tuak sering menyalahkan orang lain, oleh karena ia kurang mendapatkan kesempatan dalam melakukan perubahan.
b.      Pemilik warung : Konservatif dan Magis. Karena pemilik warung merasa bahwa dialah akar dari segala masalah yang muncul, dan tidak memberikan kemampuan anlisis antara sistem dan struktur terhadap permasalahan responden, oleh karena ia kurang mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
c.       Pemerintah : liberal dan naif. Pemerintah dalam hal ini selalu mempersalahkan pelaku (Peminum tuak) sebagai penyebab masalah. Pemerintah tidak mempersalahkan sruktur dan sistem yang berlaku dalam maslah ini.
d.      Keluarga : Liberal, progresif dan Naif. Karena keluarga sering menyalahkan pemerintah menilai dengan kritis segala sesuatunya berdasarkan struktur dan sistem sosial.
e.       Masyarakat : Progersif dan Kritis Karena Masyarakat menilai dengan kritis segala sesuatunya berdasarkan struktur dan sistem sosial yang ada dalam masyarakat.         
Gereja : Liberal dan Naif. Karena pihak gereja hanya mampu mempersalahkan objek tertentu (peminum tuak)
Maka, saya menemukan apa yang menjadi rumusan keprihatinan sosial, yaitu:
“semakin berkembangnya ekonomi yang marginal, maka semakin banyak jugalah masyarakat yang akan menjadi terpinggirkan karena termarjinal secara ekonomi, sehingga mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan keluarga.”

Refleksi Teologi
            Dari Perjanjian Lama (PL)
            Cornelis Alyona menuliskan sebuah artikel yang memberikan suatu pandangan teologi terhadap perlindungan orang miskin. Beliau mengambil nas Ulangan 25: 35-55 dan perbandingan terhadap Ulangan 15: 1-18.
            Menurutnya[24], bila berbicara tentang orang miskin di Israel selalu terkait dengan kehidupan sosial ekonomi. Orang miskin ditujukan kepada orang yang lemah secara finansial, kemudian orang pendatang atau upahan karena utang, dan orang yang menyerahkan dirinya yang berasal dari kaum orang asing. Perlindungan terhadap orang miskin dilakukan lewat penebusan bersyarat (terhadap majikan orang miskin yang kaya) dan penebusan tanpa syarat (Tahun Yobel).     Sarana dan wahana tindakan perlindungan itu dikukuhkan dalam hukum kekudusan sebagai perekat dan pengokoh rasa senasib-sepenanggungan.
            Dari penjelasan di atas, maka tema teologi yang saya usulkan ialah Teologi Pengharapan. Saya mengusulkan tema ini karena tema ini sangat cocok bagi masyarakat yang pada saat sekarang sangat susah, hidup menderita, bahkan terpinggirkan. Tema ini sudah muncul ketika bangsa Israel berada dalam perbudakan Mesir, Allah mengirimkan pembebas, untuk membebaskan mereka dari perbudakan tersebut. Hal itu berarti, Allah juga turut bekerja atau berkarya dalam setiap kehidupan manusia. Semua karya Allah bertujuan untuk pembebasan umatNya. Allah tetap memperhatikan dan mendengarkan setiap seruan minta tolong ciptaanNya.
            Allah menyatakan diriNya, agar diriNya dikenal begitu juga dengan namaNya yang kudus (Kel.3 dan 6). Setiap Allah menyatakan diriNya, terdapat suatu panggilan atau utusan untuk membebaskan umatNya. Dari penyataan tersebut, Allah memberikan suatu pengharapan kepada umatNya akan suatu pembebasan dari setiap beban yang dipikul atau penderitaan yang dialami.
            Keluaran 6:5 “Sebab itu katakanlah kepada orang Israel: Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan mereka dan menebus kamu dengan tangan yang teracung dan dengan hukuman-hukuman yang berat.” Kata kerja melepaskan (nasai) dipakai acap kali untuk perbuatan Allah yang sama, bnd. Kel.3:8; 5:23. Pada hari itu TUHAN melepaskan orang Israel dari tangan orang Mesir. Ternyata dari sini bahwa orang Israel diandaikan sebagai orang-orang tahanan yang tadinya terbelenggu, meringkuk di dalam suatu lobang penjara; prerbuatan Allah diandaikan sebagai tindakan penyerobotan, dimana rumah penjara itu direbut, pintu gerbangnya dibongkar, rantai-belenggunya dilepaskan dan para tahanan dibolehkan luput, sehingga bebas dan merdeka.[25] Dalam pengharapan perbuatan Allah selaku pembebas memanglah ditujukan kepada kelahiran umat TUHAN yang mengabdi kepadaNya: tidaklah dengan kebetulan saja, bahwa sebutan jemaat bagi umat Israel dipakai untuk pertama kalinya dalam cerita malam paskah (Kel.12:6).[26]
            Ketika bangsa Isarel berada dalam pembuangan Babel, Allah juga memberikan suatu pengharapan bagi bangsa itu di tengah-tengah penderitaan, kehilangan identitas sebagai suatu bangsa, keterpurukan politik maupun ekonomi. Allah memberikan pengharapan bahwa TUHAN Allah telah dan akan terus menerus bekerja atau berkarya dalam memberikan kelepasan atau pembebasan (Yes.54-55; Yer. 30-34; Yeh. 33-39; dst).
            Dari penjelasan di atas, maka Allah dijelaskan sebagai seorang Pemelihara bagi umatNya. Ia memelihara umatNya dan peristiwa pembebasan merupakan bentuk nyata pemeliharaan Allah kepada umatNya. Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan bagi bangsa Israel, Allah berinisiatif untuk membebaskan mereka dari kondisi yang memprihatinkan itu.

