DANIEL PANE

SELAMAT DATANG DAN MENIKMATI YANG TELAH DISAJIKAN

Kamis, 29 Maret 2012

Globalisasi, Kapitalisme, dan Budaya


PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP
BUDAYA DAN NILAI SOSIAL RESPONDEN YANG DITELITI
           
            Pendahuluan
            Mansour Fakih menuliskan, “globalisasi sesungguhnya secara sederhana dipahami sebagi suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global. Serta, globalisasi pada dasarnya merupakan salah satu fase perjalanan panjang perkembangan kapitalisme liberal, secara teoritis yang sebenarmya telah dikembangkan oleh Adam Smith.”[1] Dengan kata lain, globalisasi merupakan usaha atau suatu tahap dari kolonialisme negara-negara yang kaya terhadap negara-negara yang miskin atau yang sedang berkembang. Oleh karena itu, globalisasi muncul pada mulanya dari segi ekonomi suatu negara.
            Monika Eviandaru, Indrawati D.S menuliskan “globalisasi sesungguhnya didukung dan dipacu oleh warisan pengetahuan zaman pencerahan yang menggiatkan modernisasi dan industrialisasi dalam kehidupan di dunia ini. Batas – batas lokal (teritorial) dalam kehidupan ekonomi (dan kebudayaan) global yang cenderung hanya menghargai segala sesuatu yang bersifat asal baru (novel) dan asal dapat terjangkau atau terbeli (affordable).”[2] Maksudnya, globalisasi tidak terlepas dari zaman pencerahan yang menggiatkan moderniasasi dan indutrialisasi dalam kehidupan di dunia. Sehingga globalisasi menumbuhkan dampak yang tinggi bagi kehidupan dunia, termasuk dalam pembangunan industri-industri yang memproduksi sebuah produk yang sangat diminati masyarakat global (umum). Jika demikian berlanjut terus-menerus, maka sistem ekonomi atau kebudayaan maupun sistem sosial lokal mengalami ancaman untuk mempertahankan sistem ekonomi dan kebudayaan serta sistem sosial. Para penduduk akan lebih menyenangi produk yang dikenalkan oleh beberapa Industri. Masyarakat akan menerima produk tersebut jika produk tersebut baru (tidak ketinggalan zaman), serta dapat terjangkau atau dapat dibeli.
            Dari penjelasan di atas, penulis beranggapan bahwa globalisasi memiliki dampak yang sangat besar terhadap budaya dan nilai sosial dalam suatu masyarakat lokal. Dampak tersebut merupakan suatu ancaman bagi sistem masyarakat lokal. Untuk itulah, penulis mencoba menggumuli dampak tersebut dan ingin memperhatikan sejauh mana dampak itu mempengaruhi budaya, sistem sosial dalam masyarakat terkhusus kepada responden yang diteliti (para peminum tuak).

Pengaruh Globalisasi Terhadap Budaya Dan Nilai Sosial Masyarkat
            Dalam tulisan Hilmar Farid, ‘jantung dari globalisasi ialah mekanisme pasar bebas.’[3] Mekanisme pasar bebas ini mengakibatkan adanya kesempatan kepada pihak untuk memajukan industri atau perusahaan masing-masing. Mekanisme ini juga mengakibatkan munculnya persaingan-persaingan yang ketat untuk mencapati suatu keunggulan. Siapa yang menang, maka ialah yang maju, siapa yang kalah maka industri atau perusahaannya akan tenggelam.
            Untuk mengantisipasi industri atau perusahaan agar tidak bangkrut, maka setiap industri membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas untuk menghasilkan produk yang hebat, dan dapat diteima masyrakat global. Untuk itu, dibukalah lembaga-lembaga pelatihan tenaga kerja yang dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil. Keterampilan tenaga kerja tersebut dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dapat diterima masyarakat global, dan secara tidak langsung dapat mendapatkan modal sebanyak-banyaknya.
            Franz Magnis-Suseno menuliskan pendapat Marx, ‘pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling dasar. Dalam pekerjaan, manusia membuat dirinya nyata.” Dalam tulisannya juga dituliskan bahwa manusia adalah makhluk ganda yang aneh. Disatu pihak ia adalah makhluk alami, seperti binatang. Ia membutuhkan alam untuk hidup. Di lain pihak, ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing. Ia terlebih dahulu menyesuaikan alam dengan kebutuhannya. Binatang hanya bekerja di bawah desakan naluri, persis sesuai dengan kebutuhannya, tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal. Bebas kerena ia dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung. Kegiatan bebas dan sadarlah ciri manusia. Universal karena di satu pihak ia dapat memakai pelbagai cara untuk tujuan yang sama (manusia dapat membangun rumah dari kayu, batu, tanah, bahkan salju).[4]
            Makna pekerjaan tercermin dalam perasaan bangga. Keringat yang tercurah tidak berarti apa pun ketika diperhadapkan dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaan. Pekerjaan membuktikan bahwa manusia itu nyata. Makna pekerjaan tidak terbatasa pada orang yang bekerja itu saja. Melalui pekerjaan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Manusia juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dan orang lain bergantung pada hasil kerja orang lain. Sehingga, hasil pekerjaan membuat orang merasa bahagia dan puas.
            Jika pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti menggembirakan, memberi kepuasan. Tetapi kenyataannya sering terjadi kebalikannya. Bagi kebanyakan orang, dan khususnya bagi para kaum buruh. Industri   dalam sistem kapitalis, pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka melainkan justru mengasingkan mereka. Pendapat Marx yang dikutip oleh Suseno, dalam sistem kapitalisme, orang yang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa, sehingga syarat untuk bisa hidup. Jadi pekerjaan tidak mengembangkan melainkan mengasingkan manusia baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.[5]
            Manusia tidak lagi dalam suasana kebebasan dalam bekerja. Namun, manusia telah terikat dengan industri dan mengasingkan diri dari kebebasannya. Manusia yang demikian melakukan pekerjaan dengan tekanan peraturan yang dilakukan oleh industri, dimana peraturuan tersebut bertujuan untuk menghasilkan produk yang baik, serta menguntungkan industri. Manusia menjadi proses industri. Manusia menjadi potensi, mereka ikut juga dieksploitasi dalam hal tenaga untuk kepentingan industri.
            Bila diperhatikan kehidupan dan karya pada zaman pertanian, dapat diperhatikan terjadi pertukuaran dengan sistem barter. Barang yang dihasilkan seseorang dapat ditukarkan dengan barang yang dihasilkan oleh orang lain. Dalam masyarakat tani setiap anggota keluarga mempunyai tanggung jawab tertentu dalam proses mencapai hasil akhir. Keadaan saling tergantung antara semua yang terkai sangat menonjol. Wanita yang bekerja dalam masyarkat tani tidak dipandang sebagai unsur tersendiri, terlindungi, dan terpisah.[6]
            Wanita sering dipandang sebagai sesuatu yang membantu kaum pria dalam menunaikan tugasnya. Misalnya, wanita mengurus rumah dan anak-anak agar pria dapat pergi bekerja; wanita sebagai perawat sehingga dokter (pria) mengerjakan seni penyembuhan; wanita mengurus kantor, mengatur surat-surat, pria yang mengambil keputusan. Wanita tidak lazim menjadi pekerja tambang, bangunan atau pengemudi truk, bahkan wanita tidak biasa menjadi dokter, insinyur, atau pemimpin perusahaan.
            Namun, dalam persaingan industri atau perusahaan tenaga kerja juga diperlukan yang memiliki ketrampilan dalam menghasilkan produk yang bermutu tinggi, serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin banyak. Oleh karena itu, maka suatu perusahaan atau industri memakai manusia yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Dalam hal ini, tidak diperdulikan jenis kelamin. Apa itu perempuan ataupun laki-laki, yang penting memiliki kemampuan untuk mencipta atau menghasilkan produk yang berkualitas.
            Dalam hal demikan, terbukalah kesempatan bagi wanita untuk menunjukkan dirinya bahwa ia juga dapat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, muncullah persaingan gender dalam tenaga kerja. Wanita dan laki-laki sama-sama bersaing untuk mendapatkan suatu pekerjaan dalam suatu industri atau perusahaan besar. Siapa yang memiliki kemampuan untuk berproduksi secara kualitas ia yang berhasil siapa yang lemah, ia akan tenggelam.
            Bagaimana pun wanita mesti membuktikan kemampuannya kepada dirinya sendiri dalam pekerjaan nontradisional apa pun, tetapi ia harus melakukannya dengan cara yang dapat diterima oleh dirinya maupun oleh para pria di sekitarnya, tanpa merusak diri sendiri. Wanita belajar berurusan dengan pria, dengan sesama wanita sebagaimana adanya, dengan segala ulah dan sikapnya. Masuknya kaum wanita ke segala bidang kekaryaan sedikit demi sedikit tampaknya menimbulkan perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Ada pria yang menganggap dunia kekaryaan sebagai wilayah kekuasaannya. Boleh saja wanita mengatur rumah tangga, tetapi kaum prialah yang harus mengatur dunia kekaryaan.[7]
            Dalam hal ini, sekolah maupun universitas memiliki peran dalam globalisasi. Lawrence Kohlberg menuliskan semua sekolah dan universitas perlu membantu menciptakan peranan terhadap partisipasi yang bertanggungjawab sebagai sarana untuk perkembangan kemasyarakatan, sebab peran kewarganegaraan dalam kerja yang akan dimasuki oleh para lulusan, justru tidak merupakan peranan untuk partisipasi yang bertanggung jawab. Lebih lagi, sekolah dibutuhkan untuk mendorong refleksi rasional dan moral serta pembahasan mengenai peranan partisipasi, jika pengalaman partisipatoris itu diharap mendukung perkembangan.[8]
            Kohlberg mengutip pendapat Fred Newmann ‘pendidikan umum seharusnya mengajarkan siswa untuk berfungsi di dalam suatu struktur legal politis demokrasi perwakilan. Hal ini berarti harus ada konsistensi anatara prinsip-prinsip demokrasi yang dianjurkan dan proses pendidikan aktual. Pendidikan harus membuktikan prinsip-prinsip utama dari demokrasi ini dan menerapkannya pada proses pendidikan. Persamaan kebebasan dan persetujuan dari orang yang diperintah merupakan dua prinsip yang paling fundamental di balik demokrasi perwakilan. Prinsip-prinsip persamaan kebebasan dan persetujuan itu dapat diwujudnyatakan delam proses pendidikan dengan memberikan kebebasan memilih, keterbukaan, intelek dan partisipasi aktif.[9]
            Di negara-negara berkembang adopsi sistem pendidikan dari luar sering kali mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan sistem pendidikan yang ada sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena seluruh daya guna sistem pendidikan tersebut diragukan. Generasi muda banyak memberontak terhadap metode-metode dan sistem pendidikan yang ada. Bahaya yang dapat timbul dari keadaan tersebut bukan hanya bentrokan-bentrokan dan malapetaka, melainkan justru bahaya yang lebih fundamental yaitu lenyapnya sifat-sifat perikemanusiaan. Freire dalam buku yang dituliskan Dr. C. Asri Budiningsih mengkritik selama ini sekolah telah menjadi alat penjinakan, yang memanipulasi peserta didik agar mereka dapat diperalat untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal tampil dan menghadirkan dirinya sebagai suatu lembaga strutural baru yang justru menggali jurang sosial. Segelintir orang yang mengenyam pendidikan formal mebmentuk kubu elite sosial (setelah ada legitimasi yang berupa ijazah, kepandaian, dan kesempatan) dalam kehidupan bermasyarakat sering memegang peranan dan posisi kunci dalam menentukan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.[10]
            Kebebasan jarang terdapat di sekolah maupun di perguruan tinggi. Kurikulum telah ditentukan oleh atasan yang harus diikuti oleh semua sekolah sejenis. Penyimpangan dapat dihukum. Demikian pula buku pelajaran, seta ujian-ujian tidak mengizinkan kebebasan. Dilakukan penelitian, bahwa kebebasan merupakan dasar pendidikan yang ternyata memberikan hasil yang menggembirakan. Belajar bebas berbeda sama sekali dengan belajar terikat oleh peraturan dan pengawasan yang ketat. Belajar yang terikat jauh lebih mudah dilaksanakan dan dapat dilakukan oleh setiap guru karena banyak sedikit dapat dijalankan secara maksimal.[11]
            Secara tidak langsung, sekolah justru menjadi pendukung dalam globalisasi. Dalam globalisasi diperlukan manusia-manusia yang memiliki ketrampilan. Dengan kata lain, sekolah mempersiapkan anak didik memasuki pengalaman. Untuk itu, diperlukan bahan-bahan pelajaran dan pengajar yang berkualitas untuk menciptakan manusia-manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, terjadilah penaikan harga pendidikan, serta orang-orang miskin tidak dapat memasukkan anak-anak mereka ke sekolah karena biaya pendidikan yang tinggi.
            Globalisasi juga  mempengaruhi budaya nasional. Kebudayaan adalah kenyatan yang dilahirkan manusia dengan perbuatan. Kebudayaan tidak saja asalnya, tetapi juga kelanjutannya bergantung pada manusia. Kebudayaan Barat yang disebut kebudayaan modern bermula pada zaman Renaisance. Bangsa Belanda merupakan bangsa yang lebih berperan dalam memasukkan budaya Barat ke Indonesia. Kira-kira pertengahan abad XX sejumlah pemuda Indonesia berhasil menghirup ilmu modern. Masyarakat yang telah dimanja oleh alam, akan lemah juangnya, bila pada suatu saat menghadapi suatu kondisi yang sukar dan gawat.[12]
            Semakin majunya zaman, semakin majulah dan semakin banyaklah kebutuhan manusia. Oleh karena itu budaya juga semakin dipengaruhi oleh zaman. Pada era globalisasi, terjadi persaingan antar industri untuk menghasilkan produk yang dikenal oleh masyarakat global, dan disukai masyarakat global. Oleh karena itu, industri membutuhkan tenaga kerja yang handal. Manusia pun menjadi ikut bersaing dalam mendapatkan pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya. Industri mencari pekerja yang handal tanpa memperhatikan jenis kelamin. Dalam hal ini, sekolah menjadi berperan dalam mempersiapkan manusia yang siap bekerja pada suatu industri. Tenaga kerja telah menjadi potensi (tenaga mereka dieksploitasi) untuk kepentingan industri.
            Kebudayaan nasional juga turut dipengaruhi globalisasi melalui acara-acara televisi, misalnya iklah. Iklan memperkenalkan beberapa barang yang diproduksi oleh sebuah industri atau perusahaan. Misalnya, KFC. Begitu juga dengan berdirinya swalayan-swalayan yang memperkenalkan beberapa produk-produk terkenal secara global, dengan harga tertentu. Barang-barang tersebut menarik perhatian beberapa masyarakat. Siapa yang mampu membelinya, maka akan dibeli. Namun, bagi masyarakat yang tidak mampu, akan berusaha mendapatkannya dengan tujuan agar tidak dikatakan sebagai orang ketinggalan zaman.
            Banyak masyarakat Indonesia tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi (SMA), karena kurangnya biaya untuk itu. Hal itu karena terjadinya nilai ekonomi yang rendah. Keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar keluaraganya. Agar eksistensinya sebagai manusia tidak hilang, beberapa masyarakat melakukan pekerjaan sebagai tanda ia ada. Karena kebutuhan semakin banyak, harga naik, maka beberapa masyarakat berjuanga memenuhi kebutuhan dasar itu sebagai kelangsungan hidup mereka.
            Selain memenuhi kebutuhan dasar, globalisasi menghasilkan produk-produk yang diminati masyarakat. Setiap orang ingin memilikinya, misalnya handphone. di tengah-tengah persaingan muncullah keinginan untuk mendapatkan barang yang global itu walaupun dengan cara halus maupun kekerasan.
            Di tengah-tengah persaingan bebas ini, muncullah tindakan kriminalitas. Soejono Dardjowidjojo menamai kriminalitas dengan white collar dan blue color. White collar diterjemahkan kriminalitas halus. Kriminal yang dilakukan dengan cara halus, tidak dengan fisik. Misalnya, pembobolan BNI Cabang Kebayoran, Korupsi, Penyelundupan berbagai barang-barang, misalnya beras, mobil mewah, dan sebagainya. Orang-orang yang melakukan demikian merupakan orang-orang kaya yang tidak puas denagn apa yang dimilikinya. Meskipun ia dapat memenuhi kebutuhan dasar, ia juga ingin memiliki barang-barang yang mewah, dikenal oleh masyrakat global, dan ingin menunjukkan keeksistensinya sebagai masyarakat yang global.  Blue color diterjemahkan kriminalitas kasar. Hal ini dilakukan dengan kasar, hingga dapat menghilangkan nyawa. Hal ini karena ingin mempertahankan hidup, dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan dasar.[13]
            Selain melakukan kriminalitas seperti di atas, muncul masalah-masalah sosial, pelacuran. Pelacuran ini muncul bukan hanya karena kurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, namun karena ikut sertanya masalah seks bebas. Seks bebas diakibatkan adanya acara-acara tontonan yang memiliki unsur seksualitas. Hal ini nyata dalam berseraknya kaset film porno, tontonan yang bersifat erotis dan sebagainya. Statistik menunjukkan bahwa kurang lebih 75% dari jumlah pelacur adalah wanita-wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia muda, yaitu 13-24 tahun. Hal ini diakibatkan beberapa hal, yaitu:[14]
  1. Menentang kewibawaan pendidik, dan konflik dengan orang tua atau salah seorang anggota keluarga
  2. Tudak mampu berprestasi di sekolah, konflik dengan teman-teman sekolah
  3. Merasa tidak puas atau nasib sendiri.
  4. Kekacauan kepribadian
  5. Mengikuti semau gue
Beberapa masyarakat mengalami stress karena tidak mampu memenuhi kebutuhannya dalam era globalisasi. Banyak produk yang ditawarkan oleh beberapa industri, namun harganya tidak dapat terjangkau. Oleh karena itu, beberapa cara dilakukan untuk keluar dari tekanan itu.
Salah satu cara yang dipakai ialah menggunakan narkoba. Beberapa masyarakat juga mengkonsumsi narkoba agar dianggap gaul, dianggap hebat, bahkan sudah mengikuti zaman. Masalah penyalahgunaan narkotika adalah masalah sosial dan kesehatan yang kompleks yang pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar, yaitu:[15]
  1. Tersedia obat itu sendiri dan mudah didapat dengan harga terjangkau
  2. Kepribadian individu atau pemakai
  3. Masyarakat atau tempat perilaku penyalahgunaan obat terjadi seperti keluarga, sekolah.

Pengaruhnya dalam Resoponden yang diteliti
Dalam tulisan Hilmar Farid, ‘jantung dari globalisasi ialah mekanisme pasar bebas.’[16] Mekanisme pasar bebas ini mengakibatkan adanya kesempatan kepada pihak untuk memajukan industri atau perusahaan masing-masing. Mekanisme ini juga mengakibatkan munculnya persaingan-persaingan yang ketat untuk mencapati suatu keunggulan. Siapa yang menang, maka ialah yang maju, siapa yang kalah maka industri atau perusahaannya akan tenggelam.
            Untuk mengantisipasi agar industri atau perusahaan tidak kalah, diperlukanlah tenaga kerja yang memiliki skill atau kemampuan dalam suatu bidang di industrinya atau di perusahaannya. Kemampuan itu dapat diperoleh melalui pelatihan keterampilan atau pendidikan sekolah. Hal itu, mengakibatkan semakin tingginya biaya pendidikan baik itu berupa harga buku, uang SPP, dan lain sebagainya.
            Peristiwa tersebut mengakibatkan banyak orang tua yang tidak mampu lagi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Anaknya yang seyogianya menerima ilmu pengetahuan dari sekolah (khususnya masa-masa SMA) namun karena biaya tidak memenuhi, maka ia terpaksa menjadi pekerja (sebagai supir, pedagang asongan, dan sebagainya) untuk menambah perekonomi dalam rumah tangga. Ada kalanya, mereka jenuh atau capek bekerja. Untuk menghilangkan kejenuhan itu, mereka mencari kegiatan yang dapat menghibur mereka. Salah satu kegiatan yang dilakukan ialah kumpul di kedai tuak, sambil main judi, billiard, dan sebagainya. Kegiatan itu, justru akan menimbulkan pertengkaran, bahkan menimbulkan tindakan kriminal lainnya.
            Seperti yang telah dijelaskan di atas, globalisasi tidak terlepas dari kolonoialisasi. Kolonialisasi tersebut juga tidak terlepas dari bidang atau segi perekonomian. Dengan kata lain, masalah perekonomian termasuk juga dalam masalah globalisasi. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008 yang silam, adanya krisis moneter global. Hal ini dikarenakan terpuruknya industri keuangan Amerika yang dipicu macetnya kredit perumahan kualitas rendah yang ternyata menunjukkan betapa rapuhnya konsep dan sistem keuangan kapitalis liberal. Dengan kata lain, sistem keuangan yang selama ini dibanggakan Amerika beserta sekutu dan penganutnya selama ini, ternyata menunjukkan kerapuhan dan risiko yang ditimbulkan bagi perekonomian dunia secara keseluruhan.[17]
            Oleh karena itu, diperluakan penataan sistem perekonomian di negara tersebut, dan secara tidak langsung memaksa negara-negara yang telah ditanamkan modalnya membantu dalam menatanya. Sebagai usaha untuk dapat membantu, pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), dan akibat menaiknya BBM mempengaruhi harga-harga pasar, termasuk harga cabe, bawang, tomat, bahkan harga sebuah buku untuk dipakai di sekolah juga turut naik, begitu juga dengan ongkos. Akibat dari kenaikkan itu, beberapa masyarakat yang ada di lokasi yang diteliti (terutama kaum bapak), berkunjung ke kedai tuak karena jenuh, merasa tidak damai atau nyaman di rumah. Hal itu karena semua anggot keluarga mengeluh bahkan ada yang menuntut kepada si suami bahwa uang sekolahnya harus dibayar, lain lagi biaya buku, ujian, bahkan si istri minta tambahan uang belanja karena naiknya harga pasar.  Sehingga si bapak pergi ke kedai tuak untuk membuang kejenuhan di mana sehabis pulang kerja.
Namun,  sampai di rumah, ia terus dibebani pikiran akan kebutuhan di rumah tangga yang harganya naik. Bapak tersebut beranggapan bahwa di kedai tuaklah ia dapat menemukan kedamainan dan dapat menghilangkan kejenuhan, sehingga ia menjadi semangat kerja. Itulah dikatakan bahwa minum tuak dianggap dapat mengembalikan tenaga (sipaulak gogo).



DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih Asri C.,
2005                Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta
Dardjowidjojo Soejono,
2005                Robohnya Moral kami, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Eviandaru Monika, Indrawati,
2003                Perempuan Post-Kolonial dan Identitas Komoditi Global, Kanisius, Yogyakarta
Fikih Mansour,
Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi
Joewana Satya, dkk,
2001                Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk mencegah Penyalahgunaan NarkobaYogyakarta: Media Pressindo
Kartono Kartini,
1999                Patologi Sosial: Jilid I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kohlberg Lawrence,
1995                Tahap-tahap Perkembangan Moral, Yogyakarta: Kanisius
Magniz Franz – Suseno,
2003                Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopisme Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pestaka Utama
Muhammad Ali,
Investor Daily, Jakarta
Nasution S.,
1995                Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara
Prasetya Joko Tri, dkk,
1991                Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Rineka Cipta
Vuuren van Nancy,
1988                Wanita dan Karier: bagaimana mengenal dan mengatur karya, Yogyakarta: Kanisisu


[1] Mansour Fikih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, 211
[2] Monika Eviandaru, Indrawati, Perempuan Post-Kolonial dan Identitas Komoditi Global, (Kanisius, Yogyakarta, 2003), 93
[3] Hilmar Farid, Senjata Tuan Makan Korban: Jalan APEC Menaklukkan Buruh, 1
[4] Franz Magniz – Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopisme Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pestaka Utama, 2003), 90
[5] Ibid, 95
[6] Nancy van Vuuren, Wanita dan Karier: bagaimana mengenal dan mengatur karya, (Yogyakarta: Kanisisu, 1988), 10
[7] Ibid, 58 – 59
[8] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 226
[9] Ibid, 226 – 227
[10] C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 3
[11] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),  84-85
[12] Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 40-42
[13] Soejono Dardjowidjojo, Robohnya Moral kami, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 111 – 112
[14] Kartini Kartono, Patologi Sosial: Jilid I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 194
[15] Satya Joewana, dkk, Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk mencegah Penyalahgunaan Narkoba,(Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), 50
[16] Hilmar Farid, Senjata Tuan Makan Korban: Jalan APEC Menaklukkan Buruh, 1
[17] Muhammad Ali, Investor Daily, Jakarta, 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar