DANIEL PANE

SELAMAT DATANG DAN MENIKMATI YANG TELAH DISAJIKAN

Selasa, 28 November 2017

Gereja Dalam Konteks Kemiskinan (Church in Destitution Context)



GEREJA DALAM KONTEKS KEMISKINAN
(Suatu Tinjauan Teologis – Etis Terhadap Salah Satu Problem Sosial Masyarakat)
Oleh: Pdt. Daniel Bonardo Pane, S.Th.


I. Pengertian Kemiskinan
Menurut KBBI, Kemiskinan” berasal dari Kata “Miskin”, yang berarti tidak berharta benda, serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Jadi Kemiskinan itu dinyatakan absolut situasi penduduk/ sebagai penduduk yang yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian dan perumahan yang sangat diperlukan  untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.[1]
            Bila kita melihat serta menyelidiki akan fakta kemiskinan disekitar kita, maka kita dapat menggolongkan kemiskinan itu dalam dua dimensi, yaitu:
  1. Kemiskinan material, kekurangan uang dan harta benda. Orang yang miskin material adalah kurang dalam sandang pangan, kurang giji, sering sakit, dan kurang memiliki keterampilan dan juga pendidikan.
  2. Kemiskinan dalam Alkitab. Menurut Alkitab, kemiskinan dapat disebabkan oleh kemalasan (Am. 6:9-11; 24:30-34; 19:15), kemabukan, kebodohan dan kerakusan (Ams. 23:20-21; 21:17; 13:18), malapetaka (Kel. 10:4-5).[2]
Akan tetapi, penyebab yang sering disebut dalam Alkitab ialah keserakahan, pemerasan dan penindasan yang dikutuk oleh Allah dan nabi-nabi Israel. Allah menyatakan hukuman-Nya atas bangsa Israel. Amat jelas bahwa dalam alkitab kemiskinan itu tidak dianggap sebagai kehendak Allah. Bahkan Allah melawan kemiskinan dan memanggil umat-Nyauntuk menentang kemiskinan. Kemiskinan tidak didatangkan oleh nasib atau kehendak Allah. Kemiskinan adalah hasil dari perbuatan-perbuatan manusia untuk dikutuk.
Dari pemaparan di atas bahwa kemiskinan ialah keadaan serba kekurangan dalam segala hal, kekurangan pangan, sandang, lapangan kerja, nilai-nilai hidup, kebahagiaan dan kegembiraan, kepenuhan hidup, kekurangan cita-cita dan impian, tekad dan kemauan, kemingkinan dan kesempatan, kekurangan keadilan, kebebasan dan perdamaian.
Pengertian kemiskinan dalam Alkitab mempunyai pengertian yang ganda. Arti yang pokok dari kemiskinan adalah keadaaan yang buruk dan keji yang menghina martabat manusia dan berlawanan dengan kehendak Allah. Kemiskinan dalam Alkitab dapat terjadi karena kemalasan (Ams 6: 9-11), kemabukan, kebodohan, dan kerasukan (Ams. 23:20-21), atau malapetaka (Kel.10:4-5).[3]

II. Pembahasan
1.  Kemiskinan Menurut Perjanjian Lama
Kadang-kadang ada kesan bahwa Allah menjadikan makmur orang benar dengan milik bendawi (Maz. 112:4-3), sekalipun benar bahwa untuk untung berkat kerajinan dan penghematan bagi perseorangan maupun bagi bangsa dapat jelas terlihat dan bahwa Allah berjanji untuk memberkati mereka yang menaati perintah-perintah-Nya (Ul. 28: 1-4). Kemiskinan mereka (orang Israel)mungkin adalah akibat bencana alam yang mengakibatkan panen rusak atau karena serbuan musuh, penindasan oleh tetangga-tetangga yang berkuasa dan kuat.[4]
Warga masyarakat yang kaya wajib membantu saudara- saudaranya yang miskin (Ul. 15:1-11). Yang paling menderita adalah anak-anak yang tidak mempunyai bapak lagi, janda-janda dan orang asing yang tidak memiliki tanah. Taurat memerintahkan untuk mengadakan persediaan bagi mereka (Ul. 24: 19-22), dan bersama mereka dihitung juga orang Lewi (Ul. 14:28-29) karena mereka tidak memiliki tanah. Seseorang dapat menjual dirinya sebagai budak tetapi jika dia orang Ibrani, ia harus diperlakukan berbeda dari orang asing (Im. 25:39-46).

2. Kemiskinan Menurut Perjanjian Baru
Pada zaman Perjanjian Baru, bermacam-macam pajak yang sangat memberatkan, dibebankan atas bangsa Yahudi, sementara banyak orang dalam kesukaran ekonomi yang parah, orang lain mengeruk keuntungan besar melalui kerjasama dengan pemerintah Romawi. Yesus memang berasal dari keluarga miskin (Luk. 2:24), tetapi tidak ada alasan untuk mendosa bahwa ia hidup dalam kemiskinan yang hina. Sebagai anak sulung Ia mendapat sekedar warisan dari Yusuf dan nampaknya Ia harus membayar pajak bait suci (Mat. 17:24).[5]
            Dalam ajaran Yesus, milik bendawi tidak dianggap jahat, tetapi berbahaya. Sering kelihatan bahwa orang miskinlebih berbahaya dari pada orang kaya, karena simiskin lebih mudah bersikap tergantung kepada Allah. Terhadap orang miskin harus ditunjukkan keramah tamahan (Luk. 14:12-14) dan diberikan derma (Luk. 18:22). Gereja kuno membuat sesuatu percobaan dalam hal pemilikan kekayaan  bersama (Kis. 4:34-35), tetapi sering dianggap sebagai penyebab runtuhnya ekonomi gereja di Yerusalem di kemudian hari. Banyak dari pelayanan Paulus di gereja-gereja Non-Yahudi berkaitan dengan pengumpulan uang untuk membantu orang-orang Kristen yang miskin di Yerusalem (Rm. 15:25-29; Gal. 2:10). Gereja-gereja ini juga diajar untuk memelihara anggota mereka sendiri yang miskin (Rm. 12:13).


3. Faktor-faktor Kemiskinan
Kemiskinan banyak dipengaruhi oleh banyak factor menyangkut; keterbelakangan , factor lingkungan sosial, pendidikan dan sistem pemerintahan, alam, siatuasi hidup masyarakat. Hakekat kemiskinan menurut Jonh. K. Galbalrt adalah sebagai berikut:
-          Faktor alamiah, keadaan alam yang tidak kaya
-          Sistem ekonomi
-          Situasi politik
-          Sifat hakiki bangsa
-          Tidak adanya tenaga terampil
-          Akibat penjajahan
Dalam artian, bahwa factor-faktor alamiah saling mempengaruhi. Kemiskinan juga dapat disebabkan oleh adanya ketidak adilan sosial dalam struktur masyarakat.[6]
Disamping itu juga, jika kita menggunkan sejumlah ayat Alkitab, menurut S.A.E. Nababan bahwa penyebab kemiskinan itu terletak dalam kemalasan dan usia tua (Am. 6:9-11; bnd. 24:30; 19:15), kemabukan dan kekerasan (Am.  21:17; 23:20,21); dalam kaitan dengan hubungan antar manusia, kemiskinan disebabkan oleh “Exploitation de I`homme par I`Homme” (2 Sam. 11 dan 12), yang mempunyai konsekuensi langsung bagi kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat, dan dalam kaitan dengan hubungan antra bangsa, kemiskinan dapat disebabkan oleh dominasi kolonial (Kel.1), dan oleh bencana alam (Kel. 10:4-5).[7]

III. Peran Gereja Dalam Problema Kemiskinan
Untuk menghadapi kaum miskin tidak cukup hanya dengan belaskasihan karena kebutuhan mereka, melainkan dengan penerimaan mereka sebagai anggota-anggota komunitas yang mempunyai hak-hak yang utuh. Sebagai pribadi yang diterima komunitas dalam bentuk yang mutlak karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu (Yoh.12:8)mengalah pada kekuatan uang atau menggunakan kaum miskin (Yoh. 12:4-6) hanya akan berakhir dengan kekayaan yang menyita perhatian dan kekuasaan beberapa orang atas orang lain.[8]
            Secara theologis kita melihat bahwa Allah tidak menghendaki kemiskinan dalam penciptaan, tetapi kekayaan dan kepenuhan hidup. Dengan demikian kehendak Allah melindungi kaum miskin tidak boleh dibatasi dalam segi statis-metapisis, tetapi dalam seginya yang dinamis-progresif dalam drama kehidupan menusia.[9] Dalam hal ini Allah bertindak sebagai pemelihara hidup manusia. Gereja dalam menghadapi kaum miskin adalah membuat pilihan yang benar untuk memilih kaum miskin, melibatkan diri dalam dunia mereka, mewartakan kabar gembira kepada mereka, memberi mereka harapan, menolong mereka agar berusaha membebaskan diri, membela kepentingan mereka dan ikut menanggung nasib mereka.[10] Pilihan mendahulukan kaum miskin adalah satu bagian dari ajaran sosial gereja, dimana ajaran gereja mengembangkan kepekaan yang sesuai bagi gereja untuk demikian dengan keinginan tanpa pamrih dalam melayani dan memperhatikan kaum yang paling miskin.
            Tujuan keterlibatan orang Kristen dalam masyarakat ialah mengajak seluruh umat manusia untuk berusaha keras menjadi umat manusia yang benar dan ideal agar tercipta masyarakat yang harmonis dan berkeseimbangan. Rasul Paulus mengajak orang-orang yang percaya di Tesalonika, supaya seseorang dengan sesamanya hidup selalu dalam damai, menegor mereka yang hidup tidak tertib, menghibur mereka yang tawar hati, membela mereka yang lemah, dan bersikap sabar terhadap semua orang (1Tes. 5:13-14).[11]
            Paus Yohannes Paulus II memberi beberapa pokok, sebabagi berikut;
  1. Cinta kepada kaum miskin ini adalah cinta yang berdasarkan injil dan tidak keluar dari motifasi-motifasi dan inspirasi-inspirasi sosial ekonomi dan politik.
  2. Pemihakan terhadap kaum miskin ini merupakan “Pilihan mendahulukan” (Preperential option), meskipun itu tidak berarti menyelualihan sipapun dari rangkulan cinta kasih yang harus dimiliki setiap orang Kristen.
  3. Sumber dari cinta mendahulukan  kaum miskin ini adalah teladan Yesus Kristus; oleh karena itu para imam dan kaum religius, hamba, umat Allah, pelayan imam, penjaga dan pemberi kesaksian cinta Kristus bagi manusia, harus melaksanakan cinta yang tidak memihak dan tidak mengewalikan seorangpun meski cinta itu dialamatkan terutama pada kaum yang paling miskin.
  4. Cinta Yesus pada kaum miskin harus menjadi model dari cinta yang mendahulukan kaum miskin.
  5. Pilihan mendahulukan kaum miskin masih memiliki teologis yang lebih mendalam lagi; Kristus sendiri hidup dalam kemiskinan.[12]
Disamping itu juga, gereja haruslah;
    1. Mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya, karena masalah-masalah ini mempengaruhi agama dan moralitas
    2. dengan menggunakan prinsip-prinsip injili gereja dapat membantu memperdamaikan dan meyatukan pertentangan antar kelas
    3. tujuan yang dimau gereja adalah memperdamaikan dan menyatukan kelas-kelas yang saling bertentangan
    4. gereja dapat mendidik masyarakat untuk bertindak secara adil.[13]
            Bagaimana dengan murid-murid Tuhan Yesus yang adalah gereja memperhatikan “orang banyak” (Ochlos), yang kebanyakan terdiri dari orang-orang miskin. Kita memang tidak boleh membiarkan diri alat untuk kepentingan tertentu, tetapi disini masalahnya bukan menjadi alat melainkan menolong orang miskin, sehingga tidak lagi berada di dalam kemiskinan dan ketergantungan.[14] Dalam hal ini, yang dimaksud adalah mendahulukan orang “miskin”, sehingga tidak lagi berada di dalam kemiskinan dan ketergantungan.  Dalam hal ini, yang dimaksud adalah “mendahulukan orang-orang miskin”, Yesus berkata: “orang yang sehat tidak perlu dokter”, (Mat. 9:12; Mark. 2:17; Luk. 5:31) dan paulus mengatakan dalam 1 Korintus 15:23-24 dimana anggota yang tidak elok diberi perhatian khusus. Pemahaman ini didasarkan pada commonsense: dalam kehidupan bersama. Orang yang miskin dan orang lemah tidak mungkin dapat menyesuaikan diri dengan orang kaya dan kuat. Yang mungkin adalah orang kaya dan kuat menyesuaikan gaya hidupnya dengan orang miskin dan orang lemah. “Menyesuaikan” ini tidak berarti merasa terpaksa atau dipaksa, melainkan lebih dalam arti sesuatu tekat atau komitmen untuk tidak meninggalkan mereka yang miskin dan lemah.
            Gereja memang bukan kantor sosial, memikul tanggung jawab sosial. Ia tidak menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang menjijikkan, yang tidak perlu dibicarakan. Tetapi ia juga tidak mau mendewa-dewakan kemiskinan, sama seperti Yesus tidak menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang menjijikkan ataupun harus didewa-dewakan. Dalam rangka ini diakoni sosial gereja tidak boleh lagi bersifat karikatif saja, melainkan harus sekaligus reformatif dan tranformatif.[15] Jika gereja betul bertekad untuk tidak meninggalkan orang miskin sehingga pada akhirnya orang miskin tidaklah miskin lagi, yang mana ia tidak bisa hanya diberi ikan secara terus-menerus, melainkan juga harus diberi kesempatan untuk memancing.
            Gereja dalam keiikutsertaannya di bidang sosial hendaknya menunjukkan kasih Kristen. Kasih Kristen ialah kasih dalam persekutuan. Yang pokok dalam kasih Kristen bukan ’aku’ atau ’engkau’ melainkan ’kita’. Tentu kasih dapat ditolak oleh orang yang dikasihi. Teteapi orang yang mengasihi selalu berusaha menghapuskan halangan-halangan yang memisahkan dari orang lain. Kasih itu adalah seperti hubungan dalam keluarga.[16]

Penutup
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kemiskinan itu adalah istilah relatif, yang mana pengertian semula dari istilah ini mengambarkan syarat kehidupan manusia secara lahiriah, ekonomis dan sosial. Oleh karena itu, kemiskinan tidak boleh dilihat sebagai hukuman atas dosa, dan juga tidak boleh dipandang sebagai urusan pribadi, untuk itu dalam hal ini, gereja dituntut untuk berperan aktif dalam mengadakan respon atas kemiskinan yang dialami oleh berbagai anggota masyarakat. Artinya gereja harus ambil bagian dalam mengentaskan kemiskinan dari ruang lingkup masyarakat.
            Oleh karena itu gereja haruslah bersikap reformatif dan transformatif terhadap orang-orang miskin. Sehingga akhirnya orang miskin tidak lagi tetap dalam kemiskinan, melainkan telah terangkat dari kemiskinan. Kemiskinan memang sering dilihat dari prespektif ekonomisnya, tetapi dalam hal ini, gereja memberi peran dalam mengangkat sosial mereka, seperti Yesus yang telah menjadi miskin bukan karena ketidak punyaannya, melainkan karena umat manusia. Dalam kenyataan salib, Yesus telah mencamkan semua kemiskinan manusia, mengubahnya menjadi suatu sumber berkat dan hidup berkelimpahan bagi setiap orang.


Kepustakaan


Antoncich, Richardo, Iman dan Keadilan, Kanisius,Yogyakarta 1994.
Brownlee Malcolm, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya, BPK-GM, Jakarta 2006.
----------------------, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, BPK-GM, Jakarta 1989.
Condrat, Boerma., Dapatkah Orang Kaya Masuk Kesorga ?, BPK-GM,  Jakarta 1987.
Nababan, Soritua., Iman Dan Kemiskinan, BPK-GM, Jakarta 1966.
Nainggolan Binsar, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari Bagi warga Gereja, L-Sapa, Pematangsiantar 2007.
Nixon E.: Kemiskinan, dalam J.D. Douglas (peny) Ensiklopei Alkitab Masa Kini jilid II M-Z, YKBK / OFM, Jakarta 2003.
Pr, St. Darmawijaya., Keterlibatan Allah Terhadap Kaum Miskin, Kanisius, Yogyakarta 1991.
Singgih, E. G., Berteologi Dalam Konteks, BPK-GM Jakarta; Kanisius, Yogyakarta 2004.
Schultheis Michael J.. dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta 1991.
Subrino, Jan., Theologi Solidaritas, Kanisius, Yogyakarta 1989.
W.J.S, Poerdarminta., Kamus Besar Bahasa Indonesia, P.N. Balai Pustaka, Jakarta 1982.
Yewangoe, A.A., Theologia Crucis Di Asia, BPK-GM, Jakarta 1989.



[1]Poerdarminta. W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia,, (Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1982),  
[2]Soritua Nababan, Iman Dan Kemiskinan, (Jakarta: BPK-GM, 1966), 8
[3] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 1989), 81
[4]R.E. Nixon: Kemiskinan, dalam J.D. Douglas (peny) Ensiklopei Alkitab Masa Kini jilid II M-Z, (Jakarta: YKBK, 2003), 88
[5]Ibid,. hlm. 88
[6]Boerma Condrat, Dapatkah Orang Kaya Masuk Kesorga ?, (Jakarta: BPK-GM, 1987), 12
[7] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Di Asia, (Jakarta: BPK-GM, 1989), 282
[8]Jan Subrino, Theologi Solidaritas, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 85
[9]St. Darmawijaya Pr. Keterlibatan Allah Terhadap Kaum Miskin, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 62.
[10]Op-Cit, Jon Subrino, hlm. 127
[11]Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari Bagi warga Gereja, (Pematangsiantar: L-Sapa, 2007), 24
[12]Richardo Antoncich, Iman dan Keadilan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 24-25
[13]Michael J. Schultheis SJ, dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 41
[14]E.G. Singgih, Berteologi Dalam Konteks, (Jakarta: BPK-GM; Kanisius, 2004), 214
[15]Ibid,, hlm.215
[16] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 204

Senin, 27 November 2017

Penderitaan Menuju Kemuliaan: Tafsiran Daniel 6: 1 - 29 terhadap 1 Petrus 4: 12 - 19



PENDERITAAN MENUJU KEMULIAAN
(Suatu Studi Perbandingan Hermeneutis Daniel 6:1-29 Terhadap 1 Petrus 4: 12-19)

Oleh: Pdt. Daniel Bonardo Pane, S.Th.
I.                   Pendahuluan
Setiap manusia pasti tidak ingin hidupnya menderita. Setiap manusia akan mengambil atau melakukan berbagai cara untuk membuat hidupnya tidak menderita. Dalam tulisan ini saya ingin membahas mengenai orang-orang yang setia kepada TUHAN Allah dalam menghadapi suatu penderitaan dalam kehidupannya.apakah mereka segera meninggalkan Allah karena penderitaan itu? Atau apakah orang yang demikian semakin taat kepada Allah dalam penderitaan itu?
Dalam seminar ini juga saya ingin menemukan apa yang diperoleh oleh seseorang yang setia kepada TUHAN ALlah dalam penderitaannya? Apakah ia tidak mendapat apa-apa dari kesetiaannya itu? Apakah ia justru mendapat penderitaan yang akan lebih berat lagi dari penderitaan yang dialami pada saat ini, atau ia mendapat suatu kebahagiaan dari kesetiaannya dalam penderitaan itu? Untuk menjawab itu, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
I.   Pendahuluan
II.  Isi
·         Latarbelakang dan Penafsiran Daniel 6:1-29
·         Makna teologinya
·         Latarbelakang dan Penafsiran 1Petrus 4: 12-19
·         Makna teologinya
III. Gabungan (analisa lanjutan)
IV.  Refleksi Aplikasi
V.    Kesimpulan
       Daftar Pustaka
II.                ISI
·         Latarbelakang dan Penafsiran Daniel 6:1-29
Buku Daniel menceritakan mengenai pengalaman-pengalaman dan pengelihatan dari seorang Yahudi yang bernama Daniel, yang diangkut dari Yerusalem pada tahun ketiga raja Yehoiakim 605 sM. oleh Nebukadnezar dengan teman lainnya, Henaniah, Mishael, dan Azariah ke tanah Babel.[1] Buku ini merupakan sebuah apokaliptik.[2] Keyakinan bahwa Allah adalah TUHAN dari sejarah, dan kejayaan  tentunya ahwa Allah akan segera akan menyatakan kerajaanNya dan dan merendahkan penyembah berhala dan meninggikan yang mengakuiNya. Keyakinan orang Yahudi terhadap hukum berdiri dalam sebuah garis ramalan yang lebih tua dan memiliki sebuah kekuatan yang abadi dan masih mengilhami sampai sekarang.[3]
S.B. Forst berpendapat dalama buku Old Testament Library, bahwa apokaliptik ada sebagai hasil dari penggabungan mitos dan eskatologi dan itu terjadi dari waktu pembuangan. A. Bentzen dan dielaborasikan oleh E.W. Heaton, telah memeriksa dan mencoba menghadirkan kembali kitab ini sebagai pendirian dalam arus utama Keyahudian yang normal. Penulis dihadirkan sebagai ahli kitab, seorang yang mempelajari sekte Hasidim yang menolak berkompromi dengan Hellenis dan ikut dalam gerekan Makabe. Buku Daniel ini merupakan sebuah buku kebijaksanaan, Daniel sendiri contoh dari seorang yang taat kepada Allah dan percaya, memiliki kebijaksanaan yang ilahi (divine wisdom) sehingga tidak ada yang sulit melawan orang-orang bijaksana di tanah air mereka.[4]
James L. Crenshaw mengatakan bahwa buku Daniel telah ditulis pada masa pengharapan. Itu dimulai dengan penghancuran Yerusalem dan berakhir dengan ramalan mengenai turunnya Kerajaan Allah di bumi. Maksud penemuan waktu itu adalah pelajaran dari ramalan atau nubuatan kuno dalam terang peristiwa yang sezaman dengan itu. Bagaimana pun kekerasan-kekerasan manusia yang menyakitkan, tetapi peristiwa itu akan berganti, dan masuknya tentara sorgawi ke dunia akan merupakan ciri-ciri permulaan dari akhirnya peristiwa itu.[5]
J.C. Whitcomb menuliskan, para ahli kritik modern sepakat menolak bahwa kitab Daniel berasal dari abad VI sM. dan ditulis oleh Daniel. Kritikan itu mengatakan bahwa kitab itu dirampai oleh seorang penulis yang tidak dikenal kira-kira tahun 165 sM. Selanjutnya dikatakan bahwa kitab itu ditulis untuk memberi semangat orang Yahudi yang beriman dalam perlawanan mereka terhadap raja Antiokhus Epifanes (bdk. 1Mak.2: 59-60), dan bahwa kitab ini diterima orang Yahudi itu dengan gembira sebagai kitab yang asli dan dengan segera ditempatkan dalam kanon Ibrani.[6]
John Bright menuliskan buku Daniel merupakan buku yang terakhir dalam PL. buku ini dialamatkan kepada situasi yang mengerikan. Buku ini digolongkan sebagai surat apokaliptik. Pada umumnya disepakati bahwa buku ini dalam kehadirannya mengubah kondisi penyiksaan Antiokhus, tidak lain setelah penajisan rumah Ibadah (Bait Suci) kira-kira tahun 166/5.[7]
Klaus Koch menuliskan , penulis kitab Daniel mengharapkan titik balik sejarah di dalam masa kehidupannya. Ucapan-ucapannya diwarnai akan harapan yang tidak sabar (jadi suatu penyingkatan perspektif waktu). Raja pada waktu itu ialah Antiokhus IV Epiphanes, oleh penulis dianggap puncak segala kejahatan (jati diri raja ini tidak disebut langsung, tetapi kita dapat mengenalinya dengan jelas dari tulisan kitab Daniel). Hanya kiamat yang dapat menyusul raja ini. Dari sini mudah dikenali waktu penulisan kitab ini, yaitu ditulis pada masa pemberontakan Makabe. Tujuan tulisan ini adalah memanggil umat untuk setia kepada Allah di zaman penghambatan agama Israel oleh raja Antiokhus IV ini, sebab ini sangat perlu di saat-saat terakhir serjarah dunia ini.[8]
Kalau dilihat lebih dekat lagi, akan nyata bahwa kitab ini tidak utamanya untuk umum, melainkan untuk sekelompok kecil pembaca Yahudi yang setia kepada TUHANnya. Kitab ini sebenarnya adalah tulisan rahasia milik sekelompok kecil orang Yahudi. Nama Daniel dipakai di situ karena penulisanya hendak mengatakan, bahwa tulisannya itu adalah tulisan apokaliptis yang sudah bermula sejak zaman Daniel dahulu.[9]
Daniel 1-6 menimbulkan kesukaran mengenai waktu penyusunanya, kesatuan kepengarangannya, dan bahasa asli kitab Daniel. Kebanyakan ahli sepakat bahwa kitab bagian ini dalam bentuknya sekarang berasal dari tahun 165 sM, menjelang akhir pemerintahan raja Seleukus Antiokhus IV Epifanes, yang menganiaya orang-orang Yahudi yang berasal dari Yerusalem dan Yehuda (175-163 sM). Pasal 1 – 6  menggunakan cerita rakyat mengenai sukses dari pejabat yang bijak, dan dengan demikian berisiskan pesan bagi mereka yang hidup dalam penindasan atau pada waktu penyesuaian dengan budaya asing merupakan bahaya. Meskipun ada ruang untuk perdebatan, namun pasal-pasal ini rupanya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat abad III sM. untuk melawan pemakaian budaya Yunani yang terlalu banyak dalam Yudaisme.[10]
Antiokhus IV adalah anak dari Antiokhus III. Ia memerintah pada tahun 175-163. Pada masa pemerintahannya, ia merebut bait suci, serta menjala beberapa beberapa bejana emas, perak perbendaharaan Bait Suci. Ia membuat upacara keagamaan Yahudi terhenti serta membangun mezbah di tempat Mezbah Allah. Akhir pemerintahannya, ia menyebutkan dirinya sebagai Epiphanes yang berarti dewa yang dinyatakan.[11] Selain itu, setiap orang Yahudi diwajibkan untuk mempersembahkan korban kepada ilah-ilah negara, serta mengenakan beberapa unsur Hellenisme pada masyarakat Yahudi.[12] Selain itu, Taurat dibakar, ibadah harian ditiadakan, hari-hari raya dibatalkan dan akhirnya, ia mendirikan patung zeus, dewa sorga di atas sayap Mezbah tempat yang Maha Kudus.[13]
Yerusalem merupakan bagian dari kota yang dikuasai. Tempat itu tidak dimiliki oleh orang-orang Yahudi lagi. Menelaus memasukkan unsur Hellenis dalam agama Yahudi, dan agama Yahudi yang dianggap sebagai penghalang dalam Hellenis dibuang. Beribadah kepada YHWH, tampak sebagai pengenalan akan Zeus.[14] Hal ini membuat sebagian orang Yahudi melakukan pemberontakan dan sebagian orang Yahudi mengikuti Hellenis serta meninggalkan agama Yahudinya seperti imam Menelaus. Orang Yahudi yang taat atau setia pada apa yang diimani telah terpaksa membuat perlawanan karena adanya usaha untuk memusnakan agama mereka. Sesegera setelah adanya seruan dari orang-orang Yahudi di Galilea dan Gilead yang disiksa oleh bangsa yang bukan Yahudi. Sehingga Judas dan Simon menjalankan ekspedisi mereka ke daerah tersebut dan menyelamatkan patriot mereka dan membawa pulang ke Yehuda.[15]
Cerita dalam Daniel 6 memiliki cerita yang sama dengan Daniel 3. Kedua cerita tersebut sama-sama menceritakan mengenai suatu penderitaan yang dialami oleh orang-orang Yahudi karena mempertahankan iman mereka kepada TUHAN Allah yang mereka sembah. Dihubungkan dengan konteks yang terjadi pada saat itu, maka kedua cerita tersebut bertujuan untuk memberikan semangat kepada pembaca (terutama kepada orang Yahudi yang mengalami penderitaan oleh pemerintahan Antiokhus IV) untuk mempertahankan iman mereka kepada TUHAN Allah walaupun mereka harus kehilangan nyawa mereka.
            Namun latarbelakang munculnya penderitaan itu berbeda. Dalam Daniel 6, Daniel menderita bukan karena ia orang Yahudi atau beragama Yahudi, namun karena adanya kecemburuan dari wakil-wakil raja dan dua pejabat tinggi kerajaan. Mereka dengan latarbelakang kecemburuan itu, memakai agama atau keyakinan orang Yahudi tersebut untuk membuat ia menderita dan jatuh dari kejayaannya. Mereka membujuk Darius untuk membuat sebuah undang-undang yang bertentangan dengan keyakinan dan tidak mungkin ditaati oleh Daniel.[16]
            Ayat 1 – 4
            Pada bagian ini diceritakan adanya seorang raja Media yang bernama Darius. Seperti yang telah diketehui bahwa Koresy, raja Persialah yang mengalahkan kerajaan Babel dan melepaskan orang Yahudi dari pembuangan Babel, namun dari cerita ini kerajaan Medialah yang mengalahkan Babel di bawah pemerintahan Darius. Jika diamati cerita dalam pasal ini, maka pemerintahan Media berkuasa antara pemerintahan Babel dengan Persia.
            Ketika ia memerintah, ia mulai menyusun kabinet-kabinet atau wakil-wakil raja atas kerajaannya (ay. 2), kemudian ia mengangkat 3 orang pejabat tinggi dimana Daniel salah satu dari ketiganya. Masing-masing wakil raja memberikan pertanggung-jawaban  kepada ketiga wakil raja tersebut. Darius melihat Daniel melebihi pejabat tinggi dan para wakil raja itu, sehingga Darius menempatkannya atas seluruh kerajaannya. Darius menyakini bahwa Daniel mampu mengurusi kerajaan yang ia pimpin sehingga ia tidak perlu lagi sibuk mengurusi seluk-beluk administrasi kerajaan.
            Ayat 5 – 10
            Sikap Darius terhadap Daniel membuat para pejabat tinggi dan wakil raja tidak suka kepada Daniel (munculnya sikap cemburu dalam diri mereka). Oleh karena itu, mereka mencari alasan untuk mencari[17] kesalahan yang dilakukan oleh Daniel, sehingga ia tidak disayangi oleh Darius. Namun usaha mereka sia-sia, karena mereka tidak menemukan kesalahan Daniel dalam menjalankan tugasnya. Daniel merupakan seorang pemuda Yahudi dan ia tinggal dalam lngkungan yang berbeda dengan budaya, cara berpikir, dan keyakinan. Daniel merupakan seorang tokoh Yahudi yang taat menjalankan ibadahnya kepada yang ia yakini. Ketaatan untuk menjalankan ibadahnya itulah, dipakai oleh para pejabat tinggi dan wakil raja untuk menjatuhkan Daniel.
            Pada ayat 7 – 9 merupakan salah satu usaha para pejabat tinggi dan wakil raja untuk menyukseskan keinginan mereka. Mereka menghadap raja. Setelah menghadap raja, mereka memulai dengan sebutan ‘kekallah hidupmu’. Sebutan itu biasa disebutkan kepada raja di zaman kuno.[18] John E. Goldingay menuliskan, di Persia raja tidak dihormati seperti yang memiliki sifat keilahian dalam pengertian orang Mesir.[19] Dari pernyataan tersebut, Darius dalam kerajaan Persia tidak pernah dihormati sebagai seorang yang memiliki sifat keilahian. Namun sebutan yang disampaikan oleh para pembenci Daniel merupakan sebuah sebutan yang sangat hormat, dimana raja dianggap memiliki sifat keilahian.
            Pada ayat 8, mereka mengusulkan kepada raja agar mengeluarkan sebuah dekrit, “barangsiapa yang dalam tiga puluh hari menyampaikan permohonan kepada salah satu dewa atau manusia kecuali kepada tuanku, ya raja, maka ia akan dilemparkan ke dalam gua singa”. Dekrit itu akan membuat Daniel akan murtad dari keyakinannya bila ingin mempertahankan kedudukannya dalam kerajaannya, serta akan membuat Daniel mati bila mempertahankan keyakinannya. Mengapa? Karena dekrit itu memiliki hubungan dengan keagamaan Daniel. Ia akan dicampakkan ke gua singa, tempat hukuman yang terakhir bagi para penjahat atau pemberontak dalam kerajaan Persia. Usulan itu merupakan suatu usulan yang membuka jalan agar raja Persia dihormati sebagai seorang yang memiliki sifat keilahiann, namun ia tidak mengetahui apa di balik itu semua. Oleh karena itu, Darius menyetujui apa yang dimintakan oleh para pejabat tinggi dan wakil raja tersebut (ay. 10).
            Apabila diperhadapkan dengan masa kekuasaan Antiokhus IV Epiphanes, ia menyebutkan dirinya adalah titisan dewa, sehingga setiap orang harus tunduk dan menyembah kepadanya. Setiap orang yang melawan akan disiksa, atau bahkan dibunuh. Hal yang demikianlah yang dialami oleh zaman Makabeus, mereka tidak mau menyembah Antiokhus IV, mereka hanya mau menyembah kepada Allah yang mereka imani walaupun nyawa taruhannya (bdk. W.O.E. Oesterley, A History of Israel, 233).
            Ayat 11-12
            Daniel seorang yang taat menjalankan ibadah keagamaannya tidak mempedulikan dekrit yang dikeluarkan oleh Darius. Ia tetap menjalankan ibadahnya kepada Allah yang ia imani. Walaupun ia mengetahui apa yang akan terjadi padanya bila melanggar dekrit raja itu, ia tetap melakukan doanya. Ia tidak mengambil tempat bersembunyi agar ia tidak dilihat, namun ia pergi ke tempat di mana ia melakukan ibadah hariannya dan melakukan doa seperti biasa yang ia lakukan.
            Dalam keyahudian pada zaman PL, ibadah harian ada 2, ‘ibadah harian shema’ dan ‘ibadah harian tephilla’. Ibadah Shema dilakukan dua kali sehari yakni petang dan pagi hari. Dasar liturgisnya dinyatakan pengakuan akan TUHAN yang satu (Ul.6:4). Perkembangan selanjutnya abad II sM., pengakuan shema berisikan 3 hal yakni, pengakuan akan YHWH yang esa (Ul. 6: 4-9); tekat untuk mengasihi YHWH dan beribadah kepadaNya (Ul. 11: 13-21); dan tekat untuk tetap mengingat dan melakukan perintah YHWH sebagai umat yang kudus (Bil.15:37-41).
            Ibadah harian tephilla, dalam tradisi keyahudian dilakukan tiga kali sehari. Ada dua pola, yakni ibadah kurban dilakukan di petang hari (Yudit 9:1 ‘Akan tetapi Yudit sujud menyembah, menaburi kepalanya dengan abu dan menunjukkan kain kabung yang dipakainya. Tepat pada saat itu dipersembahkan dalam Bait Allah di Yerusalem korban bakaran’), dan ibadah doa dilakukan sebanyak lima kali, yakni:
·         Shaharit, dilakukan di pagi hari.
·         Minhah, dilakukan di siang hari.
·         Ma’ariu, dilakukan di petang hari.
·         Ne’ilat She’arim, dilakukan di malam hari setelah penutupan pintu gerbang kota atau rumah.
·         Musaf, dipanjatkan di luar waktu di atas, dan dianggap sebagai doa tambahan.[20]
Doa merupakan salah satu bentuk kesetiaan kepada yang diimani. Dalam doa, Daniel berhubungan secara pribadi dengan Allah yang maha kuasa, yanng hidup, yang bersifat kekal dan yang menyelamatkan. Karena hubungan itu tidk dapat dipecahkan oelh penguasa duniawi, sehingga doa memberikan kepada kepribadian Daniel ketenangan serta kebebasan yang bertahan, juga pada waktu ia dilemparkan ke dalam gua singa.[21]
Ibadah Daniel telah dijadikan untuk membunuhnya. Sepertinya Daniel tidak terdapat kesalahan karena ibadahnya, ia hanya melakukan apa yang diajarkan oleh agamnya termasuk berdoa seprti yang biasa dilakukan. Hal inilah yang terjadi bagi kaum yang melakukan perlawanan terhadap kebijakan Antiokhus IV Epiphanes. Mereka tetap menjalankan ibadahnya walaupun mereka mengetahui apa yang akan terjadi terhadap mereka (Makabe 2:22 “Titah raja itu tidak dapat kami taati dan kami tidak dapat menyimpang dari ibadah kami baik ke kanan maupun ke kiri!").
Ayat 13-19
Setelah para wakil raja dan pejabat tinggi yang membenci Daniel melihat kejadian itu, mereka segera menghadap raja untuk memberitahukan peristiwa tersebut, dimana Daniel yang dikasihi oleh raja telah melanggar dekrit raja. Setelah raja mendengar bahwa Daniel telah melanggar dekrit itu, ia langsung bersedih dan berusaha untuk melepaskan Daniel dari hukuman itu. Namun, undang-undang orang Media dan Persia, dekrit yang disampaikan oleh raja tidak dapat dicabut dan diubah (ay. 9).
Akhirnya, ia dengan terpaksa memerintahkan agar Daniel dilemparkan ke gua singa. Ia sangat sedih karena peristiwa ini. Sebelum Daniel masuk ke gua singa, raja berkata ‘Allahmu yang kau sembah dengan tekun, dialah kiranya yang melepaskan engkau’. Perkataan tersebut merupakan suatu harapan Darius, namun harapan itu masih samar-samar karena ia masih ragu kapada Allah yang disembah oleh Daniel mampu melepaskan ia dari gua singa.
Darius mencap gua itu dnegan cincin meterainya dan cincin meterai para pembesarnya. Tujuannya supaya gua itu tidak menjadi gua sembarangan. Raja memberikan kekhususan terhadap gua dimana Daniel dimasukkan. Oleh karena itu, tidak sembarangan orang yang dapat memasuki gua itu atau berbuat sesuatu terhadap gua itu. Malamnya, Darius tidak dapat tidur. Ia terus-menerus mengkhawatirkan keadaan Daniel di dalam gua.
Ayat 20 – 25
Pagi-pagi sekali ketika fajar menyingsing, ia pergi buru-buru ke gua itu. Ia sangat khawatir dengan keadaan Daniel dan ingin memastikan Daniel baik-baik saja di dalam gua itu. Ia pun memanggilnya "Daniel, hamba Allah yang hidup, Allahmu yang kausembah dengan tekun, telah sanggupkah Ia melepaskan engkau dari singa-singa itu?". Gelar Allah ini adalah gelar yang klasik (Ul.5:26; Yos. 3:10). Ketika Daniel diketahui masih hidup, maka raja bergembira (ay.24). Hal ini diketahui ketika ada respon di dalam gua yang mangatakan ‘ya raja, kekallah hidupmu’. Jawaban ini merupakan suatu jawaban yang setia kepada raja. Kesetiaan kepada raja hendaknya sejalan dengan kesetiaan kepada raja (bdk. Kej. 39:9).[22]
Melihat Daniel masih hidup, maka bergembiralah hati raja itu. Ia sangat senang karena yang ia kasihi tidak diapa-apakan oleh singa-singa di dalam gua. Allahnya telah menyelamatkannya. Hal ini berarti, Allah tidak akan membiarkan umat yang selalu setia kepadaNya, beribadah kepadaNya, dan menaati perintahNya mati dalam penderitaan. Uamt yang demikian tidaklah memiliki kesetiaan yang sia-sia, namun menghasilkan kemenangan dalam penderitaan. Ayat 25, raja mengingat orang-orang yang membenci Daniel. Kemudian mereka dan keluarga mereka dimasukkkan ke dalam gua singa, karena telah merencanakan yang jahat kepada Daniel (bdk. Bil.16:32).