Dari Perjanjian Baru
Yesus juga memperkenalkan TUHAN Allah, Bapanya sebagai Pemelihara. Dalam ajaran Yesus, terdapat penekanan khusus mengenai pemeliharaan Allah yang istimewa akan makhluk-makhluk ciptaanNya. Hal ini tampak dalam ucapanNya dalam Mat. 10: 29). Hal ini didukung lebih lanjut oleh ajaran yang mengatakan bahwa Bapa Sorgawi memberikan makanan kepada burung-burung tanpa mereka harus menabur benih, memetik, atau menyimpan makanannya (Mat. 6:26). Ajaran itu menggambarkan Allah mempedulikan ciptaanNya. Dalam surat-surat PB juga disebutkan tentang pemeliharaan Allah, seperti Roma 1: 19; Yak. 1:17, dll. Walaupun pemeliharaan Allah dirasakan umat manusia, namun Ia memberikan perhatian khusus kepada mereka yang percaya kepadaNya, tertama dalam mengaruniakan berkat-berkat rohani bagi mereka.[27]


Disain Intervensi
            Pada bagian ini, saya mencoba merumuskan disain intervensi yang hendaknya dilakukan gereja di era golbalisasi yang menjadi faktor penyebab masalah sosial menuju  ke arah yang transformatif. Dalam konteks globalisasi neoliberal, gereja terpanggil mengungkapkan komitmen iman yang eksplisit dan umum dalam perkataan dan perbuatan. Gereja dapat mengungkapkan iman mereka dengan cara:[28]
a.       Memilih jalan pemuridan yang mahal, bersiap menjadi marti dengan mengikuti Kristus.
b.      Mengambil suatu sikap iman ketika kuasa ketidakadilan dan penghancuran mempertanyakan integritas Injil; mengakui imannya dengan terang-terangan dengan mengatakan TIDAK! Kepada kekuasaan-kekuasaan dan kerajaan-kerajaan.
c.       Mengambil bagian dalam persekutuan kerajaan Allah.
d.      Saling berbagi dengan penderitaan dan kesakitan rakyat dan bumi pertiwi dalam dampingan Roh Kudus yang sedang mengerang bersama seluruh ciptaan (Rom. 8:22-23)
e.       Mengadakan perjanjian untuk mewujudkan keadilan daam kehidupan bersama dengan orang-orang dan ciptaan Allah yang lain, dan
f.        Solider dengan rakyat yang menderita dan bumi pertiwi. Dan mengadakan perlawanan terhadap kuasa ketidakadilan dan perusak.
Dari pelatian yang diberikan di PELPEM GKPS, Disain intervensi yang diberikan ialah:
1.      Coercion atau power strategy (strategi kekuasaan atau pemaksaan).
Oleh : Ketua RT, dan Penatua lingkungan
¨      Membuat peraturan tentang jadwal buka dan tutup untuk warung tuak.
¨      Mengeluarkan sanksi bagi peminum tuak yang menciptakan tindakan kriminalitas, dan bagi pemilik warung yang melanggar peraturan jadwal.

  1. Persuacive strategy (strategi persuasi).
Dilakukan oleh : Pihak Gereja, Penatua lingkungan
¨      Gereja melalui pendeta dan seluruh pelayan full timer termasuk sintua lingkungan memberikan nasehat berupa bujukan kepada para peminum tuak untuk tidak mengkonsumsi tuak secara berlebihan yang menyebabkan mereka mabuk dan menimbulkan tindakan kriminalitas.
¨      Gereja tidak memberikan sanksi tetapi hanya memberika pengertian dan kesadaran bagi para peminum tuak tentang akibat dan dampak yang mereka hasilkan dari meminum tuak.
¨      Gereja dan penatua lingkungan memberikan penjelasan dan pengertian kepada peminum tuak dengan langsung terjun ke warung atau datang ke rumah. Pengertian yang diberikan harus mencakup hal—hal yang logis, emosional, dan moral.

¨      Gereja dan penatua membuat selogan atau iklan yang memuat pernyataan sikap yang bisa membuka kesadaran bagi para peminum tuak tentang dampak yang mereka hasilkan dari kebiasaan minum tuak.

  1. Reeducative strategy (mendidik kembali)
Dilakukan oleh : Gereja dan Pemerintah (Ketua RT)
¨      Gereja memberikan Pendekatan dan penyadaran melalui Khotbah, PA,
¨      Ketua RT memberikan penyuluhan akan pentingnya kesejahteraan dalam keluarga, keamanan dan ketertiban lingkungan.
¨      Gereja mendampingi secara pastoral dengan melakukan kunjungan kepada target. Dalam hal ini gereja akan membuka kesadaran untuk melihat dampak dan keprihatinan kepada keluarga.
¨      Ketua RT menunjukkan fakta dengan mengundang dokter yang bisa mensosialisasikan dampak minum tuak bagi kesehatan.
¨      Mengundang Psikolog atau pihak kepolisian untuk menjelaskan akibat dari kemabukan dan kehilangan kesadaran karena tuak.
¨      Gereja Mengadakan pertemuan atau bimbingan tentang kehidupan keluarga Kristen sejati. Dalam hal ini gereja akan memberikan penjelasan tentang fungsi dan peranan setiap anggota dalam keluarga khususnya peranan bapak sebagai imam.



Refleksi Khusus
            Selama mengikuti kuliah ini, saya sangat capek dalam melakukan penelitian terhadap masalah sosial. Hal  ini disebabkan karena kurangnya waktu untuk meneliti, karena masih ada kegiatan yang harus dilakukan selama praktek lapangan berlangsung. Dalam hal ini, saya mengakui saya memiliki kelemahan secara fisik dalam melakukan penelitian, terutama ketika saya meneliti di kedai tuak. Secara pribadi, saya tidak begitu senang minum tuak, bahkan tidak pernah. Namun, karena saya meneliti peminum tuak, saya disuruh sedikit demi sedikit untuk meminumnya.
            Mata kuliah ini juga telah membuka perhatian saya terhadap masalah sosial yang muncul dalam masyarakat yang global. Saya juga diajak untuk melihat sumber dari penyebab masalah ini muncul sampai kepada inti-intinya. Saya sangat beruntuk memasuki kelas ini, walaupun kegiatan yang di dalamnya sangat melelahkan. Saya mengakui bahwa dari segi potensi saya, saya tidak kuat, tetapi aku dimampukan oleh Allah Bapa, dimana Dia membimbing aku melalui Roh Kudusnya.
            Saran saya, kalau bisa mata kuliah ini dikhususkan di satu semester seperti praktek lapangan (sistem live in). hal ini saya katakan agar penelitian dapat dilakukan dengan konsentrasi penuh terhadap sampel penelitian. Sehingga, ketika melakukan penelitian, tidak lagi terganggu oleh tugas-tugas perkuliahan lainnya. Kemudian waktu untuk rekoleksi atau pun pelatihan kalau bisa di perpanjang, misalnya satu minggu.




 Sumber Data/ Buku
Gelombang Globalisasi di Antara Dua Sisi,
Doug Lorimer, “Globalisasi”, Neo-Liberalisme dan Dorongan-dorongan Kemunduran Ekonomi Kapitalis
Hilmar Farid, Senjata Tuan Makan Korban: Jalan APEC Menaklukan Buruh”, 6
Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori: Pembangunan dan Globalisasi,
Sritua Arief, Laporan dan Nasihat Sang Guru,.
Franz Magniz – Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopisme Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pestaka Utama, 2003
Nancy van Vuuren, Wanita dan Karier: bagaimana mengenal dan mengatur karya, Yogyakarta: Kanisisu, 1988
Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1995
C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005
S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
Soejono Dardjowidjojo, Robohnya Moral kami, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
Kartini Kartono, Patologi Sosial: Jilid I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999
Satya Joewana, dkk, Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk mencegah Penyalahgunaan Narkoba,Yogyakarta: Media Pressindo, 2001
Robert P. Borrons, Berakar di Dalam Dia dan Dibangun di Atas Dia Jakarta: BPK-GM, 2000.
Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta: BPK-GM, 2005
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I Jakarta: BPK-GM, 2005
Team Keadilan DGD, Geneva dan PMK HKBP 2006, Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi, Jakarta: PMK-HKBP, 2006



[2] Ibid. loc.it
[3] Ibid. 2
[4] Doug Lorimer, “Globalisasi”, Neo-Liberalisme dan Dorongan-dorongan Kemunduran Ekonomi Kapitalis, 6
[5] Ibid. loc.it
[6] Ibid, 6-7
[7] Hilmar Farid, Senjata Tuan Makan Korban: Jalan APEC Menaklukan Buruh”, 6
[8] Ibid, 1
[9] Bdk. Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori: Pembangunan dan Globalisasi, 203 – 204; Sritua Arief, Laporan dan Nasihat Sang Guru, 1 – 6.
[10] Mansour Fakih, Op.Cit, 212-218
[11] Hilmar Farid, Senjata Tuan Makan Korban: Jalan APEC Menaklukkan Buruh, 1
[12] Franz Magniz – Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopisme Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pestaka Utama, 2003), 90
[13] Ibid, 95
[14] Nancy van Vuuren, Wanita dan Karier: bagaimana mengenal dan mengatur karya, (Yogyakarta: Kanisisu, 1988), 10
[15] Ibid, 58 – 59
[16] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 226
[17] Ibid, 226 – 227
[18] C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 3
[19] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),  84-85
[20] Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 40-42
[21] Soejono Dardjowidjojo, Robohnya Moral kami, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 111 – 112
[22] Kartini Kartono, Patologi Sosial: Jilid I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 194
[23] Satya Joewana, dkk, Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk mencegah Penyalahgunaan Narkoba,(Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), 50
[24] Cornelis Alyona, “Perlindungan Terhadap Orang Miskin dalam Imamat 25:35-55 (Perbandingan dengan Ulangan 15: 1-18), dalam buku Robert P. Borrons, Berakar di Dalam Dia dan Dibangun di Atas Dia (Jakarta: BPK-GM, 2000),45-59.
[25] Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama I, (Jakarta: BPK-GM, 2005), 134
[26] Ibid, 145
[27] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (Jakarta: BPK-GM, 2005), 50-51
[28] Team Keadilan DGD, Geneva dan PMK HKBP 2006, Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi, (Jakarta: PMK-HKBP, 2006), 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar