BAHAN KHOTBAH
MINGGU IX SETELAH TRINITAS
Minggu, 09 Agustus 2020
Ev.: Kolosse 3: 22 – 25;
Ep.: Amsal 6: 6 – 11; S. Patik: 2 Tesalonika 3: 10 – 12
MELAKUKAN PEKERJAAN DENGAN SEGENAP HATI SEPERTI UNTUK TUHAN
Oleh: Pdt. Daniel Bonardo Pane, S.Th.
Pengantar
Hal yang paling diharapkan kebanyakan orang terkhusus
bagi seseorang yang telah menyelesaikan kuliah atau sekolahnya adalah lapangan
pekerjaan. Dengan adanya lapangan pekerjaan, maka seseorang tersebut akan mampu
mengaplikasikan apa yang telah ia pelajari. Oleh karena itu, sangat perlu memilih
pekerjaan yang harus ia lakukan supaya ia beroleh keberhasilan dari yang ia
kerjakan. Setiap orang yang bekerja pasti ada sesuatu yang diharapakan, apakah
itu upah atu tambah pengalaman atau yang lainnya. Banyak orang menciptakan status
atau strata sosial dengan pekerjaan atau kedudukan dalam pekerjaan, misalnya pekerjaan
sebagai PNS, direktur, dokter, tentara lebih terhormat dibandingkan pekerjaan
sebagai tukang sapu di jalanan, supir angkot, pedagang asongan. Hal ini tampak
dari ekspresi wajah ketika seorang anak berhasil menang PNS, masuk ke angkatan
(polisi atau tentara), menjadi dokter wajah orang tua akan tampak lebih sukacita
dibandingkan wajah orang tua yang anaknya sebagai: tukang sapu jalanan, supir
angkot, atau pedangan (sai dipandok: asalma adong buatonna asa mangan). Apakah
pekerjaan itu menjadi berkat atau pekerjaan itu menjadi beban? Tergantung bagaimana
seseorang itu memandang pekerjaan yang ia kerjakan. Paulus dalam suratnya ini
menuliskan bagaimana seseorang itu harus melakukan pekerjaannya. Paulus dengan
tegas menasehati setiap jemaat yang ada di Kolose agar segala pekerjaan itu
benar – benar dilakukan dengan segenap hati. Segenap hati yang bagaimanakah
yang ingin dikatakan oleh Paulus? Oleh karena itu, kita masuk dalam pemahaman
atau penjelasan nas khotbah ini.
Pemahaman atau Penjelasan Nas
Kolose
merupakan salah satu kota yang maju dalam kerajaan Romawi. Kota ini kira – kira
15 - 19 km sebelah utara kota Laodikia, di sebelah timur kota pelabuhan utama
Efesus. Kota Kolose juga dikenal dengan kota Frigia. Apabila kita memperhatikan
dalam peristiwa turunnya Roh Kudus di Yerusalem maka penduduk Frigia ada dalam
peristiwa itu (Kisah Para Rasul 2: 10). Dengan melihat letak geografis kota
Kolose ini dapat dipastikan kalau kota Kolose peran sentral dalam kekaisaran Romawi
dalam hal perdagangan pada masanya. Kota yang maju perdagangan menandakan
adanya keanekaragaman di dalamnya termasuk budaya, suku, pengetahuan dan
termasuk lapangan pekerjaan. Banyaknya lapangan pekerjaan juga mempengaruhi
semakin banyaknya kegiatan ekonomi yang berlangsung di dalamnya. Kota Kolose merupakan
jemaat yang tidak didirikan oleh Paulus. Epapras yang merupakan teman setia Paulus
dalam melanjutkan misi pekabaran Injil itulah yang mendirikan jemaat di Kolose
(bdk. Kolose 1: 7).
Dengan
kemajuan yang terjadi di kota Kolose tidak berarti tidak ada pergumulan yang
dihadapi oleh si Epapras. Epapras menyampaikan pergumulannya dalam misi
pekabaran Injil di kota Kolose kepada Paulus dimana Paulus berda di dalam penjara
di kota Roma ketika itu. Mendengarkan berita mengenai pergumulan yang
dihadapinya di kota Kolose akhirnya Paulus menuliskan suratnya kira – kira tahun
57 – 59. Pergumulan yang begitu berat dihadapi oleh Epapras di kota Kolose
adalah banyaknya ajaran – ajaran sesat. Dinamisme dan animisme merupakan ajaran
sesat yang sangat berkembang di kota Kolose karena mengarahkan manusia dalam
penyembahan roh termasuk roh para leluhur sebagai penyataan menghormati mereka,
atau bahkan roh orang yang memiliki kemampuan yang istimewa (orang sakti, orang
yang memiliki pengetahuan atau para filsuf, bangsawan) yang telah meninggal atau
bahkan roh seorang yang duduk di pemerintahan (kaisar, gubernur para senator)
yang telah meninggal. Sehingga segala sesuatu yang mereka lakukan tidak lain adalah
sebagai penghormatan terhadap roh yang mereka sembah termasuk dalam hal
kehidupan sosial, agama atau bahkan politik. Dalam melakukan suatu pekerjaan
atau kewajiban lainnya selalu dihubungan dengan penyembahan roh tersebut
sebagai suatu tanda penghormatan atau pengabdian kepada roh yang telah
meninggal tersebut dan dinyatakan kepada penghormatan dan pengabdian kepada
manusia. Tidak sedikit yang menjadi korban oleh karena ajaran tersebut terlebih
korban karena tekanan sistem yang terjadi karena ajaran tersebut. Seorang tuan
bersukahati menindas hambanya, hamba yang merasa tersiksa mencoba untuk
memberontak namun status sosialnya yang rendah membuat ia harus menerima kenyataan
yang dihadapi. Segala pekerjaan pun dan kewajiban pun kini menjadi beban dengan
berbagai tuntutan. Hal ini juga mengakibatkan perselisihan atau pemberontakan,
penindasan hak – hak manusia dan rusaknya hubungan antar keluarga, masyarakat,
tuan dan hamba. Dengan itu semua maka iman atau ajaran Kristen pun dicampurkan
dengan ajaran dinamisme dan animisme (sinkritisme).
Mendengar
semua yang terjadi, Paulus menuliskan surat penggembalaannya kepada jemaat
Kolose agar jemaat Kristen yang ada di kota ini tidak mengikuti ajaran
tersebut. Paulus yang ketika itu berada di penjara mengingatkan atau memberitakan
pemahaman ajaran iman Kristen untuk melawan ajaran sesat yang ada di kota Kolose,
termasuk dalam hal hubungan keluarga (suami, istri dan anak) melalui kewajiban
dan hak yang didapat satu sama lain dalam keluarga Kristen (lih. Kol. 3: 18 –
21). Nas khotbah ini merupakan lanjutan nasihat Paulus mengenai hidup baru di
dalam Kristus. Jika dikatakan hidup baru berarti hidup lama sudah berakhir,
tamat (end). Hidup lama berarti hidup dalam penyembahan dan pengabdian roh yang
telah mati serta kepada manusia, sedangkan hidup baru berarti hidup dalam
penyembahan dan pengabdian kepada Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dan Juruselamat.
Pada
ay. 22 ada alamat nasihat yaitu para hamba (dou/loi). Sistem perhambaan
sudah lama terjadi jauh sebelum teks ini dituliskan. Sistem perhambaan yang terjadi
dimana hamba tidak memiliki hak hidup dan ia harus menyenangkan hati tuannya
walaupun ia harus menderita secara psikis. Tidak sedikit hamba mengalami pelecehan
atau tekanan dari tuannya. Jika seorang hamba mampu menyenangkan hati tuannya
maka tuannya akan sayang atau mengasihi hambanya tersebut. Sehingga terjadi
persaingan antar hamba untuk menyenangkan hati tuannya dan berbagai cara
dilakukan termasuk menjelekkan atau membuat hati tuannya membenci hamba
lainnya. Para hamba perempuan banyak dijadikan pemuas birahi bagi tuannya dan hamba
tersebut tidak boleh melawan atau menolak, karena mengabdi sama tuannya sama
dengan mengabdi roh nenek moyang atau orang tua yang telah meninggal.
Paulus
tidaklah menghapus atau meniadakan sistem perhambaan. Tetapi Paulus menekankan
bagaimana hubungan tuan dan hamba dihubungkan pada hubungan Kristus dengan jemaat.
Nasihat paulus pada nas khotbah ini adalah: “taatilah tuanmu dalam segala hal”
(u`pakou,ete kata. pa,nta
toi/j kata. sa,rka kuri,oij) kata taati
(lebih tegas dikatakan: u`pakou,ete (hupakouete)
yang artinya harus, tidak boleh tidak, tidak boleh melawan) melayani tuannya (toi/j kata. sa,rka
kuri,oij yang artinya terharap para tuan
secara daging (fisik)) dalam segala hal (bdk. Titus 2: 9). Tuan yang dikatakan
di sini adalah tuan secara daging (fisik) berarti ia tidak menyembah atau melayani
tuan dalam pemahaman kepada roh orang mati. Melayani dalam segala hal. Paulus
dalam hal ini tidak berarti ia membenarkan perbuatan semena-mena tuan terhadap
hamba dan tidak berarti bahwa Paulus menyetujui pemerkosaan hak dasar yaitu hak
hidup seorang hamba. Tetapi Paulus menekankan selaku kepada jemaat Kristen di
kota Kolose bahwa sebagai hamba haruslah ia melakukan tugasnya sebagai hamba
yang baik, jujur dan setia kepada tuannya. Tidak melakukan kecurangan, cari
muka, atau bahkan menjadi seorang penjilat bagi tuannya, atau dengan pemahaman biar
(asal) bapak senang). Melakukannya dengan tulus hati (a`plo,thti kardi,aj: kemurnian hati, berintegritas) karena takut akan
Tuhan (fobou,menoito.n
ku,rion: takut kepada Tuhan). Hal ini
berarti seorang hamba harus memiliki sikap atau moral yang berintegritas dalam
melakukan tugasnya, tidak mendua hati, tidak dalam hal keterpaksaan, melakukan
pekerjaannya dengan setia tidak menuntut banyak, semuanya itu adalah karena
ibadahnya kepada Tuhan. Dalam semuanya itu harus dilakukan hanya karena ia beribadah
kepada Tuhan, bukan kepada roh orang yang telah meninggal atau bahkan tidak
beribadah kepada manusia (secara daging) (ay. 23).
Pada
ay. 24 hubungan tuan dengan hamba dihubungkan kepada hubungan Tuhan dengan jemaat.
Tuan (dalam hal fisik) pasti mengharapkan hambanya taat dan setia. Hamba yang
taat dan setia adalah kesayangan dari tuannya, sehingga hamba tersebut memiliki
jaminan perlindungan dari tuannya (bdk. Hamba seorang perwira (Mat. 8: 5 – 13). Dalam tradisi PL sudah diaturkan bagaimana hak yang didapat oleh seorang budak,
atau hamba (akar kata sama: eved) (lih. Kel. 31), perlakuan terhadap
budak atau hamba (Imamat 25). Paulus juga menegaskan bagaimana seorang tuan
harus memperlakukan hambanya dengan baik dan terhormat sebagai seorang saudara
yang terkasih (mitra) (bdk. Kolose 4; Filemon 1). Dalam konsep kerajaan Romawi
juga telah diaturkan bagaimana hak dan perlakuan yang baik dari tuannya. Hal ini
dinyatakan dengan adanya perayaan Saturnalia dalam tradisi keagamaan Romawi
kuno. Sebaliknya, jika hamba tersebut melakukan kesalahan dengan sebagai bentuk
pemberontakan maka ia harus dihukum atau menerima sanksi atas segala perbuatannya.
Tuhan tidak memandang orang. Apabila seorang hamba memberontak terhadap tuannya
atau melakukan perlawanan terhadap tuannya maka tuannya itu dapat memecat,
mengusir atau bahkan menjatuhkan hukuman mati terhadap hambanya itu (ay. 25).
Refleksi Teologis
Hubungan
hamba dan tuan kini tetap berlanjut bahkan sampai saat ini, walaupun istilah
hamba atau tuan dapat diartikan antara pegawai, buruh, pembantu rumah tangga,
bawahan, dengan manager, kepala instansi, diretur, kepala pemerintahan. Apakah kita
menganggap pekerjaan kita baik sebagai hamba atau tuan adalah menjadi berkat
atau beban, itu tergantung bagaimana kita melakukan pekerjaan itu. Apabila kita
melakukan pekerjaan itu dengan mendua hati, tidak bersungguh – sungguh,
bersungut-sungut enteng dalam pekerjaan atau bahkan bermalas – malasan,
bagaimana kita menganggap pekerjaan itu adalah berkat, yang ada pekerjaan itu
menjadi beban (Bdk. Amsal 6: 11). Apa yang kita menjadi fokus utama kita dalam
melakukan pekerjaan: apakah uang, pangkat, dihormati banyak orang jika itu
menjadi fokus utama kita maka melakukan pekerjaan itu pun akan menjadi beban
karena banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi bahkan perbuatan curang pun
dilakukan agar itu didapat jika itu tidak terjadi maka yang ada adalah stress.
Dalam Kolose 3: 17 Paulus menuliskan: “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. Melakukan pekerjaan dengan tulus hati adalah bagian dari ibadah kita kepada Tuhan. Kita mengharapkan kita beroleh berkat dari apa yang kita kerjakan (dalam hal ini pekerjaan yang dimaksud bukanlah pekerjaan: mencuri, pelacuran, merampok, bandar narkoba atau pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran iman Kristen) maka kita harus menjadikan pekerjaan itu adalah ibadah kita kepada Tuhan. Seorang buruh atau pekerja kasar, petani, supir, pedagang atau pedagang, pembantu rumah tangga pegawai, bidan, pengusaha, atau sebagai pimpinan dan sebagainya semuanya akan menjadi berkat, dan mendatangkan sukacita jika hal itu dilakukan dengan ketekunan, kesungguhan dan hal itu janganlah dipandang sebagai sesuatu yang memalukan, tetapi disyukuri. Apabila kita masih seorang bawahan haruslah setia menjalankan tugas yang diembankan pimpinan. Sehingga kita menjadi kesayangan oleh pimpinan tanpa harus mencari muka, tanpa harus menjelekkan saudaranya yang sesama bawahan agar ia lebih disayang pimpinan, bermukadua terhadap pimpinan atau berlaku curang. Dengan semuanya itu maka pekerjaan itu mendatangkan berkat sama halnya ibadah itu adalah menerima berkat.
Apabila
seorang bawahan berontak terhadap pimpinannya (karena kebencian terhadap pimpinan,
menutupi kesalahannya), bermalas – malasan, lalai dalam tugasnya maka pimpinan
tersebut berhak memecat, mengusir atau bahkan menghukum bawahannya tersebut
sesauai dengan peraturan dan aturan yang berlaku. Indonesia telah mengaturkan hukum
atau Undang mengenai ketanagakerjaan pada UU no. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan
kemudian diperbaharui pada tahun putusan no. 13/PUU-XV/2017, maupun secara
Internasional dimana International Labour Organization (ILO) memberikan standar
perlindungan dan hak para pekerja. Misalnya saja, terkait Kebebasan Berserikat,
ada di Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98; Sedangkan terkait Diskriminasi bisa
dilihat di Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111.
Jika
demikian halnya adanya dasar hukum sebagai jaminan perlindungan apakah alasan
kita untuk tidak bekerja? Atau apa kita mengharapkan kebutuhan hidup (kebutuhan
primer atau kebutuhan dasar keluarga) turun tiba – tiba atau kita hanya
mengharapkan orang bermurah hati selalu memasang muka lesu supaya diperhatikan
terus menerus dan dikasihi dengan rasa kasihan? Tuhan tidak menciptakan kita
dengan tujuan bermalas – malasan, sebab pada masa penciptaan manusia pertama
pun manusia yang pertama itu sudah bekerja dan tidak bermalas – malasan. Dalam 2 Tesalonika 3: 10 – 12 dituliskan: Sebab,
juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu:
jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Kami katakan ini karena
kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja,
melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Orang-orang yang demikian
kami peringati dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap
tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri. Akhir
kata saya mengutip sebuah syair lagu: “Kerja buat Tuhan selalu manise, biar
pikul salib selalu manise, ayo kerja buat Tuhan sungguh senang-senange, dipanggil
Tuhan selalu manise serahkan diri
keladang Tuhan sodara, serta Tuhan selalu manise”, amin
Molo sistem di adm guru *beban kerja* didok amang.
BalasHapus