DANIEL PANE

SELAMAT DATANG DAN MENIKMATI YANG TELAH DISAJIKAN

Selasa, 28 November 2017

Gereja Dalam Konteks Kemiskinan (Church in Destitution Context)



GEREJA DALAM KONTEKS KEMISKINAN
(Suatu Tinjauan Teologis – Etis Terhadap Salah Satu Problem Sosial Masyarakat)
Oleh: Pdt. Daniel Bonardo Pane, S.Th.


I. Pengertian Kemiskinan
Menurut KBBI, Kemiskinan” berasal dari Kata “Miskin”, yang berarti tidak berharta benda, serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Jadi Kemiskinan itu dinyatakan absolut situasi penduduk/ sebagai penduduk yang yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian dan perumahan yang sangat diperlukan  untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.[1]
            Bila kita melihat serta menyelidiki akan fakta kemiskinan disekitar kita, maka kita dapat menggolongkan kemiskinan itu dalam dua dimensi, yaitu:
  1. Kemiskinan material, kekurangan uang dan harta benda. Orang yang miskin material adalah kurang dalam sandang pangan, kurang giji, sering sakit, dan kurang memiliki keterampilan dan juga pendidikan.
  2. Kemiskinan dalam Alkitab. Menurut Alkitab, kemiskinan dapat disebabkan oleh kemalasan (Am. 6:9-11; 24:30-34; 19:15), kemabukan, kebodohan dan kerakusan (Ams. 23:20-21; 21:17; 13:18), malapetaka (Kel. 10:4-5).[2]
Akan tetapi, penyebab yang sering disebut dalam Alkitab ialah keserakahan, pemerasan dan penindasan yang dikutuk oleh Allah dan nabi-nabi Israel. Allah menyatakan hukuman-Nya atas bangsa Israel. Amat jelas bahwa dalam alkitab kemiskinan itu tidak dianggap sebagai kehendak Allah. Bahkan Allah melawan kemiskinan dan memanggil umat-Nyauntuk menentang kemiskinan. Kemiskinan tidak didatangkan oleh nasib atau kehendak Allah. Kemiskinan adalah hasil dari perbuatan-perbuatan manusia untuk dikutuk.
Dari pemaparan di atas bahwa kemiskinan ialah keadaan serba kekurangan dalam segala hal, kekurangan pangan, sandang, lapangan kerja, nilai-nilai hidup, kebahagiaan dan kegembiraan, kepenuhan hidup, kekurangan cita-cita dan impian, tekad dan kemauan, kemingkinan dan kesempatan, kekurangan keadilan, kebebasan dan perdamaian.
Pengertian kemiskinan dalam Alkitab mempunyai pengertian yang ganda. Arti yang pokok dari kemiskinan adalah keadaaan yang buruk dan keji yang menghina martabat manusia dan berlawanan dengan kehendak Allah. Kemiskinan dalam Alkitab dapat terjadi karena kemalasan (Ams 6: 9-11), kemabukan, kebodohan, dan kerasukan (Ams. 23:20-21), atau malapetaka (Kel.10:4-5).[3]

II. Pembahasan
1.  Kemiskinan Menurut Perjanjian Lama
Kadang-kadang ada kesan bahwa Allah menjadikan makmur orang benar dengan milik bendawi (Maz. 112:4-3), sekalipun benar bahwa untuk untung berkat kerajinan dan penghematan bagi perseorangan maupun bagi bangsa dapat jelas terlihat dan bahwa Allah berjanji untuk memberkati mereka yang menaati perintah-perintah-Nya (Ul. 28: 1-4). Kemiskinan mereka (orang Israel)mungkin adalah akibat bencana alam yang mengakibatkan panen rusak atau karena serbuan musuh, penindasan oleh tetangga-tetangga yang berkuasa dan kuat.[4]
Warga masyarakat yang kaya wajib membantu saudara- saudaranya yang miskin (Ul. 15:1-11). Yang paling menderita adalah anak-anak yang tidak mempunyai bapak lagi, janda-janda dan orang asing yang tidak memiliki tanah. Taurat memerintahkan untuk mengadakan persediaan bagi mereka (Ul. 24: 19-22), dan bersama mereka dihitung juga orang Lewi (Ul. 14:28-29) karena mereka tidak memiliki tanah. Seseorang dapat menjual dirinya sebagai budak tetapi jika dia orang Ibrani, ia harus diperlakukan berbeda dari orang asing (Im. 25:39-46).

2. Kemiskinan Menurut Perjanjian Baru
Pada zaman Perjanjian Baru, bermacam-macam pajak yang sangat memberatkan, dibebankan atas bangsa Yahudi, sementara banyak orang dalam kesukaran ekonomi yang parah, orang lain mengeruk keuntungan besar melalui kerjasama dengan pemerintah Romawi. Yesus memang berasal dari keluarga miskin (Luk. 2:24), tetapi tidak ada alasan untuk mendosa bahwa ia hidup dalam kemiskinan yang hina. Sebagai anak sulung Ia mendapat sekedar warisan dari Yusuf dan nampaknya Ia harus membayar pajak bait suci (Mat. 17:24).[5]
            Dalam ajaran Yesus, milik bendawi tidak dianggap jahat, tetapi berbahaya. Sering kelihatan bahwa orang miskinlebih berbahaya dari pada orang kaya, karena simiskin lebih mudah bersikap tergantung kepada Allah. Terhadap orang miskin harus ditunjukkan keramah tamahan (Luk. 14:12-14) dan diberikan derma (Luk. 18:22). Gereja kuno membuat sesuatu percobaan dalam hal pemilikan kekayaan  bersama (Kis. 4:34-35), tetapi sering dianggap sebagai penyebab runtuhnya ekonomi gereja di Yerusalem di kemudian hari. Banyak dari pelayanan Paulus di gereja-gereja Non-Yahudi berkaitan dengan pengumpulan uang untuk membantu orang-orang Kristen yang miskin di Yerusalem (Rm. 15:25-29; Gal. 2:10). Gereja-gereja ini juga diajar untuk memelihara anggota mereka sendiri yang miskin (Rm. 12:13).


3. Faktor-faktor Kemiskinan
Kemiskinan banyak dipengaruhi oleh banyak factor menyangkut; keterbelakangan , factor lingkungan sosial, pendidikan dan sistem pemerintahan, alam, siatuasi hidup masyarakat. Hakekat kemiskinan menurut Jonh. K. Galbalrt adalah sebagai berikut:
-          Faktor alamiah, keadaan alam yang tidak kaya
-          Sistem ekonomi
-          Situasi politik
-          Sifat hakiki bangsa
-          Tidak adanya tenaga terampil
-          Akibat penjajahan
Dalam artian, bahwa factor-faktor alamiah saling mempengaruhi. Kemiskinan juga dapat disebabkan oleh adanya ketidak adilan sosial dalam struktur masyarakat.[6]
Disamping itu juga, jika kita menggunkan sejumlah ayat Alkitab, menurut S.A.E. Nababan bahwa penyebab kemiskinan itu terletak dalam kemalasan dan usia tua (Am. 6:9-11; bnd. 24:30; 19:15), kemabukan dan kekerasan (Am.  21:17; 23:20,21); dalam kaitan dengan hubungan antar manusia, kemiskinan disebabkan oleh “Exploitation de I`homme par I`Homme” (2 Sam. 11 dan 12), yang mempunyai konsekuensi langsung bagi kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat, dan dalam kaitan dengan hubungan antra bangsa, kemiskinan dapat disebabkan oleh dominasi kolonial (Kel.1), dan oleh bencana alam (Kel. 10:4-5).[7]

III. Peran Gereja Dalam Problema Kemiskinan
Untuk menghadapi kaum miskin tidak cukup hanya dengan belaskasihan karena kebutuhan mereka, melainkan dengan penerimaan mereka sebagai anggota-anggota komunitas yang mempunyai hak-hak yang utuh. Sebagai pribadi yang diterima komunitas dalam bentuk yang mutlak karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu (Yoh.12:8)mengalah pada kekuatan uang atau menggunakan kaum miskin (Yoh. 12:4-6) hanya akan berakhir dengan kekayaan yang menyita perhatian dan kekuasaan beberapa orang atas orang lain.[8]
            Secara theologis kita melihat bahwa Allah tidak menghendaki kemiskinan dalam penciptaan, tetapi kekayaan dan kepenuhan hidup. Dengan demikian kehendak Allah melindungi kaum miskin tidak boleh dibatasi dalam segi statis-metapisis, tetapi dalam seginya yang dinamis-progresif dalam drama kehidupan menusia.[9] Dalam hal ini Allah bertindak sebagai pemelihara hidup manusia. Gereja dalam menghadapi kaum miskin adalah membuat pilihan yang benar untuk memilih kaum miskin, melibatkan diri dalam dunia mereka, mewartakan kabar gembira kepada mereka, memberi mereka harapan, menolong mereka agar berusaha membebaskan diri, membela kepentingan mereka dan ikut menanggung nasib mereka.[10] Pilihan mendahulukan kaum miskin adalah satu bagian dari ajaran sosial gereja, dimana ajaran gereja mengembangkan kepekaan yang sesuai bagi gereja untuk demikian dengan keinginan tanpa pamrih dalam melayani dan memperhatikan kaum yang paling miskin.
            Tujuan keterlibatan orang Kristen dalam masyarakat ialah mengajak seluruh umat manusia untuk berusaha keras menjadi umat manusia yang benar dan ideal agar tercipta masyarakat yang harmonis dan berkeseimbangan. Rasul Paulus mengajak orang-orang yang percaya di Tesalonika, supaya seseorang dengan sesamanya hidup selalu dalam damai, menegor mereka yang hidup tidak tertib, menghibur mereka yang tawar hati, membela mereka yang lemah, dan bersikap sabar terhadap semua orang (1Tes. 5:13-14).[11]
            Paus Yohannes Paulus II memberi beberapa pokok, sebabagi berikut;
  1. Cinta kepada kaum miskin ini adalah cinta yang berdasarkan injil dan tidak keluar dari motifasi-motifasi dan inspirasi-inspirasi sosial ekonomi dan politik.
  2. Pemihakan terhadap kaum miskin ini merupakan “Pilihan mendahulukan” (Preperential option), meskipun itu tidak berarti menyelualihan sipapun dari rangkulan cinta kasih yang harus dimiliki setiap orang Kristen.
  3. Sumber dari cinta mendahulukan  kaum miskin ini adalah teladan Yesus Kristus; oleh karena itu para imam dan kaum religius, hamba, umat Allah, pelayan imam, penjaga dan pemberi kesaksian cinta Kristus bagi manusia, harus melaksanakan cinta yang tidak memihak dan tidak mengewalikan seorangpun meski cinta itu dialamatkan terutama pada kaum yang paling miskin.
  4. Cinta Yesus pada kaum miskin harus menjadi model dari cinta yang mendahulukan kaum miskin.
  5. Pilihan mendahulukan kaum miskin masih memiliki teologis yang lebih mendalam lagi; Kristus sendiri hidup dalam kemiskinan.[12]
Disamping itu juga, gereja haruslah;
    1. Mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya, karena masalah-masalah ini mempengaruhi agama dan moralitas
    2. dengan menggunakan prinsip-prinsip injili gereja dapat membantu memperdamaikan dan meyatukan pertentangan antar kelas
    3. tujuan yang dimau gereja adalah memperdamaikan dan menyatukan kelas-kelas yang saling bertentangan
    4. gereja dapat mendidik masyarakat untuk bertindak secara adil.[13]
            Bagaimana dengan murid-murid Tuhan Yesus yang adalah gereja memperhatikan “orang banyak” (Ochlos), yang kebanyakan terdiri dari orang-orang miskin. Kita memang tidak boleh membiarkan diri alat untuk kepentingan tertentu, tetapi disini masalahnya bukan menjadi alat melainkan menolong orang miskin, sehingga tidak lagi berada di dalam kemiskinan dan ketergantungan.[14] Dalam hal ini, yang dimaksud adalah mendahulukan orang “miskin”, sehingga tidak lagi berada di dalam kemiskinan dan ketergantungan.  Dalam hal ini, yang dimaksud adalah “mendahulukan orang-orang miskin”, Yesus berkata: “orang yang sehat tidak perlu dokter”, (Mat. 9:12; Mark. 2:17; Luk. 5:31) dan paulus mengatakan dalam 1 Korintus 15:23-24 dimana anggota yang tidak elok diberi perhatian khusus. Pemahaman ini didasarkan pada commonsense: dalam kehidupan bersama. Orang yang miskin dan orang lemah tidak mungkin dapat menyesuaikan diri dengan orang kaya dan kuat. Yang mungkin adalah orang kaya dan kuat menyesuaikan gaya hidupnya dengan orang miskin dan orang lemah. “Menyesuaikan” ini tidak berarti merasa terpaksa atau dipaksa, melainkan lebih dalam arti sesuatu tekat atau komitmen untuk tidak meninggalkan mereka yang miskin dan lemah.
            Gereja memang bukan kantor sosial, memikul tanggung jawab sosial. Ia tidak menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang menjijikkan, yang tidak perlu dibicarakan. Tetapi ia juga tidak mau mendewa-dewakan kemiskinan, sama seperti Yesus tidak menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang menjijikkan ataupun harus didewa-dewakan. Dalam rangka ini diakoni sosial gereja tidak boleh lagi bersifat karikatif saja, melainkan harus sekaligus reformatif dan tranformatif.[15] Jika gereja betul bertekad untuk tidak meninggalkan orang miskin sehingga pada akhirnya orang miskin tidaklah miskin lagi, yang mana ia tidak bisa hanya diberi ikan secara terus-menerus, melainkan juga harus diberi kesempatan untuk memancing.
            Gereja dalam keiikutsertaannya di bidang sosial hendaknya menunjukkan kasih Kristen. Kasih Kristen ialah kasih dalam persekutuan. Yang pokok dalam kasih Kristen bukan ’aku’ atau ’engkau’ melainkan ’kita’. Tentu kasih dapat ditolak oleh orang yang dikasihi. Teteapi orang yang mengasihi selalu berusaha menghapuskan halangan-halangan yang memisahkan dari orang lain. Kasih itu adalah seperti hubungan dalam keluarga.[16]

Penutup
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kemiskinan itu adalah istilah relatif, yang mana pengertian semula dari istilah ini mengambarkan syarat kehidupan manusia secara lahiriah, ekonomis dan sosial. Oleh karena itu, kemiskinan tidak boleh dilihat sebagai hukuman atas dosa, dan juga tidak boleh dipandang sebagai urusan pribadi, untuk itu dalam hal ini, gereja dituntut untuk berperan aktif dalam mengadakan respon atas kemiskinan yang dialami oleh berbagai anggota masyarakat. Artinya gereja harus ambil bagian dalam mengentaskan kemiskinan dari ruang lingkup masyarakat.
            Oleh karena itu gereja haruslah bersikap reformatif dan transformatif terhadap orang-orang miskin. Sehingga akhirnya orang miskin tidak lagi tetap dalam kemiskinan, melainkan telah terangkat dari kemiskinan. Kemiskinan memang sering dilihat dari prespektif ekonomisnya, tetapi dalam hal ini, gereja memberi peran dalam mengangkat sosial mereka, seperti Yesus yang telah menjadi miskin bukan karena ketidak punyaannya, melainkan karena umat manusia. Dalam kenyataan salib, Yesus telah mencamkan semua kemiskinan manusia, mengubahnya menjadi suatu sumber berkat dan hidup berkelimpahan bagi setiap orang.


Kepustakaan


Antoncich, Richardo, Iman dan Keadilan, Kanisius,Yogyakarta 1994.
Brownlee Malcolm, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya, BPK-GM, Jakarta 2006.
----------------------, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, BPK-GM, Jakarta 1989.
Condrat, Boerma., Dapatkah Orang Kaya Masuk Kesorga ?, BPK-GM,  Jakarta 1987.
Nababan, Soritua., Iman Dan Kemiskinan, BPK-GM, Jakarta 1966.
Nainggolan Binsar, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari Bagi warga Gereja, L-Sapa, Pematangsiantar 2007.
Nixon E.: Kemiskinan, dalam J.D. Douglas (peny) Ensiklopei Alkitab Masa Kini jilid II M-Z, YKBK / OFM, Jakarta 2003.
Pr, St. Darmawijaya., Keterlibatan Allah Terhadap Kaum Miskin, Kanisius, Yogyakarta 1991.
Singgih, E. G., Berteologi Dalam Konteks, BPK-GM Jakarta; Kanisius, Yogyakarta 2004.
Schultheis Michael J.. dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta 1991.
Subrino, Jan., Theologi Solidaritas, Kanisius, Yogyakarta 1989.
W.J.S, Poerdarminta., Kamus Besar Bahasa Indonesia, P.N. Balai Pustaka, Jakarta 1982.
Yewangoe, A.A., Theologia Crucis Di Asia, BPK-GM, Jakarta 1989.



[1]Poerdarminta. W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia,, (Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1982),  
[2]Soritua Nababan, Iman Dan Kemiskinan, (Jakarta: BPK-GM, 1966), 8
[3] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 1989), 81
[4]R.E. Nixon: Kemiskinan, dalam J.D. Douglas (peny) Ensiklopei Alkitab Masa Kini jilid II M-Z, (Jakarta: YKBK, 2003), 88
[5]Ibid,. hlm. 88
[6]Boerma Condrat, Dapatkah Orang Kaya Masuk Kesorga ?, (Jakarta: BPK-GM, 1987), 12
[7] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Di Asia, (Jakarta: BPK-GM, 1989), 282
[8]Jan Subrino, Theologi Solidaritas, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 85
[9]St. Darmawijaya Pr. Keterlibatan Allah Terhadap Kaum Miskin, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 62.
[10]Op-Cit, Jon Subrino, hlm. 127
[11]Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari Bagi warga Gereja, (Pematangsiantar: L-Sapa, 2007), 24
[12]Richardo Antoncich, Iman dan Keadilan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 24-25
[13]Michael J. Schultheis SJ, dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 41
[14]E.G. Singgih, Berteologi Dalam Konteks, (Jakarta: BPK-GM; Kanisius, 2004), 214
[15]Ibid,, hlm.215
[16] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 204

Tidak ada komentar:

Posting Komentar