Ayat 26 – 29
Hasil yang diperoleh oleh Daniel dari kesetiaannya kepada TUHAN Allah ialah kebahagiaan. Melalui Daniel, Darius mendapat pengenalan akan Allah yang disembah oleh Daniel (ay. 28-29). Darius menyuruh seluruh kerajaan yang ia kuasai harus takut dan gentar kepada Allahnya Daniel (ay.28). sehingga ayat 29, Daniel mempunyai kedudukan yang tinggi pada zaman kerajaan Darius pada pemerintahan Koresh, orang Persia itu. Hal ini menunjukkan bahwa Koresy berasal dari suku yang berlainan dari raja Darius, orang Media itu. Namun kerajaan yang diperintah oleh kduanya adalah sama; tidak lebih dahulu ada kerajaan Persia. Itu satu kerajaan yang diperntah mula-mula oleh seorang Media dan kemudian oleh seorang Persia.
·         Makna teologinya
Tiga pasal dalam kitab Daniel (I, III, dan VI), memberikan contoh dari permusuhan yang akan segera sempurna dihancurkan oleh orang pilihan yang tidak sendirinya melawan bahaya. Di sisi lain dalam cerita ini, para buangan Yahudi harus mengetahui bahwa mereka tidak sendirian. Meskipun kelihatannya mereka belum bebas mengatur kelaliman dunia kekaisaran, namun pertolongan yang bersifat ilahi diberikan kepada mereka yang taat kepadaNya (psl. 3-6). Di sini terjadi pelebaran teologi horizon, selama masalah yang mengancam orang-orang pilihan an pembebasan mereka dapat dilihat dari tangan Allah yang akan menjaga orang yang taat padaNya.[23]
Soal kuasa juga menjadi pokok utama dalam pasal 3 dan 6. Unsur pemersatu negara majemuk dicari dan ditemui dalam dasar tunggal pemujaan negara, yang didewakan dalam suatu patung atau mengakibatkan ibadah pada kuasa ilahi manapun selain raja (6:8). Dengan sendirinya orang yang berTuhan tidak dapat menerima titah itu dan tetap berbakti kepada Allahnya (3:12;6:1-12). Dengan ini mereka mendatangkan hukuman mati atas dirinya dan menyerahkan nyawanya kepada Dia yang dapat melepaskan orang-orangNya (3:17). Sekalipun dekrit mendatangkan hukuman, atau ia menyadari raja akan kehilangan orang yang dipercayai, pegawai yang cakap, namun raja pun terikat oleh undang-undang yang tidak dapat dicabut kembali, biarpun merugikan negara. Sekalipun TUHAN mengatup mulut singa yang rakus, sehingga terpenuhi harapan raja: ’kiranya Allah yang kau sembah melepaskan engkau” (6:8). Orang yang taat dan beriman rela mati syahid untuk memasyukan TUHAN itu memungkinkan anggota masyrakat hidup dan menghayati kemerdekaan yang dikehendaki Allah untuk makhluk-makhlukNya.[24]
·         Latarbelakang dan Penafsiran 1Petrus 4: 12-19
Menurutnya kesaksian suratnya sendiri, rasul Petruslah pengarang 1 Petrus. Dia menyebutkan dirinya sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus dan ini belum berarti bahwa ia betul-betul adlaah penyaksi mata penderitaan Yesus. Namun kebayakan ahli-ahli menyadari adanya keberatan-keberatan terhadap Petrus selaku pengirim surat ini. Jadi siapakah pengirimnya? Dalam situasi ini bayak penafsir menunjuk kepada pasal 5:12 dan mengusulkan Silwanus sebagai pengarangnya.[25]
Surat ini merupakan bagian yang sangat pastoral, karena tujuannya untuk menyemangati orang-orang Kristen yang menghadapi masalah yang real dan krisis yang meyerang hidup mereka sehari-hari. Surat ini bersifat pastoral dalam hal pemilihan bahan nasihat, tidak lain dimaksudkan untuk tujuan kerygma iman.[26]
Surat ini ditujukan kepada orang Kristen di Pontus, Galatia, Cappadocia, Asia dan Bithinia (1:1). Surat ini dituliskan oleh Silvianus (Silas) yang bersamanya dan Markus (5:1). Surat ini dituliskan ketika orang Kristen Yahudi berada di bawah penganiayaan dan pencobaan (1Ptr.1:6;4:12-16). Surat ini banyak menerangkan penderitaan, mengenai Yesus sebagai hamba yang menderita, dan pengorbanan akan dosa (1:11,19; 2:21-24;4:1).  Pada akhirnya surat Petrus menuntut kerendahan hati mereka dan bersabar di bawah tekanan dan penderitaan. [27]
Xavier Lēon-Dufour menuliskan surat Petrus merupakan jenis sastra ‘surat wasiat (berisikan pidato perpisahan seorang menjelang kematiannya). Biarpun penulisnya memperkenalkan dirinya sebagai Petrus (1:1), ahli berpendapat bahwa surat ini nampaknya ditujukan kepada jemaah-jemaah yang terancam dalam bahaya bidaah dalam ajaran dan cara hidup.[28] Orang Kristen disiksa karena menentang cara hidup yang buruk dan boros, sambil menjauhkan diri dari penyembahan berhala. Mereka tidak turut menonton sandiwara yang pokok-pokoknya sering berkenaan dengan kecerobohan dan dengan hikayat berhala. Orang Kristen tidak bisa mempunyai jabatan lagi sebagai pegawai, atau prajurit, sebab jabatan-jabatan itu selalu menuntut supaya mereka ikut serta dalam ibadat kafir dan penyembahan kaisar. Oleh karena itu banyak orang di luar Kristen curiga terhadap kumpulan Kristen. Perjamuan Kudus dicurigai sebagai suatu upacara, di mana terjadi pengorbanan yang berdarah. Orang Kristen dituduh melakukan kejahatan-kejahatan. Pada waktu pemerintahan Nero, timbul tuduhan bahwa orang Kristen yang membakar kota Roma. Penulisan kitab ini belum dapat dipastikan.[29]
Ayat 12
Pada ayat tersebut terdapat suatu nasihat agar tidak terkejut dengan apa yang terjadi atas diri orang Kristen pada masa itu. Orang Kristen mendapatkan suatu posisi yang baru sebagai umat Allah yang harus menderita. Mungkin pernyataan ini aneh. Keanehan itu tentu mendatangkan keheranan. Bila kita memperhadapkan tokoh dalam PL, orang Kristen  yang mengalami penderitaan karena kesetiaan kepada TUHAN Allah dalam Yesus Kristus sama seperti orang Yahudi, Daniel yang menderita karena ketaatannya kepada Allah. Yesus sendiri telah memberikan gambaran sebagai pengikutNya, siap untuk menderita (Mat.5:10-12; Mrk. 8:34; Yoh.15:18-20).
Nyala api merupakan suatu cara yang dipakai oleh Nero untuk menghancurkan perkumpulan Kristen. Umat  Kristen tidak mau taat kepadanya dan meninggalkan agamanya serta menyangkal Tuhannya, ia akan dibakar hidup-hidup. Namun nyala api memiliki tujuan yang lain, yakni memurnikan iman umat Kristen sama seperti emas yang dimurnikan dalam api. Iman dimurnikan dari penderitaan dunia ini, dan kita mendapatkan puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya (1Ptr.1:7 bdk Why. 3:18; Maz. 60:10).[30]
Ayat 13-14
Kata ini terdapat kata berbahagialah dan bersukacitalah. Penulis melihat apa makna penderitaan yang lebih dalam lagi. Pada ayat 13, umat Kristen diajak untuk berbahagia karena turut serta menanggung penderitaan yang ditanggung oleh Yesus Kristus. Umat Kristen hendaknya bersyukur karena ia telah menerima anugrah dari Allah. Mengapa penderitaan itu dikatakan sebagai angurah? Karena umat Kristen turut mengambil bagian dalam penderitaan Kristus (1Ptr. 2:20). Bersukacita dalam penderitaan sampai umat Kristen beroleh kebahagiaan dan kesukacitaan ketiaka Ia datang dalam kemuliaaNya. Hal ini mengarah kepada saat-saat eskatologi. Pada masa-masa eskatologi itulah berakhir segala penderitaan yang diderita oleh orang Kristen dari orang-orang yang membenci TUHAN Allah yang disembah oleh orang Kristen.
Pada ayat 14, umat Kristen diajak untuk berbahagia jika dinista karena nama Kristus, Roh Kemuliaan, yaitu Roh Allah padamu. Pernyataan ini sama dengan apa yang diucapkan oleh Yesus ketika ia khotbah di bukit (Mat. 5:11). Celaan demi namaNya telah dinubuatkan oleh Yesus. Ayat 14 bukanlah sebuah ungkapan yang mengatakan umat Kristen merupakan pelaku kriminal, namun umat Kristen menderita demi nama Kristus, Roh Kemuliaan.[31]
Ayat 15-17
Ayat 15, merupakan sebuah nasihat agar jangan menderita karena perbuatan jahat yang dilakukan. Penderitaan Kristen ialah penderita oleh karena kebenaran yang selalu dibenci oleh dunia. Ayat ini memberitahu bahwa penderitaan Kristen berbeda dengan penderitaan orang penjahat, orang Kristen tidak sama dengan para penjahat, pembunuh, pengacau, pencuri. Ayat ini juga menjawab tuduhan banyak orang pada zaman penulisan kita ini.
Janganlah akibat penderitaan itu, umat Kristen langsung menyangkal apa yang ia imani selama ini (ay. 16). Janganlah malu menjadi pengikut Kristus. Yesus berkata ‘Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusia pun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.’ (Mrk. 8:38; Luk. 9:26). Walaupun situasi pada masa itu orang Kristen mengalami penyiksaan, pengejaran demi nama Kristus, orang Kristen tidak perlu malu atu meninggalkan imannya agar ia bebas dari penderitaan atau pengejaran itu, sehingga dalam kemulianNya, ia diakui olehNya di hadapan Bapa.
Penderitaan itu tidak berakhir dengan kesia-siaan bila setia kepada yang diimaninya. Ayat 17, dikatakan akan tiba suatu penghakiman. Ayat ini merupakan suatu ungkapan eskatologis. Penghakiman itu berasal dari Allah. Allah dalam ayat ini pertama sekali menghakimi Rumah Ibadah (Gereja). Gereja akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di penghakiman tersebut. Ulrich Beyer berpendapat bahwa penderitaan itu merupakan babak pertama dari hukuman Allah yang harus terlaksana. Hukuman itu berat, tetapi boleh disebut ringan juga, jika dibandingkan dengan penghakiman atas orang fasik.[32]
Ayat 18-19
Ayat 18, penulis kitab ini mengambil Amsal 11:31, sebagai kelanjutan pemberitaannya. Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang fasik akan lebih berat atau sangat berat hukumannya dibandingkan orang yang taat kepada Allah. Ayat ini adanya perbedaan hukuman yang akan diterima di penghakiman tersebut kepada orang yang taat kepadaNya, yang tidak menyangkalNya dibandingkan dengan orang yang fasik.
 Ayat 19, merupakan sebuah kelanjutan dari ayat 18 sekaligus sebagai penutup dalam perikop ini. Dalam ayat ini adanya pengajaran berupa permohonan agar dalam penderitaan, kita menyerahkan jiwa, dengan selalu berbuat baik kepada pencipta yang setia. Dengan kata lain, ayat ini mengatakan orang Kristen dalam menghadapi penderitaan selalu berharap. Harapan yang dimaksud tidak secara pasif, namun berharap dengan aktif dengan selalu setia kepada yang ia imani, TUHAN Allah dalam Yesus Krsitus. Allah Pencipta dan Yang Maha Kuasa walaupun dalam menjalani hidupnya , orang Kristen mengalami penderitaan yang sangat berat ataupun nyawa taruhannya.
·         Makna teologinya
Ciri penting dalam surat ini ialah pola yang disodorkan ke hadapan pembaca, yaitu contoh penderitaan Kristus (2:21). Mengingat penghambatan yang akan datang, orang-orang yang percaya sering menghimbau agar bertahan. Orang-orang Kristen tidak dijanjikan luput dari penghambatan bila menjadi pengikut Kristus, namun ada disediakan pertolongan untuk memampukan mereka dalam bertekun. Pertolongan itu meliputi keteladanan Kristus, keteladanan dan kesaksian orang-orang lain, janji Allah akan pemulihan, jaminan tentang perlindungan Allah (4:19), dan pemberitan anugerah Allah.[33]
Penderitaan orang Kristen tidak berakhir dengan kesia-siaan, karena penderitaan itu akan berakhir ketika Allah menggenapkan KerajaanNya di bumi ini dalam kemuliaan AnakNya, Yesus Kristus. Masa itu merupakan suatu harapan yang terus-menerus dinantikan. Masa itu dikenal dengan masa eskatologi.
Eskatologi berasal dari kata eskhaton (Yun. escaton (n); escatoV (m) yang berarti ’terakhir, paling rendah, yang paling akhir dari semuanya’.[34] Kittel menuliskan dalam artikelnya ’escatoV’, istilah ini pada umumnya berarti sesuatu yang terakhir baik berupa materi (Mat.5:26; Luk.12:59), ruang (Kis.1:8; 13:47), dan waktu (Mat.12:45; 20:8f). Secara tidak langsung istilah ini menjadi istilah teologi yang penting secara tidak langsung. Pada waktu bersamaan istilah ini berarti penutup dari cerita sehingga dari waktu tersebut istilah eskaton dapat menjadi tidak sama dengan peristiwa-peristiwa. Eskatologi dibawa dari pengertian akhir zaman. Keseberagaman ungkapan yang dihasilkan menjadi dijelaskan sebagian oleh penerjemah LXX הַיָמִים בְאַחֲרִית (hari terakhir) dan sebagian pengaruh oleh kenabian ’hari TUHAN’. Akhir dimulai dengan kedatangan Yesus (Ibr.1:2; 1Ptr. 1:20) tetapi penulis Kristen mula-mula juga melihat kehadiran mereka sendiri sebagai akhir zaman, diperhadapkan pada pencurahan Roh Kudus (Kis. 2:17) dan di lain pihak masa iblis, para pengejek, datangnya anti Kristus, dll.(2Ptr. 3:3; Yud.18). Di waktu yang sama kedatangan akhir zaman membawa akhir segala murka (Why. 15:1), menyelesaikan apa yang dibenci (1Kor. 15:26), memberitahukan bunyi terompet terakhir (1Kor.15:52), bangkit dari mati, penghakiman dan keselamatan (Yoh.6:39f; 44,54;11:24;1Ptr.1:5).[35]

III.             GABUNGAN (ANALISA LANJUTAN)
Umat yang setia kepada Allah tidak akan lepas dari penderitaan selama ia hidup di dunia ini, karena dunia telah menolakNya. Kitab Daniel bertujuan untuk meyemangati orang-orang yang disiksa karena kesetiaann kepada Allah. Orang yang setia kepada TUHAN Allah mudah menjadi sasaran kebencian dan penganiayaan, meskipun warga negara yang setia. Allah menolong mereka. Tindakan Allah yang ajaib tersebut (divine help) membuat adanya pengakuan dari bangsa-bangsa yang tidak mengenalNya mengakui keunggulan Allah Israel.[36]
Allah tidak membiarkan umat pilihanNya ataupun umat yang percaya kepadaNya sendiri menghadapi penderitaan dari orang-orang fasik. Penderitaan itu akan berakhir secara eskatologis. Eskatolgi dalam kitab Daniel dapat dilihat ketika Allah menyelamatkan dia dari gua singa, Allah berkuasa terhadap binatang-binatang yang ingin menyantapnya. Allah tidak menginginkan orang yang setia kepadaNya mati dalam penderitaan. Namun Allah memberikan suatu kebahagiaan setelah penderitaan itu berakhir.
Karena kesetiaan maka Allah menyelamatkan umatNya. Kesetiaan itu tampak dengan kegiatan atau tingkah laku dalam kehidupan umat pilihan. Bagi umat yang dipilih olehNya, kesetiaan itu tampak dengan tidak menyangkal Dia yang telah memilihnya menjadi umatNya, tidak malu mengakuiNya walaupun ancaman yang dapat menghilangkan nyawanya mengancamnya.
Penulis Daniel dan Petrus sama-sama memberikan semangat berupa nasihat agar umat Allah (orang Yahudi yang setia (PL), orang Kristen (PB)) tidak meninggalkan apa yang ia yakini selama hidupnya ketika suatu penderitaan tiba di kehidupannya. Penderitaan itu tidak berakhir dengan kesia-siaan, namun penderitaan itu berakhir dengan penghakiman, yakni penghakiman terakhir dari Allah di hari eskaton kelak. Allah akan menghakimi umat yang setia dan umat yang fasik yang membenciNya. Namun hukuman yang diperoleh oleh umat yang setia tidak sama dengan hukuman yang diterima oleh orang fasik.
Di hari penghakiman tersebut, orang yang setia dan orang fasik sama-sama dihakimi menurut perbuatannya. Siapa yang setia dan yang tidak menyangkal imanya ketika penderitaan yang dialami sebelum penghakiman akan diakui olehNya menjadi milikNya. Sedangkan orang yang menyangkal imannya, Anak Manusia pun akan menyangkal dan malu mengakuinya di hadapan Bapa.
Oleh karena itu, eskaton yang sama pengertiannya dengan hari TUHAN, merupakan masa yang ditakuti oleh orang fasik, namun bagi orang yang setia kepada TUHAN masa itu adalah masa yang dinantikan. Mengapa? Karena masa itu, umat yang setia yang menderita akan lepas dari penderitaannya, dan ia akan diakui oleh Anak Manusia di hadapan Bapa. Orang yang taat dalam penderitaan akan menuju suatu kebahagiaan yang kekal yang telah disediakan olehNya. Orang yang setia dalam penderitaan akan menantikan saatnya Allah menyempurnakan KerajaanNya,
Bila diperhatikan cerita dalam kitab Daniel, ia tetap setia kepada TUHAN Allah. Ia tetap melakukan ibadahnya walaupun ada suatu dekrit yang bertentangan dengan ibadahnya. Ia tetap beribadah kepada Allahnya seperti yang ia lakukan biasanya. Daniel berlutut, berdoa tiga kali sehari. Ia tahu bahwa ia akan dimasukkan ke gua singa bila melanggar peraturan orang Media itu, namun ia setia kepada IbadahNya.[37]
Bagaimanakah orang Kristen menjalan ibadah hariannya dalam penderitaan mereka? Pada penghancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 70 dipahami para peniliti liturgi kekeristenan sebagai peralihan dan sejarah baru terhadap pola gereja Kristen Yahudi. Misalnya, sunat diganti dengan baptisan (Kis. 2: 38-41), perjamuan Paskah diganti menjadi Perjamuan Kudus (Kis. 21:25), lambat laun sbat diganti Ibadah Minggu (Why. 1:10).
Demikianlah ibadah harian Kristen tidak melulu memenuhi kewajiban tradisi keyahudian. Doa telah didengar Allah melalui Yesus Kristus. Asal usulnya dimulai digali dari doa semalam suntuk sebelum hari Minggu, yang merupakan tradisi asli orang Kristen. doa ini terdiri dari tiga bagaian utama. Pertama, kebaktian malam atau yang disebut dengan lucenarium. Pada perkembangan selanjutnya ibadah ini disebut dengan vesper. Kedua, kebaktian tengah malam. Inilah disebut aslah-usul jam doa yang kemudian disebut dengan noctrum atau mattin atau matte, yang artinay doa malam. Kebaktian subuh disebut denga Laud.[38]
Pada abad selanjutnya, liturgi harian ini menjadi doa lima waktu, yakni:
¨      Matte, diwaktu malam. Cirinya ialah perenungan akan Firman TUHAN.
¨      Laud, dilakukan subuh. Ketika seluruh ciptaan sudah mulai bangun dan burung-burung mulai bernyanyi. Orang percaya memuji TUHAN sebagi pencipta dan penebus.
¨      Prime, doa yang dipanjatkan sebelum pekerjaan sehari-hari dimulai. Penekanannya ialah permohonan.
¨      Vesper, ibadah atau doa yang dilakukan setelah hari mulai senja atau berakhir. Penekanannya ialah perenungan akan anugrah Allah, pujian dan ucapan syukur.
¨      Complite, ibadah atau doa yang dilakukan sebelum tidur. Disinilah orang percaya memasrahkan hidupnya pada penyataan Allah.


IV.             REFLEKSI APLIKASI
Pada masa sekarang ada sekelompok orang yang tidak menyukai ibadah harian yang dimiliki oleh agama Kristen, sehingga mereka mencoba untuk menghentikan ibadah ini. Berbagai cara dilakukan agar ibadah umat Kristen atau ibadah umat yang percaya dan setia terhenti atau hilang. Berbagai cara yang dilakukan misalnya, menyiksa orang-orang yang melakukan ibadah harian tersebut.
Ada juga sekelompok orang yang ingin menjatuhkan orang yang sukses hidupnya dengan ibadah hariannya yang selalu dilakukan tiap harinya. Sekelompok orang itu mendekati orang berkuasa di daerah itu untuk mengeluarkan suatu dekrit atau peraturan yang bertentangan dengan agama yang dilakukan atau yang dapat menghentikan ibadah harian yang dilakukannya.(bdk. Kisah Daniel 6:5-12).
            Dari penjelasan sebelumnya, Perjamuan Kudus juga merupakan bagian dari ibadah harian. Tidak ada alasan setiap gereja atau instansi untuk meniadakan Perjamuan Kudus apabila ada yang membutuhkannya. Karena dalam Perjamuan Kudus kita menerima anugrah Allah dan di samping itu kita diteguhkan dalam penderitaan yang dialami hingga ia dihakimi di hari penghakiman kelak dan turut serta dalam perjamuanNya dalam kerajaanNya.
V.                KESIMPULAN
Umat Allah atau umat Kristen merupakan umat yang dipilih Allah sebagai penerima anugrahNya. Namun, mereka tidak lepas dari penderitaan selama ia hidup di dunia ini. Oleh karena itu, umat Allah hendaknya taat kepadaNya dalam menghadapi suatu pengejaran atau penyiksaan yang dapat menimbulkan kematian.
Hendaknya dipercayai bahwa Allah yang kita imani tetap setia kepada umatNya yang taat dan setia kepadaNya. Walaupun dalam penderitaan, Allah tidak tinggal diam memperhatikan umatNya dalam penderitaan karena kesetiaannya. Allah akan memberikan suatu kelepasan bagi mereka sehingga penderitaan mereka mengarahkan mereka kepada kebahagiaan. Allah akan menolong mereka, dan akhirnya umatNya akan dimenangkan dalam penderitaan yang dialami.




DAFTAR PUSTAKA
Barth Ch.,
2004                            Theologia Perjanjian Lama 4, Jakarta: BPK-GM.
Bergant Diane dan Robert J. Karris (edit),
2002                            Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius
-------------------------,
2002                            Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius,
Best Ernest,
1987                            The New Century Bible Commentary: 1 Peter, (Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publ. Co. & London: Marshall , Morgan & Scott Publ. Ltd
Beyer Ulrich,
1979                            Tafsiran Alkitab: Surat 1&2 Petrus dan Surat Yudas, Jakarta: BPK-GM.
Bright John,
1981                            A History of Israel, 3rd edition, Philadelphia: Westminster Press
Crenshaw James L.,
1992                            Old Testament Story and Faith: A Literaty And Theological Introduction, Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publisher
Darmawijaya, 
1990                            Daniel dan Pesannya, Yogyakarta: Kanisius
Douglas J.D. (peny),
2004                Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, Jakarta: YKBK/OFM 
-------------------------,
2004                            Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, Jakarata: YKBK/OFM.
Eissfeldt Otto,
1966                            Introduction of The Old Testament, Oxford: Basil Blackwell
Goldingay John E.,
1989                            World Biblical Commentary: Daniel, Dallas, Texas: Word Book Publisher
Groenen C.,
1992                            Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius  
Guthtrie Donald,
2006                            Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: BPK-GM.
Koch Klaus,
1997                            Kitab Yang Agung, Jakarta: BPK-GM
Lēon Xavier, Dufour,
1993                            Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius
Kittel Gerhard (edit),
1976                            Theological Dictionary of The New Testament, vol. II Grand Rapid, Michigan: W.M.B. Eermans Publishing Company
Lüthi Walter,
1947                            Daniel Speaks to The Church, Minneapolis: Augsburg Publishng House
Mounce William D.,
2002                            The Analytical Lexicon to The Greek New Testament, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House  
Newman Barclay M.,
2004                            Kamus Yunani – Indonesia, Jakarta: BPK-GM.
Oesterley W.O.E.,
1951                            A. History of Israel, Oxford: at The Clarendon Press
Porteous Norman W.,  
1965                            Daniel, A Commentary, Bloomsbury Street, London: SCM Press LTD
Rad Gerhard von,
1965                            Old Testament Theology, Edingburg: Oliver and Boyd

Siahaan S. M., Robert M. Paterson,
2003                            Tafsir Alkitab: Daniel: Latarbelakang, Tafsiran, dan Pesan, Jakarta: BPK – GM.
Vriezen Th.C.,
2004                            Agama Israel Kuno, (Jakarta: BPK-GM.
Wahono S. Wismoady,
2004                            Di Sini Ku Temukan,Jakarta: BPK-GM,
Witherington Ben III,
2001                            New Testament History: A Narative Account, Grand Rapids, Michigan: Baker Academic & United Kingdom: Paternoster Press,
Yawangoe A.A., dkk (peny),.
2004                            Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia: buku kehormatan 70 tahun Prof. Dr. Sularso Sopater Jakarta: BPK-GM,


[1] Otto Eissfeldt, Introduction of The Old Testament, (Oxford: Basil Blackwell, 1966), 513
[2] Apokaliptik berasal dari bahasa Yunani, apokalupsis (ApokaluyiV) yang berarti wahyu, atau penyataan. Kata kerjanya ialah apokaluptw, ‘menyatakan’. Ini  berarti kitab Daniel merupakan kitab yang berisikan tentang penampakan-penampakan yang bersifat Ilahi (divine vision).
[3] Ibid, 528
[4] Norman W. Porteous, Daniel, A Commentary, (Bloomsbury Street, London: SCM Press LTD, 1965), 15
[5] James L. Crenshaw, Old Testament Story and Faith: A Literaty And Theological Introduction, (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publisher, 1992), 363
[6] J.C. Whitcomb: Daniel dalam buku J.D. Douglas (peny), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid, 2, (Jakarta: YKBK/OFM, 2004), 233
[7] John Bright, A History of Israel, 3rd edition, (Philadelphia: Westminster Press, 1981), 423
[8] Klaus Koch, Kitab Yang Agung, (Jakarta: BPK-GM, 1997), 81
[9] S. Wismoady Wahono, Di Sini Ku Temukan, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 275
[10]  Diane Bergant dan Robert J. Karris (edit), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 616
[11] J. C. Whitcomb: Daniel. Dalam buku J.D. Douglas (peny), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, (Jakarata: YKBK/OFM, 2004), 58-59
[12] Th.C. Vriezen, Agama Israel Kuno, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 301
[13] Ch. Barth, Theologia Perjanjian Lama 4, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 137
[14] John Bright, Op.Cit, 422
[15] W.O.E. Oesterley, A. History of Israel, (Oxford: at The Clarendon Press, 1951), 233
[16] Bdk. S. M. Siahaan, Robert M. Paterson, Tafsir Alkitab: Daniel: Latarbelakang, Tafsiran, dan Pesan, (Jakarta: BPK – GM, 2003), 127
[17] Dalam buku yang dituliskan oleh S.M. Siahaan, kata mencari dalam ayat 5 merupakan suatu istilah yang mana ungkapan ini dalama bahasa Aram berarti bahwa mereka melakukannya berulang kali (Ibid, 124).
[18] Ibid, 75
[19] John E. Goldingay, World Biblical Commentary: Daniel, (Dallas, Texas: Word Book Publisher, 1989), 126
[20] Jusen Boangmanalu (Doa Lima Waktu ‘liturgi harian HKBP 2001’ suatu kajian Historis dan Upa Beteologi Kontekstual di HKBP) dalam buku A.A. Yawangoe, dkk (peny). Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia: buku kehormatan 70 tahun Prof. Dr. Sularso Sopater (Jakarta: BPK-GM, 2004), 378 – 380
[21] S.M. Siahaan, Op.Cit, 130
[22]Lih. Darmawijaya Pr. Daniel dan Pesannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 65
[23] Gerhard von Rad, Old Testament Theology, (Edingburg: Oliver and Boyd, 1965), 310
[24] Ch. Barth, Op.Cit. 139
[25] Ulrich Beyer, Tafsiran Alkitab: Surat 1&2 Petrus dan Surat Yudas, (Jakarta: BPK-GM, 1979), 29
[26] Diane Bergant, Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 446
[27] Ben Witherington III, New Testament History: A Narative Account, (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic & United Kingdom: Paternoster Press, 2001), 350-351
[28] Xavier Lēon, Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 443
[29] Ulrich Beyer, Op.Cit. 23
[30] Ernest Best, The New Century Bible Commentary: 1 Peter, (Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publ. Co. & London: Marshall , Morgan & Scott Publ. Ltd, 1987
[31] Lih. Ibid. 163
[32] Ibid, 128
[33] Donald Guthtrie, Teologi Perjanjian Baru 2, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 288-289
[34] Barclay M. Newman, Kamus Yunani – Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 68 lihat juga William D. Mounce, The Analytical Lexicon to The Greek New Testament, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 2000), 219
[35]Gerhard Kittel: escatoV, dalam buku Gerhard Kittel (edit), Geoffrey W. Browmiley (penerjemah), Theological Dictionary of The New Testament, vol. II (Grand Rapid, Michigan: W.M.B. Eermans Publishing Company, 1976), 697
[36] C. Groenen, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 280
[37] Walter Lüthi, Daniel Speaks to The Church, (Minneapolis: Augsburg Publishng House, 1947), 66
[38] A.A. Yawangoe, dkk (peny), Op.Cit. 382 – 405