DANIEL PANE

SELAMAT DATANG DAN MENIKMATI YANG TELAH DISAJIKAN

Kamis, 29 Maret 2012

Dampak GLOBALISASI di Indonesia: berkat atau Malapetaka???

GLOBALISASI DI INDONESIA:
BERKAT ATAU MALAPETAKA?

A. Pengertian Globalisasi, Termasuk Sejarahnya
            - Pengertian Globalisasi
            Dalam sebuah artikel yang berjudul Gelombang Globalisasi Antara Dua Sisi, menusikan pendapat beberapa tokoh mengenai pengertian globalisasi. Menurut Prof. Emeritus Datuk Dr. Osman Bakar, globalisasi merupakan suatu himpunan proses pengaliran global berbagai-bagai jenis objek yang melibatkan perlbagai bidang aktivitas manusia. Objek yang diglobalisasikan bisa saja dalam bentuk maklumat, idea, nilai, institusi, atau sistem.[1] Dalam Kamus Dewan, “globalisasi didefenisikan sebagai fenomena yang mejadikan dunia mengecil dari segi perhubungan manusia disebabkan kepantasan perkembangan teknologi.”[2]
            Dalam artikel yang sama, penulis menguti pendapat Alvin Toffer dalam bukunya ‘Third Wave’ menafsirkan fenomena globalisasi sebagai suatu gelombang ketiga. Pada masa kini, terjadi pergeseran kekuatan dan pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada modal atau kapital, kemudian pada penguasaan terhadap informasi. Begitu juga menurut Ahmad Faraj, “maklamat globalisasi adalah untuk menjadikan semua aktivitas hidup setiap bangsa di dunia seperti ekonomi, industri, pemikiran budaya, keilmuan, ciptaan, HAM, dan sebagainya bersifat global dan tidak lagi menjadi ciri kepada mana-mana bangsa atau sejarah mereka baik bersifat agama, keturunan, dan budaya.”[3]
            Dari penjelasan di atas, maka globalisasi menurut pemahaman saya adalah suatu usaha atau proses atau suatu tahapan kolonialisme dari suatu bangsa terhadap bangsa lain.. Ketika suatu bangsa menanamkan modalnya ke bangsa lain, ia membawa budaya, sistem, atau nilai yang terdapat dalam budayanya ke bangsa lain yang memiliki perbedaan dengan bangsanya. Sehingga, bangsa yang dikunjungi masuk ke budaya, atau menerima budaya dari luar bangsa itu, dengan berbagai alasan. Ketika bangsa yang dikunjungi itu menerima budaya atau menyerap nilai moral yang dibawa oleh bangsa lain. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi bangsa asing itu, karena bangsa yang didatangi menjadi tempat dalam menanamkan modal dalam negeri itu. Hal ini pun merupakan suatu keuntungan bagi bangsa pribumi, karena hal ini dianggap sebagai suatu kesempatan untuk mengurangi pengangguran, dibukanya lapangan pekerjaan, dan untuk pembangunan bangsa itu sendiri. Untuk melancarkan kegiatan itu, maka dilakukanlah globalisasi dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Artinya tidak ada lagi pembatasan yang dianggap sebagai penghambat kegiatan ini. Negara lain terasa dekat walaupun jaraknya jauh.
            Keadaan yang demikian menyebabakan bangsa yang menerima penanaman modal itu bergantung kepada negara atau bangsa yang menanamkan modal itu. Hal itu menyebabkan muncul anggapan bahwa negara penanam modal penguasa terhadap negara tempat penanaman modal tersebut, dan  negara penanam modal menjadi penguasa terhadap negara penerima modal. Negara-negara yang biasanya penanam modal ialah negara-negara maju baik dalam bidang industri. Oleh karena itu, globalisasi tidak dapat terlepas dari kolonialisme.

            -  Sejarah
            Dalam artikel yang berjudul gelombang globalisasi di antara dua sisi dituliskan pendapat Riggs (1997), ‘proses globalisasi telah wujud sejak 500 tahun yang lalu, namun hanya dikenal pasti dengan jelas selapas kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1991. kenyataan ini menunjukkan proses globalisasi yang melanda dunia sekarang bukanlah suatu proses yang baru berlaku. 500 tahun dahulu globalisasi lebih dikenal sebagai kolonialisasi Barat ke atas negara mundur (membangun) akibat cetusan Revolusi Industri.
            “… apabila pihak Eropa membandingkan peradaban mereka sebagai satu peradaban yang sedang naik dan peradaban di luar Eropa menurun, terjelma pada pihak Eropa wujudnya jurang di antara kedua-dua peradaban ini. Pihak Eropa yang berasaskan semangat progersivisme ala  Judeo-Kristen berasa bertanggung jawab dan mengambil inisiatif untuk merapatkan jurang tersebut melalui salvatin (God, Glory, Goldy) atau dikenali sebagai imperialisme dan kolonialisme.”[4]
            Lan Clark menuliskan dalam bukunya “dua dekade menjelang Perang Dunia I, arus uang Internasional telah mempererat antara negara-negera Eropa dengan Amerika Serikat, Asia, Afrika, dan Timur Tngah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi Atlantik. Sementara itu, bank dan investor-investor swasta sibuk mendiversifikasikan portofolionya dari Argentina terus melingkar Pasifik hingga ke Singapura. Dicermati dari segi intensitas dan cakupannya, seberanya gelombang globalisasi yang melanda seluruh dunia sejak dekade 1980 telah jauh berada dari gelombang yang sama pada periode sebelumnya. Proses konvergensi akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan yang tdak saja merambah di segala bidang (ekonomi, sosial, ideologi), melainkan juga telah menjama ke dalam tatanan sistem, proses, pelaku dan events.(Clark, Lan (1997), Globalization and Fragmentation: International in the Twentieth Century, Oxford, London: Oxford University Press, halaman 1-2).[5]
            Dari penjelasan di atas, globalisasi telah dimulai ketika mencetusnya Revolusi Industri di Inggris yang meluas ke beberapa negara di Eropa. Dari Revolusi Industri, maka semakin banyaklah negara-negara Eropa untuk mendirikan industri-industri yang besar. Untuk melakukan hal ini, diperlukan modal atau biaya. Sehingga beberapa negara-negara Eropa melakukan penjelajahan ke negara-negara yang dianggap dapat menguntungkan negaranya di Eropa, serta yang dapat memajukan industri mereka di Eropa. Setelah dapat daerahnya, maka diadakanlah penakhlukan terhadap bangsa itu dan melakukan penjajahan untuk menguntungkan negaranya. Dengan kata lain, tujuan dilakukan penjelajahan adalah untuk kolonialisasi. Sehingga negara pendatang dapat mendirikan indutri yang besar dan mewah dan menjadi keuntungan bagi negaranya sendiri.
            Dalam perkembangannya, semakin banyak dan berkembanglah industri di negara-negara di Eropa termasuk Amerika, khususnya Amerika Serikat. Didirikanlah industri-industri yang serba canggih dan besar dan melakukan persaingan termasuk persaingan menjari tempat penanaman modal yang dianggap dapat menguntungkan negara atau industri. Kemudian setelah Perang Dunia I, keadaan ekonomi negara-negara yang kaya pun krisis, sehingga negara-negara yang kaya segera mencari daerah-daerah yang dianggap dapat memperbaiki keadaan ekonomi mereka.
            Dari penjelasan di atas, menurut pemahaman saya, globalisasi merupakan suatu tahapan dalam bidang kolonialisme bangsa-bangsa kaya atau maju untuk mengambil keutungan sebesar-besarnya terhadap bangsa-bangsa yang lemah.

B.     Kaitan Globalisasi Dengan Neo-Liberalisme, Peran Pasar Bebas, WTO, Bank Dunia, Dan IMF
Doug Lorimer dalam artikelnya menuliskan pendapat Hirts dan Thompson, “bagi kaum kanan di negara-negara industri maju retorika mengenai globalisasi adalah merupakan sebagai ‘takdir’. Globalisasi memberikan kesempatan untuk melanjutkan kehidupan kegagalan yang bersifat menghancurkan dalam hal eksperimen kebijakan moneter dan individualisme yang radikal pada tahun 1980an. Hak-hak para buruh dan kesejahteraan sosial dan praktek-praktek semacamnya di era manajemen ekonomi nasional akan menyebabkan masyarakat barat menjadi tidak kompetitif dalam hubungannya dengan negara-negara yang baru saja mengalami proses industrialisasi di Asia dan karenanya harus dikurangi secara dramatisir”[6]
            Setelah resesi tahun 1980-1982, ada peningkatan dalam semua negara-negara ekonomi kapitalis maju. Resep neo-liberal nampak sudah jalan. Penerimaan oleh publik terhadap resep itu adalah yang paling luas karena crash pasar modal pada tahun  1987 tidak segera menghasilkan resesi harapan-harapan setiap orang. perekonomian negara-negara kapitalis maju terus tumbuh dan pengangguran sedikit menurun. Namun pada resesi tahun 1990-1993 menyebabkan dampak yang lebih luas, dimana pengangguran meningkat tajam, mencapai tingkat rata-rata resmi 8% di seluruh negara-negara imperialis. Kemudian dilakukan perbaikan besar-besaran pada tahun 1994 tetapi tidak berlangsung lama. Pengangguran di seluruh negara-negara imperialis hanya menurun menjadi 7% menurut laporan resmi.[7]
            Pada tahun 1980an juga, kemandegan ekonomi neo-liberal dijustifikasi dengan klaim bahwa pengorbanan kecil saat ini akan menghasilkan lapangan kerja baru dan kesejahteraan masa depan. Pada tahun 1990an, sangat jelas sekali bahwa tingkat pengangguran yang tinggi merupakan sebuah masa depan kehidpan yang permanen di dalam ekonomi pasar bebas.[8]
            Hilmar Farid, menuliskan “paradigma neo-liberal mewakili dan memang didukung oleh para pemain utama di dalam globalisasi, yakni lembaga keuangan internasional dan perusahaan multi nasional serta transnasional. Fungsi resmi dari lembaga keuangan seperti IMF, dan Bank Dunia adalah merestruksikan perekonomian negara-negara di dunia agar sesuai dengan mainstream kegiatan ekonomi dunia, yaitu produksi dan perdagangan yang berorientasi pada keuntungan.”[9]
            Dalam tulisannya juga dituliskan bahwa jantung dari globalisasi adalah mekanisme pasar bebas yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan ekonomi-politik secara alamiah. Di dalam pasar berbagai pihak akan bersaing untuk menjadi yang terbaik dan dalam pertarungan ini, pihak yang tidak dapat menyesuaikan diri dari kondisi pasar akan kalah dan tenggelam. Slogan dasar para pendukung globalisasi “biarkan pasar yang menentukan.” Bagi negara berkembang, globalisasi dianggap sebagai suatu berkat karena memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk bermain. Setiap negara hanya perlu menyesuaikan diri dengan aturan yang ada untuk mencari “keunggulan yang komperatif” dan tentunya siap bersaing di pasar terbuka.”[10]
            Bank Dunia berperan sebagai pengumpul atau penyedia modal bagi negara-negara maju dan bekembang. Bank Dunia memberikan modal atau menanamkan modal bagi negara-negara yang sedang berkembang. Sehingga modal-modal itu akan dikembalikan ke Bank Dunia. Negara yang menerima modal itu menjadi bergantung pada Bank Dunia yang beberapa anggotanya adalah anggota G8 (mis. Amerika Serikat, Inggris, dsb.). Oleh karena itu, ekonomi negara Dunia Ketiga mengikat diri kepada Bank Dunia. Sehingga Bank Dunia secara tidak langsung memberikan banyak keuntungan bagi negara-negara yang memiliki modal di Bank Dunia, khususnya anggota G8, negara yang memiliki modal atau saham di Bank Dunia.[11]
            Pada tahun 1995 didirikanlah WTO (World Trade Organization) yang bertindak berdasar komplain yang diajukan oleh anggotanya. Dengan demikian, WTO merupakan slahsatu aktor dan forum perundingan antarperdagangan dari mekanisme globalisasi yang terepenting.  Para penganut paham ekonomi neoliberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari ‘kompetisi bebas’. Kompetisi yang agresif adalah akbiat dari kepercayaan bahwa ‘pasar bebas’ adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sember daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.[12]

C. Kaitan Globalisasi Dengan “Pembangunan”
            Mansour Fakih menuliskan “dewasa ini kita meneksikan suatu peristiwa krisis pembangunan. Kapitalisme di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan kapitalisme Dunia ketiga tengah mengalami kebangkrutan. Melalui fase kolonialisme inilah proses dominasi manusia dengan segenap teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun. Meskipun banyak negara Afrika baru merdeka tahun 1970an, yang secara resmi umunya dianggap sebagai zaman berakhirnya kolonialisme adalah pada saat terjadinya revolusi banyak negara jajahan segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, sekitar lima puluh tahun yang lalu.
            Berakhirnya kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo-kapitalisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung, melainkan penjajahan teori dan ideologi. Fase kedua ini dikenal dengan era pembangunan atau era developmentalisme. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara Dunia Ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini dominasi tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melaui hegemoni yakini dominasi cara pandang dan ideologi serta diskursus yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam fase kedua ini, yang akhirnya juga mengalami krisis.”[13]
            Pada era ini juga, terjadi perebutan sumber daya alam termasuk tanah oleh beberapa pemilik perusahaan atau pemiliki saham yang besar. Perebutan sumber daya alam ini bukan hanya untuk mengembangkan pembangunan dalam Dunia Ketiga, namun melalu pasar bebas, para pengusaha besar mencoba untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya alam.[14]

D.    Masuknya Globalisasi ke Indonesia Secara Intensive Sejak Diberlakukannya Structural Adjustment Program, Tentang Eksport Non-Migas
Dalam tulisan yang dituliskan oleh Pdt. B.H. Lumbantobing, “peranan IMF dan Bank Dunia semakin penting mempengaruhi jutaan kehidupan manusia. Merka mempunyai kuasa untuk menewarkan sekaligus mengontrol usaha-usaha ekonomi di dalam masa sulit negara-negara tertentu, misalnya pemberlakuan Structural Adjustment Program (SAP) strategi yang sama dipaksaan pada negara-negara yang berbeda dan pengelolaannya juga sudah ditentukan, dengan sebutan good governance. Ini membuat kerancuan antara governance yang ditujukan untuk mengatur suatu proyek dalam hal ini SAP, dengan government yang berkaitan dengan pemerintahan suatu bangsa demi kepentingan bangsa itu sendiri.”[15]
            Dalam tulisannya juga dituliskan, keadaan ini semakin intensif, sesudah Indonesia harus sesegera mungkin semakin terikat dengan pasar dunia. Permulaannya adalah jatuhnya harga minyak dan masalah hutang Dunia Ketiga. Oleh karena itu, sejak tahun 1983 Indonesia haru merombak seluruh struktur ekonominya supaya dapat menunjang pembangunan. Struktur yang dibutuhkan adalah integrasi langsung dengan pasar dunia: caranya dengan mengganti eksport yang satu saat akan bisa habis (minyak dan gas) dengan eksport non-migas, yang senantiasa dapat secara berkesinambungan diproduksikan. [16]
E.     Pemahman Akan Krisis Moneter Yang Terjadi Tahun 1997 Dan Krisi Global Sejak Tahun 2008
Dalam Jurnal Ekonomi Rakya tahun 1, no. 7, September 2002, Prof. Dr. Mubyarto menuliskan “banyak orang berpendapt bahwa sejak krismon 1997 Indonesia telah menjadi korban besar globalisasi yang telah menghancur-leburkan sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa. Diagnosis tersebut menurut pendapat kami memang benar dan kami ingin menunjukkan di sini bahwa kecemasan dan keprihatinan kami sendiri sudah berumur 23 tahun sejak kami menyangsikan ajaran-ajaran dan paham Neoklasik Barat yang memang cocok untuk  menumbuhkan ekonomi, namun tidak cocok dalam mewujudkan keadilan.”[17]
Dalam Jurnal Ekonomi Rakyat tahun I, no. 1, Maret 2002 yang berjudul Ekonomi Rakyat Indonesia yang dituliskan oleh Prof. Dr. Mubyarto, “banyak ilmuan Indonesia meresa bisa meramalkan masa depan Indonesia tanpa secara sungguh-sungguh menjelaskan mengapa kita mempunya masalah yang dihadapi sekarang. Dalam bidang ekonomi, kesalahan paling mendasar adalah sangat tidak memadainya rasa nasionalisme para pemimpin ekonomi kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang rencah (lebih kagum globalisasi) sama dengan rendahnya rasa percaya diri, yang dalam krisis moneter tahun 1997-1998 hampir hilang sama sekali. Maka mengembangkan rasa percaya diri, bahwa bangsa Indonesia akan mempunyai kemampuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi negara berkembang yang tidak pernah dikenali oleh pemerintah maupun para perencana pembangunan. Inillah potensi domestik, yaitu ekonomi rakyat yang telah terbukti tahan banting dalam situasi krismon yang telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total. Bahwa ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) satu tahun saja pada tahun 1998, dan mulai tahun 1999 dan seterusnya sudah tumbuh positif hendaknya dicatat sebagai bukti bahwa sektor ekonomi rakyat dalam waktu pendek telah pulih kembali meskipun sektor modern masih mengalmi kesulitan.[18]
Muhammad Ali menuliskan bahwa terpuruk industri keuangan Amerika yang dipicu macetnya perumahan kualitas rendah ternyata menunjukkan betapa rapuhnya konsep dan sistem keuangan kapitalis liberal. Dengan kata lain, sistem keuangan yang selama ini dibanggakan Amerika beserta sekutu dan penganutnya selama ini, ternyata menunjukkan kerapuhan dan risiko yang ditimbulkannya bagi perekonomian dunia secara keseluruhan. Sebagaian ekonom Amerika menilai, keterpurukan sistem keuangan saat ini, berawal dari kebijakan The Fed menerapkan suku bunga rendah pada era awal 2001an. Ditambah maraknya berbagai inovasi produk di pasar keuangan. Kebijakan bunga rendah ini di satu sisi mendorong terjadinya booming Kredit yang luar biasa, sehinga menjadikan belanja masyarakat meningkat, sedangkan saving berkurang.

KESIMPULAN
            Globalisasi merupakan suatu tahapan untuk kapitalisme negara-negara kaya terhadap negara-negara yang sedang berkembang. Negara-negara kaya mencoba menanamkan modal ke negara-negara yang sedang berkembanga melalui pinjaman. Hal ini menyebabkan negara-negara yang sedanb berkembang bergantung kepada negara-negara kaya, yang menanamkan modal melalui pemberian pinjaman tersebut.
            Globalisasi menurut pemahaman saya berdasarakan penjelasan di atas merupakan suatu MALAPETAKA karena dalam prakteknya, globalisasi hanyalah menguntungkan negara-negara yang menanamkan modal atau saham sedangakan negara yang menerima saham tunduk kepada negara-negara kaya tersebut. Secara tidak langsung globalisasi telah mencipta suatu penjajahan terhadap negara-negara Dunia Ketiga. 





[2] Ibid. loc.it
[3] Ibid. 2
[4] Ibid. 5-6
[5] Henry Nugroho, Perjalanan Panjang Ekonomi Indonesia: Dari Isu Globalisasi Hingga Krisis Ekonomi dalam buku Jurnal Ekonomi Rakyat. (Artikel tahun I, no. 3- Mei 2002), 3.
[6] Doug Lorimer, “Globalisasi”, Neo-Liberalisme dan Dorongan-dorongan Kemunduran Ekonomi Kapitalis, 6
[7] Ibid. loc.it
[8] Ibid, 6-7
[9] Hilmar Farid, Senjata Tuan Makan Korban: Jalan APEC Menaklukan Buruh”, 6
[10] Ibid, 1
[11] Bdk. Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori: Pembangunan dan Globalisasi, 203 – 204; Sritua Arief, Laporan dan Nasihat Sang Guru, 1 – 6.
[12] Mansour Fakih, Op.Cit, 212-218
[13] Ibid.. 208-209.
[14] Ibid, 219-226
[15] B. H. Lumbantobing, Globalisasi Ekonomi Sebagai Masalah Etika Kristen, 2
[16] Ibid, 3
[17] Mubyarto, Ekonomi Kerakyatan Dalam Era Globalisasi dalam jurnal Ekonomi Rakyat, 1
[18] Mubyarto, Ekonomi Rakyat Indonesia dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar