DANIEL PANE

SELAMAT DATANG DAN MENIKMATI YANG TELAH DISAJIKAN

Minggu, 28 November 2021

Dimensi Eskhatologis Minggu Adven

DIMENSI ESKATOLOGIS

MINGGU-MINGGU ADVEN

I. Pendahuluan

            Minggu-minggu Adven merupakan salah satu perayaan dalam tahun liturgi gereja.[1] Dalam sebuah buku yang dituliskan oleh I. Marsana Windhu, permulaan Tahun Liturgi dimulai pada awal masa Adven. Tahun Liturgi memuncak pada perayaan Paskah dan berakhir pada minggu biasa ke-34, yaitu pada hari Minggu biasa (Minggu Trinitatis), setelah itu disusul dengan Adven lagi sebagai awal Tahun Liturgi yang baru, begitu seterusnya.[2] Perayaan Minggu Adven dimulai pada hari Minggu, tepatnya 4 minggu sebelum tanggal 25 Desember.

            Dalam tulisan ini, penulis memaparkan satu dimensi, dimensi Eskatologis yang terkandung di dalam minggu-minggu adven. Dimana, dimensi hampir atau bahkan telah dilupakan oleh Gereja (Gereja yang dimaksudkan di sini ialah persektuan yang terdiri dari Pelayan Gereja (Pendeta, dsb.) dan warga Jemaat). Hal itu dapat dilihat dari pemahaman beberapa jemaat bahwa Minggu Adven sering diartikan sebagai minggu-minggu persiapan menjelang natal, tanggal 25 Desember. Selain itu, minggu-minggu ini merupakan minggu-minggu yang sibuk, karena mempersiapkan segala hiasan (pohon terang), mempersiapkan susunan natal di gereja (gedung), maupun di luar gereja.

            Jika diperhatikan dari judul, sepertinya tulisan ini akan mengarah kepada pengajaran. Namun, penulis akan membahas peran dari dimensi eskatologis dari minggu-minggu adven, sehingga tulisan ini akan mengarah tidak hanya kepada pengajaran namun ke praktika (praksis).

            Untuk mempermudah dalam penulisan ini, setelah memaparkan pendahuluan, penulis kemudian memaparkan latar belakang penulis dalam memilih judul, kemudian apa yang menjadi pengertian minggu Adven dan eskatologi. Setelah itu penulis memaparkan sejarah minggu Adven, kemudian hubungan adven dengan eskaton, kemudian bagaimana peranan dimensi eskatologis yang termaktub dalam minggu-minggu Adven dalam keluarga, gereja dan masyarakat. Setelah itu, penulis akan menyimpulkan keseluruhannya dalam satu bagian dan diakhiri daftar pustaka.

 

II.          Latar Belakang Pemilihan Judul

Minggu-minggu adven merupakan minggu-minggu yang penuh dengan penantian, baik penantian datangnya Natal, maupun penantian Yesus kedua kali dalam kemuliaanNya dan sebagainya. Namun, minggu-minggu yang penuh penantian ini sering sekali dijadikan minggu-minggu yang penuh dengan kesibukan untuk mempersiapkan perayaan natal. Sehingga suatu dimensi dalam minggu-minggu adven kerap dilupakan atau bahkan telah hilang dalam pemahaman masyarakat. 

Minggu-minggu Adven sebagai minggu yang penuh penantian sudah berubah fungsi menjadi minggu-minggu yang penuh dengan kesibukan mempersiapkan perayaan Natal. Menurut penulis, adven yang hanya diartikan sebagai penantian menyambut perayaan hari natal merupakan suatu pengartian yang sangat dangkal walaupun adven mengarah kepada perayaan natal dan tidak dapat disangkal. Namun, pengartian tersebut tidak berhenti pada pengartian yang pertama, hendaknya pengartian tersebut diperdalam menjadi suatu perayaan penantian datangnya Yesus Kristus kedua kali dalam kemuliaanNya.

Beberapa lapisan masyarakat, gereja, instansi-instansi pemerintah atau pun swasta tidak sabar menunggu datangnya perayaan natal. Hal tersebut tampak adanya suatu perayaan natal pada minggu-minggu adven dan itulah yang menjadi problematika yang sering muncul dalam minggu-minggu Adven. Minggu-minggu adven sebagai minggu-minggu penantian perayaan natal, 25 Desember telah berubah menjadi minggu-minggu perayaan natal. Minggu-minggu yang selayaknya dinyanyikan nyanyian adven seperti Kj. No. 85 “Kusongsong Bagaimana, ya Yesus DatangMu?” berganti menjadi Kj. No. 123 “S’lamat-s’lamat datang Yesus Tuhanku”. Pada minggu-minggu adven nyanyian “Malam Kudus”, “dimalam Sunyi Bergema” telah kerap bergema menggantikan nyanyian “O Datanglah, Imanuel”, “Putri Sion” yang sangat jarang digemakan dalam minggu-minggu Adven. Pembacaan Lukas 2 tentang kelahiran Yesus juga telah diberitakan lebih awal dibandingkan nas Alkitab sebagai dasar iman dalam minggu-minggu Adven atau masa-masa penantian kedatangan Mesias, misalnya Yes. 11, Yes. 7: 14.[3]

Selain itu juga, minggu Adven sebagai minggu penantian kedatangan Yesus Kristus kedua kali dalam kemuliaaNya berubah menjadi minggu-minggu yang penuh dengan kesibukan. Oleh karena itu, peranan dimensi eskatologis yang terkandung dalam minggu-minggu Adven sepertinya tidak berpengaruh baik dalam gereja, keluarga maupun masyarakat.

Dari penjelasan kedua problematika di atas, mungkin agak lucu namun sangat menyedihkan bila diambil contoh dari pengalaman saudara-saudara Muslim. Pada bulan Ramadhan mereka berpuasa. Mereka konsisten menjalaninya. Tidak ada yang mencoba-coba mendahulukan merayakan hari raya Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Lebih menyedihkan adanya beberapa Pendeta atau Pelayan Gereja yang menyetujui diadakannya perayaan natal di minggu-minggu Adven. Hal tersebut barangkali adanya pemahaman yang sangat minim tentang minggu-minggu Adven, atau barang kali perayaan minggu-minggu adven dianggap sebagai minggu-minggu yang penuh  berkat[4] karena perayaan natal di minggu-minggu Adven dapat menambah uang saku, dengan kata lain, yang penting adalah berkat yang diterima dari perayaan natal di minggu-minggu Adven tanpa memperhatikan apa bagaimana peranan suatu dimensi di minggu-minggu Adven, dimensi Eskatologis dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat bahkan berumah-tangga.

Berangkat dari permasalah tersebut, penulis mencoba masuk dalam permasalahan tersebut serta menggumulinya. Dalam menggumulinya, penulis mencoba untuk melihat bagaimana bentuk dimensi esktologi dalam minggu-minggu adven, serta bagaimanakah peran dimensi itu dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat, bahkan berumah-tangga. Untuk itulah penulis mengambil judul “Peranan Dimensi Eskatologis Minggu-minggu Adven”.

 

III.       Pengertian Adven dan Eskatologis

Dalam buku yang dituliskan oleh I. Marsana Windhu, Adven berasal dari bahasa latin, “Adventus” yang berarti ‘kedatangan’.[5] Dalam kamus Latin-Indonesia, Adventus berarti kedatangan, pendekatan, atau sesuatu hal yang mendekati.[6] Pendekatan yang dikhususkan oleh penulis di sini ialah pendekatan akan kedatangan Kristus untuk kedua kali. Sehingga, penulis menawarkan istilah yang memiliki hubungan dengan Adven sebagai penantian akan kedatangan Kristus, ‘Adventus Christi’. Adventus Christi ialah penantian akan kedatangan Kristus, sering diacukan kepada Kristus pada penyempurnaan abad. Pada akhir zaman, Kristus akan kembali dalam kemuliaan dan kekuatan di atas awan-awan sorgawi untuk menebus pilihanNya dan mengumpulkan orang yang hidup dan mati kemudian dibangkitkan dari kematian pada penghakiman terakhir (iudicium extremum).[7]  

Seorang tokoh yang bernama Michael Keene menuliskan, Adven adalah saat persiapan untuk masa natal.[8] Dalam buku yang dieditori oleh Samuel Macauley Jackson, D.D., LL. D. dituliskan, istilah Adven pada mulanya merupakan waktu atau saat-saat yang mengarah ke kelahiran Kristus, sehingga adven merupakan waktu atau saat-saat persiapan natal. Kemudian, istilah ini memiliki pengartian yang lebih luas, sebagai penantian kedatangan Kristus, sehingga adven juga mengarah pada kedatangan kedua kali Kristus dan masa penghakiman.[9]

Eskatologi berasal dari kata eskhaton (Yun. escaton (n); escatoV (m) yang berarti ’terakhir, paling rendah, yang paling akhir dari semuanya’.[10] Kittel menuliskan dalam artikelnya ’escatoV’, istilah ini pada umumnya berarti sesuatu yang terakhir baik berupa materi (Mat.5:26; Luk.12:59), ruang (Kis.1:8; 13:47), dan waktu (Mat.12:45; 20:8f). Secara tidak langsung istilah ini menjadi istilah teologi yang penting secara tidak langsung. Pada waktu bersamaan istilah ini berarti penutup dari cerita sehingga dari waktu tersebut istilah eskaton dapat menjadi tidak sama dengan peristiwa-peristiwa. Eskatologi dibawa dari pengertian akhir zaman. Keseberagaman ungkapan yang dihasilkan menjadi dijelaskan sebagian oleh penerjemah LXX הַיָמִים בְאַחֲרִית (hari terakhir) dan sebagian pengaruh oleh kenabian ’hari TUHAN’. Akhir dimulai dengan kedatangan Yesus (Ibr.1:2; 1Ptr. 1:20) tetapi penulis Kristen mula-mula juga melihat kehadiran mereka sendiri sebagai akhir zaman, diperhadapkan pada pencurahan Roh Kudus (Kis. 2:17) dan di lain pihak masa iblis, para pengejek, datangnya anti Kristus, dll.(2Ptr. 3:3; Yud.18). Di waktu yang sama kedatangan akhir zaman membawa akhir segala murka (Why. 15:1), menyelesaikan apa yang dibenci (1Kor. 15:26), memberitahukan bunyi terompet terakhir (1Kor.15:52), bangkit dari mati, penghakiman dan keselamatan (Yoh.6:39f; 44,54;11:24;1Ptr.1:5).[11]

Richard Bauckham menuliskan eskaton adalah penciptaan kembali oleh Allah atas dunia ini,[12]sama seperti kebangkitan Yesus yang adalah pembangkitan oleh Allah atas Yesus dari kematian. Teologi pengharapan dari Moltman bergantung pada pengharapan ini, tidak pada dunia lain, tetapi pada transformasi ilahi atas dunia ini. Suatu pengharapan yang dimunculkan oleh janji Allah dalam peristiwa Kristus, dan sudah mempengaruhi dunia ini. Pengharapan ini terjadi pada mulanya dalam kontradiksi, dengan menempatkan masa depan yang dijanjikan dari kenyataan itu dalam pertentangan dengan kenyataan masa kini.[13]

Ia juga menuliskan pendapat Moltman mengenai eskatologi ’eskatologi berbicara tentang Yesus Kristus dan masa depanNya. Eskatologi Kristen mencari kecenderungan-kecenderungan rahasia peristiwa penyaliban dan pembangkitan Kristus (Theology of Hope, 203), yaitu maksud ilahi untuk masa depan yang tersembunyi dalam salib dan dinyatakan dalam kebangkitan. Sama sekali tidak berarti bahwa peristiwa Kristus menyatakan semacam rencana tentang sejarah masa depan, melainkan dalam kontradiksi yang menyeluruh antara salib dan kebangkitan, dengan jelas janji-janji kebenaran dipertentangkan dengan dosa, kebebasan dipertentangkan dengan keterbelengguan, kemuliaan dipertentangkan dengan penderitaan, perdamaian dipertentangkan dengan perselisihan, kehidupan dipertentangkan dengan kematian, peniadaan dipertentangkan dengan ketiadaan, semuanya itu diarahkan oleh janji kehadiran Allah sebagai lawan dari keadaan yang ditinggalkan oleh allah (Theology of Hope, 18,203,210-211)’.[14]

Eskatologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai akhir zaman. Akhir zaman yang dimaksud ialah akhir dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Penderitaan, ketidakadilan, perselisihan, ketiadaan, pengejek, antikristus, kematian akan habis atau lenyap. Allah akan menyempurnakan kerajaanNya di bumi ini. Pada masa itu, muncullah penghakiman terakhir, kebangkitan orang mati, serta keselamatan. Setiap orang akan dihakimi menurut perbuatan mereka di hari penghakiman kelak (Why.20:12). Orang menderita dan kemudian mati oleh karena kesaksiannya akan Yesus Kristus maka ia akan memerintah bersama dengan Kristus untuk masa seribu tahun (Why.20:4). Dalam kedatangan Yesus kedua kali, semua orang mati menjadi hidup (Yoh.5:28-29). Tubuh orang yang percaya akan dimuliakan (1Kor.15:51-54); Ia akan menghakimi seluruh manusia (Mat.25:31-32;Why.20:12) dan membuat keputusan. Peristiwa tersebut akan datang namun manusia tidak mengetahui (Mat. 24:36,42; Mrk.13:32).

 

 IV.       Sejarah Minggu Adven

            Perayaan minggu Adven dalam sejarahnya merupakan suatu persiapan umat Kristen yang ada di Spanyol untuk menyambut minggu Epiphania.[15] Hal itu diputuskan dalam Konsili Saragossa-Spanyol (380). Tujuannya agar perayaan Epiphania tersebut dapat hikmad dan meriah. Sehingga, sejak tanggal 17 Desember hingga Epiphania pada tanggal 6 Januari, tak seorang pun diizinkan absen dari gereja. Adven dilakukan selama sekitar empat puluh hari sebelum tanggal 6 Januari.

Semula, masa persiapan tidak ada dalam liturgi Roma, melainkan terdapat dalam liturgi Spanyol dan Gallia. Baru setelah Natal dirayakan oleh gereja Barat, Adven dirayakan oleh Roma. Dari pernyataan tersebut, masa raya Natal lebih dikenal terlebih dahulu dikenal oleh gereja-gereja Timur daripada Barat. Gereja Roma kemudian mengadopsi minggu Adven dan melakukannya yang telah diperkenalkan oleh gereja Spanyol pada akhir abad ke-6. Namun, Roma mengakhiri minggu Adven pada tanggal 24 Desember, sehingga Adven tidak dirayakan selama 40 hari namun menjadi 4 minggu.[16] Jemaat Kristen mengisi Adven dengan ibadah dan puasa. Sejak akhir abad II praktek berpuasa dikembangkan. Pada tahun 380-381 M, dalam muktamar Zaragoza (Spanyol) diserukan agar umat berdoa bersama dan berpuasa.  Gereja Katolik juga menerima tradisi itu dalam menjalankan minggu-minggu Adven.[17]

 

V.          Dasar Teologi Minggu Adven

Agama Kristen dan agama Yahudi sampai saat ini memiliki suatu persamaan. Dapat dilihat bahwa agama Kristen dan Yahudi sama-sama mengharapkan akan kedatangan Kristus (CristoV) atau Mesias yang berarti orang yang diurapi. Orang Yahudi tidak mengenal istilah Adven namun, suasana Adven sudah ada kepada mereka sebelum Kristen muncul. Orang Kristen menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali, sedangkan agama Yahudi menantikan kedatangan Kristus untuk yang pertama sekali. Hal ini dikarenakan adanya ketidak-puasan mereka terhadap Yesus sebagai Mesias. Mereka mengharapkan Kristus itu mampu membebaskan mereka dari pemerintahan Romawi yang dipengaruhi budaya Hellenis.

Agama Yahudi menantikan kedatangan Mesias atau Kristus yang telah dinubuatkan dalam kitab PL oleh para Nabi (misalnya, Mik. 5:1; Yes. 7: 14-15; Yes. 9:5; Yes.11: 1, dsb.) untuk yang pertama kali. Agama Kristen juga menantikan Mesias atau Kristus yang telah datang dan akan datang untuk keduakali dan bagaiamana kedatangannya (Luk. 17:24; Yak.5:8; II Ptr.3:12).

 

VI.       Hubungan Adven dengan Eskaton

            Dalam tahun liturgi gereja-gereja protestant (misalnya, HKI, HKBP, GKPI, dsb.) maupun gereja Katolik Roma, minggu Adven dijalankan selama 4 minggu. Setiap minggunya memiliki thema yang berbeda-beda, dimana thema-thema tersebut memiliki suatu dimensi eskatologis. Seorang teolog HKBP, Pdt. B. H. Lumbantobing, M.Th. menuliskan dalam bukunya tentang thema-thema Adven tiap minggunya, dimana thema-thema tersebut tidak terlepas dari eskaton, dan thema-thema tersebut memiliki dimensi eskatologi. Ada pun thema-thema yang dituliskan ialah:[18]

¨      Adven I yang memiliki thema Tuhan yang akan datang pada akhir zaman.

¨      Adven II  yang memiliki thema pertobatan untuk menyongsong Tuhan.

¨      Adven III yang memiliki thema kedatangan Tuhan di dunia ini sebagai penyelamat.

¨      Adven IV yang memiliki thema sukacita menyongsong Tuhan (Pujian Maria).

Jika thema tersebut dijalani pada hari Senin hingga Sabtu, maka akan terlihat bahwa adanya perbedaan antara Adven I dengan hari Senin hingga Sabtu pada Adven II, demikian juga seterusnya hingga Adven IV.

Dalam tulisannya juga dituliskan pada tradisi zaman dulu adven dilakukan dengan puasa, dimana tradisi ini sudah mulai hilang. Ada juga yang sebagian warga jemaat yang mengisinya dengan berpantang makanan tertentu atau kebiasaan-kebiasaan tertentu, agar dia tertolong untuk menjalani perlahan-lahan apa yang harus dipersiapkan dalam hidup kerohaniannya menyongsong kelahiran Yesus.  Melalui itulah seorang warga jemaat dapat membenamkan dirinya pada Firman Allah melalui persiapan ini, sehingga ketika tanggal 24 Desember tiba, ia akan memasukinya dengan kegembiraan yang besar sebagai akhir dari persiapan itu, akhir dari hari-hari Adven.[19]

Michael Keene menuliskan, selama masa Adven umat Kristen mengenang kembali tiga macam kedatangan, yaitu:[20]

1.      Kedatangan Yohanes Pembabtis, yang ditulis dalam Injil sebagai utusan Allah, seorang yang diutus lebih dahulu untuk mempersiapkan orang-orang akan kedatangan Yesus.

2.      Kedatangan Mesias, kedatanganNya dinubuatkan di dalam Perjanjian Lama oleh banyak para nabi tetapi seorang nabi yang paling dapat melihat persitiwa itu dengan jelas adalah Yesaya.  Bacaan-bacaan dari kitab Yesaya ambil bagian dengan menonjol selama masa Adven.

3.      Kedatangan Yesus yang kedua kalinya, Putra Allah, menjadi hakim pada akhir zaman.

Di antara ketiga pengenangan di atas, beberapa gereja tidak pernah mengingat akan kedatangan Yohanes Pembabtis, karena adanya pemahaman bahwa tokoh yang paling dinantikan dalam Adven ialah perayaan hari Natal, maupun kedatangan Yesus kedua kali. Seperti yang telah diketahui, Yohanes Pembabtis adaalah seorang tokoh Yahudi yang bertugas untuk mempersiapkan kedatangan Mesias atau sebagai seorang perintis jalan kedatangan Kristus (Mat.3:3) seperti yang telah dinubuatkan oleh nabi Yesaya (Yes. 40:3).

Minggu-minggu Adven memiliki dimensi eskatologis, dimensi ini ditunjukkan dengan beberapa dekorasi dalam liturgi. Dekorasi itu bukanlah untuk mempengaruhi dimensi eskatologis. Namun, dimensi tersebutlah yang berperan dalam dekorasi dalam gereja maupun dalam keluarga. Adapun dekorasi yang digunakan selama minggu-minggu Adven ialah Korona Adven atau lingkaran Adven. Lingkaran atau korona Adven melambangkan penantian akan kehidupan kekal. Di atas korona Adven, didirikan empat lilin Adven yang melambangkan empat minggu Adven serta melambangkan terang Allah. Kemudian, korona Adven dihiasi dengan dahan-dahan cemara hijau sebagai tanda harapan. Selain itu, korona Adven dihiasi dengan pita ungu sebagai tanda pertobatan. Selain itu,  warna merah turut menghiasi korona Adven sebagai tanda cinta kasih. Keempat lilin Adven tidak dinyalakan sekaligus. Pada minggu I Adven, lilin dinyalakan satu; pada minggu II Adven, lilin dinyalakan dua; hingga minggu IV Adven, keempat lilin Adven dapat dinyalakan sekaligus.[21]

 

VII.    Peranan Dimensi Eskatologis Minggu-Minggu Adven

                                i.      Keluarga

Dimensi Eskatologis minggu-minggu Adven memiliki peranan dalam rumah tangga Kristen. Sehingga Kristen dapat merasakan bagaimana meriahnya atau gembiranya ketika perayaana Natal tiba, dan keluarga tersebut pada tanggal 24 Desember malamnya dapat menyanyikan Malam Kudus dengan penuh khidmat. Suasana Adven dan suasana Natal pun menjadi berbeda. Ada pun peranan dimensi eskatologis dalam keluarga tampak dalam kesiapan keluarga menyambut hari Natal atau menyambut hari kedatangan Kristus untuk kedua kali.

Kesiapan keluarga Kristen tersebut dapat terlihat dalam dekorasi yang dilakukan di rumah. Selain itu, kesiapan itu dapat dilakukan dengan melakukan pembacaan dan perenungan nas Alkitab serta membaca buku-buku yang membahas seputar Adven. Selain itu, tidak sibuk dengan urusan duniawi yang dapat menghalangi hubungan dengan TUHAN. Artinya, menyediakan waktu khusus untuk berdoa dan melakukan ibadah harian bersama keluarga, setengah sampai satu jam waktunya sudah cukup. Peranan dimensi ini juga dalam kesiapan keluarga Krsiten tampak dalam sikap rumah tangga Kristen untuk melakukan puasa.[22]

Dimensi eskatologi dalam minggu-minggu Adven juga berperan dalam memberikan pengharapan kepada keluarga. Keluarga Kristen yang siap menyambut kedatangan Kristus kedua kali justru mengharapkan kedatangan Tuhan segera terwujud. Selain itu, dimensi eskatologi dalam minggu-minggu Adven berperan untuk mengajak keluarga Kristen untuk kembali mengoreksi diri dan mengarahkan kembali hidup pada Tuhan (Mark. 1:4). Ajakan ini bertujuan supaya ketika apa yang diharapkan nyata atau tiba, maka keluarga Kristen tersebut sudah dalam keadaan suci.[23]

Setelah anggota keluarga Kristen menyadari kesalahan yang telah dilakukan dan melakukan pertobatan, maka peran dimensi ini mengajak keluarga tersebut untuk rendah hati. Keselamatan adalah pemberian Allah dan merupakan anugrah dariNya. Menyadari dengan rendah hati bahwa manusia serba lemah di hadapan Allah, maka manusia mutlak membutuhkan pertolongan Allah.[24]

Dari penjelasan di atas, keluarga Kristen justru tidak sibuk untuk mempersiapkan diri menyambut tahun baru misalnya membuat kue. Selain itu, keluarga Kristen tidak perlu sibuk untuk melakukan perayaan natal di minggu-minggu Adven, agar perayaan Natal memiliki makna tersendiri bukan makna yang sama dengan minggu-minggu Adven. Sehingga keluarga Kristen dapat menunjukkan dirinya sebagai sekeluarga yang sedang berada di minggu-minggu Adven, bukan yang sedang berada di perayaan Natal pada minggu-minggu Adven.

                              ii.      Gereja

            Peranan Dimensi Eskatologi minggu-minggu Adven dalam gereja pada saat ini tidaklah begitu tampak. Hal ini dikarenakan gereja selalu sibuk dalam perayaan-perayaan Natal yang dilakukan di minggu-minggu Adven. Menurut penyaji peranan Eskatologi minggu-minggu adven di gereja tidaklah tampak, namun yang sering tampak adalah peranan gereja di minggu-minggu Adven. Keadaan tersebut merupakan suatu fenomena yang hendaknya diperhatikan oleh gereja.

            Penulis menawarkan beberapa peranan dimensi eskatologi minggu-minggu Adven yang mempengaruhi gereja, yakni:

        i.      Tampak dalam warna liturgi yang digunakan. Pada masa minggu adven, warna liturgi yang digunakan ialah warna ungu. Warna ungu memiliki pengartian sebagai lambang penyerahan diri, pertobatan, dan permohonan belas kasihan Allah atas orang diri yang meninggal dan yang masih hidup.[25]

      ii.      Begitu juga dengan musik, nyanyian,  atau dekorasi. Dimensi eskatologi mempengaruhi jenis musik, nyanyian, atau dekorasi. Sehingga musik, nyanyian atau dekorasi dalam gereja tidak sama dengan musik, nyanyian atau dekorasi di minggu-minggu lainnya, misalnya Paskah, Epiphania, dsb.

    iii.      Dimensi eskatologis dalam minggu-minggu Adven juga turut berperan mempengaruhi thema-thema yang terdapat dalam liturgi gereja.[26] Hal itu tampak dalam ayat, doa, nyanyian yang digunakan dalam peribadahan.

    iv.      Sama halnya dengan keluarga, dimensi eskatologis juga beperan memberikan suatu pengharapan kepada gereja. Hal tersebut nyata dalam liturgi yang telah disusun di ibadah. Dalam liturgi tersebut, gereja diperhadapkan kepada kedatangan Kristus kedua kali serta jemaat dalam peribadahan seolah-olah ikut merasakan kemuliaan Kristus. Di minggu-minggu Adven, dimensi ini turut juga berperan agar gereja juga turut memberikan harapan itu kepada masyarakat yang sudah tidak berpengharapan lagi, masyarakat yang menderita, dsb. (Luk.4: 18-19). Maksudnya, gereja turut juga memberikan pengharapan eskatologis kepada masyarakat secara universal tanpa memandang agama, ras, golongan, keluarga, dan sebagainya.

 

                            iii.      Masyarakat

Peranan dimensi eskatologis dalam beberapa masyarakat (negara) merupakan suatu yang dinantikan, bahkan diharapkan segera datang. Namun, di beberapa masyarakat atau negara, dimensi ini merupakan suatu ancaman. Peranan dimensi ini juga dapat merubah struktural yang ada di dunia ini, atau bahkan keadaan dunia ini.

Seperti penjelasan di atas, dimensi ini dapat berperan sebagai pemberi harapan akan kedatangan Yesus kedua kali. Harapan itu merupakan suatu kerinduan untuk mendapatkan kebebasan, atau merindukan suatu kemerdekaan dari penderitaan yang dihadapi. Masyarakat yang berada dalam penderitaan, keterasingan, terpinggirkan atau negara yang merindukan suatu kemerdekaan yang sepenuhnya mengharapkan supaya dimensi itu terjadi. “Kita ini adalah makhluk zaman. Kita bergerak ke masa depan melalui masa sekarang yang berdasarkan masa lalu tertentu. Selanjutnya, pernyataan-pernyataan tentang akhir zaman mengungkapkan apa yang kita antisipasi di masa depan berdasarkan pengalaman kita sekarang akan janji keselamatan dalam Kristus.”[27] Dari penjelasan tersebut, Otto Hentz ingin mengatakan manusia yang hidup pada masa sekarang sedang mengalami proses menuju hidup yang akan datang hingga menuju akhir zaman. Apa yang menjadi pertanyaan kita mengenai akhir zaman merupakan sesuatu yang kita antisipasi ketika masa itu datang. Sehingga ketika hari itu tiba, kita tidak terkejut lagi karena kita telah mengantisipasi sebelum hari itu terjadi.

. Peranan dimensi eskatologis ini merupakan suatu ancaman bagi masyarakat atau negara-negara yang menganggap dirinya kuat, super power. Selain itu, dimensi ini berperan sebagai pemberitahu bahwa segala kerajaan atau pemerintahan di dunia atau keuasaan akan segera berakhir atau musnah. Kerajaan di dunia ini akan digantikan oleh Kerajaan Allah. Allah akan memerintah penuh atas dunia dan dunia berada di bawah kekuasaanNya penuh.

Sehingga di minggu-minggu Adven, masyarakat atau negara turut serta menghadirkan dimensi eskatologis kepada orang-orang miskin, menderita, terlantar. Sehingga pada tujuan pendek[28] minggu-minggu Adven tiba, seluruh warga masyarakat bergembira menyambut hari Natal. Sehingga, Makna minggu-minggu Adven dapat dirasakan masyarakat dan negara memiliki makna yang berbeda dengan makna Natal.

 

VIII. Penjelasan Lanjutan

            Menurut saya, Tahun Liturgi gerejawi disusun untuk merenungkan kembali kisah kehidupan Yesus Kristus, mulai dari kelahiranNya, hingga Ia dimuliakan oleh Bapa. Selain itu juga, Tahun Liturgi mengajak seluruh umat Kristen hidup dalam kedisiplinan melakukan perayaan itu, sesuai dengan thema minggu-minggu peayaan dalam Tahun Liturgi tersebut.         

Adven merupakan masa penantian kedatangan Kristus kedua kali dan merupakan persiapan Natal atau Epifania. Minggu-minggu Adven dapat dikatakan sebagai minggu-minggu persiapan perayaan Nata, bukan minggu-minggu perayaan Natal. Beberapa kalangan masyarakat maupun gereja sudah mulai kehilangan disiplinnya menjalankan Tahun Liturgi Gerejawi tersebut.

Hal tersebut tampak dalam ketidaksabarannya gereja atau persekutuan Kristen lainnya untuk meryakan Natal. Rassid Rachman menuliskan bahwa sikap yang demikian menunjukkan bahwa gereja ataupun persekutuan Kristen lainnya tersebut kuranga menghargai Adven sebagai penantian dan persiapan. Adven hanys sekedar ornamen pada kebaktian hari-hari Minggu, sementara Natal tetap dirayakan di luar hari Minggu pada masa Adven. Sehingga dalam rangka meningkatkan spiritualitas gereja dan berdisiplin dengannya, adalah baik jika Natal dirayakan setelah tanggal 25 Desember. Adven dirayakan sebagai Adven, yakni masa pengenangan, dan pengharapan. [29]

 

IX.       Kesimpulan

         Adven merupakan bagian dari Tahun Liturgi Gerejawi, serta permulaan dalam Tahun Liturgi Gereja. Dari pernyataan ini, berarti Tahun Liturgi dimulai atau dibuka dengan suatu dimensi eskatologis. Oleh karena itu, seluruh tahun Liturgi Gerejawi memiliki suatu dimensi eskatologi yang telah dimulai dalam minggu Adven. Ada refleksi yang dalam tahun gerejawi. Artinya, tahun gerejawi dipayungi dengan eskaton, kedatangan Kerajaan Allah yang identik dengan Kristus. Oleh karena itu, gereja harus eskatologis. Thema eskatologi bukan tema tambahan dalam gereja atau teologi, sehingga tidak tepat bila eskatologi dibahas diakhir kofessi, atau buku-buku dogma. Esktologi merupakan inti dari gerejawi begitu juga dengan teologi. Tidak ada gereja maupun teologi yang tidak eskatologis.

         Eskatologis merupakan suasana keadaan kedatangan Kristus kedua kali. Yesus datang ke dunia ini. Dengan kata lain, Yesus yang datang untuk menjemput dan menghakimi orang yang hidup dan mati. Setiap orang akan dihakimi menurut perbuatannya (bdk. Wahyu 20: 13). Itu berarti, tidak jaminan bila manusia hanya beriman, tetapi manusia harus berbuat sebagai buah atau penampakan dari imannya. Karena penghakiman tidak melihat seberapa besar iman, namun apa yang diperbuat sesuai dengan iman selama hidup di dunia.

         Adven dirayakan 4 minggu sebelum tanggal, 25 Desember. Pada mulanya minggu-minggu Adven dilaksanakan sebagai persiapan menyambut Epifani, sehingga perayaan Epifani menjadi berbeda, lebih hikmad, lebih kusuk, dan sebagainya. Setiap minggu-minggu Adven memiliki thema yang berbeda, namun masing-masing thema memiliki dimensi yang sama, ‘dimensi eskatologis’.

         Sangatlah mengherankan jika beberapa gereja atau kumpulan Kristen lainnya merayakan Natal di minggu-minggu Adven. Namun, bila di hari-hari Natal, beberapa gereja dan umat Kristen sibuk dalam mempersiapkan kue-kue menyambut tahun baru, beberapa gedung gereja juga tidak ada perayaan di hari-hari Natal.

         Dimensi eskatologis minggu-minggu Adven memiliki beberapa peranan dalam kehidupan rumah tangga Kristen, gereja, maupun masyarakat. Ada pun peranannya ialah:

a.       Mengajak segenap rumah tangga Kristen, gereja, masyarakat untuk merenungkan kembali hidupnya, dan berbalik kepada Allah.

b.      Mengarahkan segenap rumah tangga Kristen, gereja, serta masyarakat akan datangnya Kerajaan Allah di bumi, dimana Allah akan memerintah penuh di bumi. Di dalam masalah sosial, masyarakat diarahkan kepada adanya suatu keadaan yang merdeka penuh tanpa adanya isak tangis, dan semua makhluk bernyanyi memuliakan nama TUHAN.

c.       Dimensi tersebut juga memberikan pertolongan bagi orang-orang yang membutuhkan. Misalnya dengan memberikan bakti Natal

d.      Peranan dimensi ini juga mengajarkan setiap umat Kristen untuk memiliki rasa solidaritas terhadap orang-orang yang lemah, miskin, menderita, dan sebagainya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Buckham, Richard

1996                            Teologi Mesianis: Menuju Teologi Mesianis Menurut Jürgen Moltman, Jakarta: BPK-GM.

Browning, W.R.F.

2007                            Kamus Alkitab: Panduan dasar ke dalam kitab-kitab, tema, tempat, tokoh, dan istilah Alkitabiah,  Jakarta: BPK-GM.

Chupungco, Anscar J.

1987                            Penyesuaian Liturgi Dalam Budaya, Yogyakarta: Kanisius

Hentz, Otto

2005                            Pengharapan Kristen: Kebebasan, Kerajaan Allah, Akhir Zaman, Kematian, Kebangkitan, Neraka, Pemurnian, Keabadian, Penghakiman, Yogyakarta: Kanisius

Jackson, Samuel Macauley (edit),

1949                            The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge: vol. 1, Grand Rapids, Michigan

Keene, Michael

2005                            Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat, Keprihatinan, Pengaruhnya Di Seluruh Dunia, Yogyakarta: Kanisius

Kittel, Gerhard (edit),

1976                            Theological Dictionary of The New Testament, vol. II Grand Rapid, Michigan: W.M.B. Eermans Publishing Company

Lumbantobing, Bonar

2004                            Natal “yang Terlupakan”: Demi Spiritualitas Berkeadilan, Pematangsiantar, Hendrik Offset

Martasudjita E.,

1999                            Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, Yogyakarta: Kanisius

 

 

Mounce, William D.

2002                            The Analytical Lexicon to The Greek New Testament, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House

Muller, Richard A.

1986                            Dictionary of Latin and Greek Theological Terms: Drawn Principally from Protestant Scholastic Theology, Grand Rapids, Michigan: Baker Book House

Newman, Barclay M.

2004                            Kamus Yunani – Indonesia, Jakarta: BPK-GM.

Poerwadarminta, W.J.S., dkk.

1969                            Kamus Latin – Indonesia, Yogyakarta: Kanisius

Rachman, Rasid

2005                            Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja, Jakarta: BPK-GM

Windhu, I. Marsana,

2007                            Tuntunan Cepat dan Lengkap Memahami Natal: Pengembangan Jemaat Yogyakarta: Tabora Media

 

 

 

 



[1] Istilah Tahun Liturgi pertama kali digunakan oleh Johanes Pomarius, seorang ahli liturgi dari Gereja Lutheran, pada tahun 1589 untuk menyebut keseluruhan perayaan liturgi sepanjang tahun. Istilah ini digunakan pertama kali oleh gereja Katolik secara resmi dan meriah dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Liturgi (SC = sacrosanctum Consilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tetang  Liturgi 107). Sehingga pengertian Tahun Liturgi disusun dan dikembangkan. Sejak itu Tahun Liturgi dimengerti sebagai perayaan Gereja yang mengenangkan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus dalam rangka perjalanan peredaran lingkaran tahun. (lih. E. Martasudjita, Pr. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 233).

[2] I. Marsana Windhu, Tuntunan Cepat dan Lengkap Memahami Natal: Pengembangan Jemaat (Yogyakarta: Tabora Media, 2007), 15

[3] Bdk. Bonar Lumbantobing, Natal “yang Terlupakan”: Demi Spiritualitas Berkeadilan, (Pematangsiantar, Hendrik Offset, 2004), 35-38

[4] Berkat yang dimaksudkan di sini ialah uang ucapan terima kasih (bahasa batak: Hamauliateon) yang sering diberikan oleh pihak yang mengadakan acara perayaan Natal kepada Pengkhotbah, dan pelayan lainnya yang turut serta melayani dalam acara perayaan natal tersebut.

[5] I. Marsana Windhu, Op. Cit. 16

[6] W.J.S. Poerwadarminta, dkk. Kamus Latin – Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), 21

[7] Richard A. Muller, Dictionary of Latin and Greek Theological Terms: Drawn Principally from Protestant Scholastic Theology, (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1986), 27

[8] Michael Keene, Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat, Keprihatinan, Pengaruhnya Di Seluruh Dunia, diterjemahkan oleh F.A. Soeprapto, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 122

[9] Samuel Macauley Jackson (edit), The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge: vol. 1, (Grand Rapids, Michigan, 1949), 55 -56

[10] Barclay M. Newman, Kamus Yunani – Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 68 lihat juga William D. Mounce, The Analytical Lexicon to The Greek New Testament, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 2002), 219

[11] Gerhard Kittel: escatoV, dalam buku Gerhard Kittel (edit), Geoffrey W. Browmiley (penerjemah), Theological Dictionary of The New Testament, vol. II (Grand Rapid, Michigan: W.M.B. Eermans Publishing Company, 1976), 697

[12] Tulisan ini dikutip oleh Richard Bauckham dari A.J. Heschel, The Prophets (New York: Harper & Row, 1962), 235

[13] Richard Buckham, Teologi Mesianis: Menuju Teologi Mesianis Menurut Jürgen Moltman, Liem Sien Kie (penerjemah), (Jakarta: BPK-GM, 1996), 46-47

[14] Ibid, 44-45

[15] Kata Epiphania berasal dari bahasa Yunani (epifaeia) yang berarti penampakan diri, kedatangan, atau kelihatan. Perayaan ini berasal dari Mesir dalam perayaan musim salju yang dirayakan pada tanggal 6 Januari. Pada tanggal inilah dijadikan sebagai perayaan kelahiran Yesus Kristus. Bagi masyarakat Mesir, pada tanggal 5-6 Januari orang-orang Aleksandria merayakan Dewa Aion (Dewa Waktu dan Keabadian). (lih. Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2005), 107.

[16] Ibid, 112-113 bdk. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi Dalam Budaya, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 38. Dalam buku yang dituliskan oleh Chupungco, sebelum minggu Adven diadopsi oleh gereja Roma, perayaan Epiphani terlebih dahulu diadopsi oleh gereja Roma pada abad IV dari gereja Timur.

[17] I. Marsana Windhu, Op.cit,  20

[18] Bonar Lumbantobing, Op. cit, 34

[19] Ibid, 37

[20] Michael Keene, Loc. it

[21] Bdk. Perayaan Hanukkah, dalam perayaan pentahbisan Bait Allah dalam tradisi Yahudi. Perayaan Hanukkah dirayakan selama delapan hari. Delapan lilin dinyalakan satu per satu setiap hari hingga genap lilin pada hari kedelapan (I. Marsana Windhu, Op.cit, 21 – 22.

[22] Puasa yang dimaksudkan di sini, bukanlah suatu kegiatan untuk tidak makan setengah hari atau bahkan 40 hari. Namun, puasa yang dimaksudkan di sini ialah mengurangi dari semula. Artinya, sebelum Adven tiba, yang biasanya uang yang kita pakai setiap hari ialah Rp. 25.000,-. Namun, ketika Adven tiba uang yang kita pakai sebanyak Rp. 25.000,- berkurang menjadi Rp.15.000,-. Selebihnya dapat ditabung hingga minggu Adven berakhir. Setelah minggu Adven berakhir, uang yang ditabung setiap harinya diberikan sebagai sumbangan kepada panti-panti, atau kepada orang miskin. Kegiatan tersebut dapat penulis katakan sebagai puasa dan dapat memberikan bakti Natal setelah adven berakhir dan perayaan Natal pun dirayakan.

[23] Suci yang dimaksudkan di sini bukanlah suatu kegiatan untuk mengurung diri dalam kamar, berdoa, kemudian memakai pakaian yang serba panjang yang dapat menutup seluruh bagian tubuh mulai dari kepala hingga kaki, hanya bagian mata saja yang tidak ditutup. Namun suci yang dimaksudkan di sini ialah Kudus juga berarti segala sesuatu yang terpisahkan (dikhususkan) dari kebiasaan atau hal-hal yang duniawi (W.R.F. Browning, Kamus Alkitab: Panduan dasar ke dalam kitab-kitab, tema, tempat, tokoh, dan istilah Alkitabiah, Lim Khiem Yang dan Bambang Subandrijo (penerjemah),  (Jakarta: BPK-GM, 2007 ), 232.

[24] Lihat dan bandingkan I. Marsana Windhu, Op.cit, 43-46

[25] E. Martasudjita, Op.cit. 132.

[26] Liturgi yang dimaksudkan di sini adalah susunan tata kebaktian yang digunakan dalam pelaksanaan peribadahan. Beberapa gereja telah membukukan liturgi gereja yang dipakai setiap minggunya, misalnya gereja HKBP, HKI, GKPI, dsb. Buku yang berisikan susunan tata kebaktian dalam ibadah (liturgi) dinamakan Agenda. Selain itu berisikan liturgi yang dipakai tiap minggunya, buku Agenda juga berisikan tata ibadah (liturgi) yang akan dipakai dalam suatu acara tertentu, misalnya acara pernikahan.

[27] Otto Hentz Sj, Pengharapan Kristen: Kebebasan, Kerajaan Allah, Akhir Zaman, Kematian, Kebangkitan, Neraka, Pemurnian, Keabadian, Penghakiman, Sikun Pribadi (penerjemah), (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 62

[28] Menurut pengamatan penulis, tujuan minggu-minggu adven ada dua, yakni:

1.       Tujuan Pendek, sebagai persiapan akan perayaan Natal

2.       Tujuan Panjang, sebagai persiapan akan kedatangan Krsitus Kedua kali.

[29] Rasid Rachman, Op.cit, 115