GEREJA
DALAM KONTEKS KEMISKINAN
(Suatu Tinjauan Teologis – Etis Terhadap
Salah Satu Problem Sosial Masyarakat)
Oleh: Pdt. Daniel Bonardo Pane, S.Th.
I. Pengertian Kemiskinan
Menurut KBBI, “Kemiskinan”
berasal dari Kata “Miskin”, yang berarti tidak berharta benda, serba kekurangan
(berpenghasilan rendah). Jadi Kemiskinan itu dinyatakan absolut situasi
penduduk/ sebagai penduduk yang yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian dan
perumahan yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.[1]
Bila
kita melihat serta menyelidiki akan fakta kemiskinan disekitar kita, maka kita
dapat menggolongkan kemiskinan itu dalam dua dimensi, yaitu:
- Kemiskinan material, kekurangan uang dan harta benda. Orang yang miskin material adalah kurang dalam sandang pangan, kurang giji, sering sakit, dan kurang memiliki keterampilan dan juga pendidikan.
- Kemiskinan dalam Alkitab. Menurut Alkitab, kemiskinan dapat disebabkan oleh kemalasan (Am. 6:9-11; 24:30-34; 19:15), kemabukan, kebodohan dan kerakusan (Ams. 23:20-21; 21:17; 13:18), malapetaka (Kel. 10:4-5).[2]
Akan tetapi, penyebab yang
sering disebut dalam Alkitab ialah keserakahan, pemerasan dan penindasan yang
dikutuk oleh Allah dan nabi-nabi Israel. Allah menyatakan hukuman-Nya atas
bangsa Israel. Amat jelas bahwa dalam alkitab kemiskinan itu tidak dianggap
sebagai kehendak Allah. Bahkan Allah melawan kemiskinan dan memanggil
umat-Nyauntuk menentang kemiskinan. Kemiskinan tidak didatangkan oleh nasib
atau kehendak Allah. Kemiskinan adalah hasil dari perbuatan-perbuatan manusia
untuk dikutuk.
Dari pemaparan di atas bahwa
kemiskinan ialah keadaan serba kekurangan dalam segala hal, kekurangan pangan,
sandang, lapangan kerja, nilai-nilai hidup, kebahagiaan dan kegembiraan,
kepenuhan hidup, kekurangan cita-cita dan impian, tekad dan kemauan,
kemingkinan dan kesempatan, kekurangan keadilan, kebebasan dan perdamaian.
Pengertian kemiskinan dalam
Alkitab mempunyai pengertian yang ganda. Arti yang pokok dari kemiskinan adalah
keadaaan yang buruk dan keji yang menghina martabat manusia dan berlawanan
dengan kehendak Allah. Kemiskinan dalam Alkitab dapat terjadi karena kemalasan
(Ams 6: 9-11), kemabukan, kebodohan, dan kerasukan (Ams. 23:20-21), atau
malapetaka (Kel.10:4-5).[3]
II. Pembahasan
1. Kemiskinan Menurut Perjanjian Lama
Kadang-kadang ada kesan bahwa Allah menjadikan
makmur orang benar dengan milik bendawi (Maz. 112:4-3), sekalipun benar bahwa
untuk untung berkat kerajinan dan penghematan bagi perseorangan maupun bagi
bangsa dapat jelas terlihat dan bahwa Allah berjanji untuk memberkati mereka
yang menaati perintah-perintah-Nya (Ul. 28: 1-4). Kemiskinan mereka (orang
Israel)mungkin adalah akibat bencana alam yang mengakibatkan panen rusak atau
karena serbuan musuh, penindasan oleh tetangga-tetangga yang berkuasa dan kuat.[4]
Warga masyarakat yang kaya
wajib membantu saudara- saudaranya yang miskin (Ul. 15:1-11). Yang paling
menderita adalah anak-anak yang tidak mempunyai bapak lagi, janda-janda dan
orang asing yang tidak memiliki tanah. Taurat memerintahkan untuk mengadakan
persediaan bagi mereka (Ul. 24: 19-22), dan bersama mereka dihitung juga orang
Lewi (Ul. 14:28-29) karena mereka tidak memiliki tanah. Seseorang dapat menjual
dirinya sebagai budak tetapi jika dia orang Ibrani, ia harus diperlakukan
berbeda dari orang asing (Im. 25:39-46).
2. Kemiskinan Menurut Perjanjian Baru
Pada zaman Perjanjian Baru, bermacam-macam pajak
yang sangat memberatkan, dibebankan atas bangsa Yahudi, sementara banyak orang
dalam kesukaran ekonomi yang parah, orang lain mengeruk keuntungan besar
melalui kerjasama dengan pemerintah Romawi. Yesus memang berasal dari keluarga
miskin (Luk. 2:24), tetapi tidak ada alasan untuk mendosa bahwa ia hidup dalam
kemiskinan yang hina. Sebagai anak sulung Ia mendapat sekedar warisan dari
Yusuf dan nampaknya Ia harus membayar pajak bait suci (Mat. 17:24).[5]
Dalam
ajaran Yesus, milik bendawi tidak dianggap jahat, tetapi berbahaya. Sering
kelihatan bahwa orang miskinlebih berbahaya dari pada orang kaya, karena
simiskin lebih mudah bersikap tergantung kepada Allah. Terhadap orang miskin
harus ditunjukkan keramah tamahan (Luk. 14:12-14) dan diberikan derma (Luk.
18:22). Gereja kuno membuat sesuatu percobaan dalam hal pemilikan kekayaan bersama (Kis. 4:34-35), tetapi sering dianggap
sebagai penyebab runtuhnya ekonomi gereja di Yerusalem di kemudian hari. Banyak
dari pelayanan Paulus di gereja-gereja Non-Yahudi berkaitan dengan pengumpulan
uang untuk membantu orang-orang Kristen yang miskin di Yerusalem (Rm. 15:25-29;
Gal. 2:10). Gereja-gereja ini juga diajar untuk memelihara anggota mereka
sendiri yang miskin (Rm. 12:13).
3. Faktor-faktor Kemiskinan
Kemiskinan banyak dipengaruhi oleh banyak factor
menyangkut; keterbelakangan , factor lingkungan sosial, pendidikan dan sistem
pemerintahan, alam, siatuasi hidup masyarakat. Hakekat kemiskinan menurut Jonh.
K. Galbalrt adalah sebagai berikut:
-
Faktor
alamiah, keadaan alam yang tidak kaya
-
Sistem ekonomi
-
Situasi politik
-
Sifat hakiki bangsa
-
Tidak adanya tenaga terampil
-
Akibat penjajahan
Dalam artian, bahwa factor-faktor alamiah saling
mempengaruhi. Kemiskinan juga dapat disebabkan oleh adanya ketidak adilan sosial
dalam struktur masyarakat.[6]
Disamping itu juga, jika kita menggunkan sejumlah ayat
Alkitab, menurut S.A.E. Nababan bahwa penyebab kemiskinan itu terletak dalam
kemalasan dan usia tua (Am. 6:9-11; bnd. 24:30; 19:15), kemabukan dan kekerasan
(Am. 21:17; 23:20,21); dalam kaitan
dengan hubungan antar manusia, kemiskinan disebabkan oleh “Exploitation de
I`homme par I`Homme” (2 Sam. 11 dan 12), yang mempunyai konsekuensi langsung
bagi kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat, dan dalam kaitan dengan
hubungan antra bangsa, kemiskinan dapat disebabkan oleh dominasi kolonial
(Kel.1), dan oleh bencana alam (Kel. 10:4-5).[7]
III. Peran Gereja Dalam Problema Kemiskinan
Untuk menghadapi kaum miskin tidak cukup hanya
dengan belaskasihan karena kebutuhan mereka, melainkan dengan penerimaan mereka
sebagai anggota-anggota komunitas yang mempunyai hak-hak yang utuh. Sebagai pribadi yang diterima komunitas dalam bentuk yang mutlak
karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu (Yoh.12:8)mengalah pada kekuatan
uang atau menggunakan kaum miskin (Yoh. 12:4-6) hanya akan berakhir dengan
kekayaan yang menyita perhatian dan kekuasaan beberapa orang atas orang lain.[8]
Secara theologis
kita melihat bahwa Allah tidak menghendaki kemiskinan dalam penciptaan, tetapi
kekayaan dan kepenuhan hidup. Dengan demikian kehendak Allah melindungi kaum
miskin tidak boleh dibatasi dalam segi statis-metapisis, tetapi dalam seginya
yang dinamis-progresif dalam drama kehidupan menusia.[9]
Dalam hal ini Allah bertindak sebagai pemelihara hidup manusia. Gereja dalam
menghadapi kaum miskin adalah membuat pilihan yang benar untuk memilih kaum
miskin, melibatkan diri dalam dunia mereka, mewartakan kabar gembira kepada
mereka, memberi mereka harapan, menolong mereka agar berusaha membebaskan diri,
membela kepentingan mereka dan ikut menanggung nasib mereka.[10]
Pilihan mendahulukan kaum miskin adalah satu bagian dari ajaran sosial gereja,
dimana ajaran gereja mengembangkan kepekaan yang sesuai bagi gereja untuk
demikian dengan keinginan tanpa pamrih dalam melayani dan memperhatikan kaum
yang paling miskin.
Tujuan keterlibatan
orang Kristen dalam masyarakat ialah mengajak seluruh umat manusia untuk
berusaha keras menjadi umat manusia yang benar dan ideal agar tercipta
masyarakat yang harmonis dan berkeseimbangan. Rasul Paulus mengajak orang-orang
yang percaya di Tesalonika, supaya seseorang dengan sesamanya hidup selalu
dalam damai, menegor mereka yang hidup tidak tertib, menghibur mereka yang
tawar hati, membela mereka yang lemah, dan bersikap sabar terhadap semua orang
(1Tes. 5:13-14).[11]
Paus Yohannes
Paulus II memberi beberapa pokok, sebabagi berikut;
- Cinta kepada kaum miskin ini adalah cinta yang berdasarkan injil dan tidak keluar dari motifasi-motifasi dan inspirasi-inspirasi sosial ekonomi dan politik.
- Pemihakan terhadap kaum miskin ini merupakan “Pilihan mendahulukan” (Preperential option), meskipun itu tidak berarti menyelualihan sipapun dari rangkulan cinta kasih yang harus dimiliki setiap orang Kristen.
- Sumber dari cinta mendahulukan kaum miskin ini adalah teladan Yesus Kristus; oleh karena itu para imam dan kaum religius, hamba, umat Allah, pelayan imam, penjaga dan pemberi kesaksian cinta Kristus bagi manusia, harus melaksanakan cinta yang tidak memihak dan tidak mengewalikan seorangpun meski cinta itu dialamatkan terutama pada kaum yang paling miskin.
- Cinta Yesus pada kaum miskin harus menjadi model dari cinta yang mendahulukan kaum miskin.
- Pilihan mendahulukan kaum miskin masih memiliki teologis yang lebih mendalam lagi; Kristus sendiri hidup dalam kemiskinan.[12]
Disamping itu juga, gereja haruslah;
- Mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya, karena masalah-masalah ini mempengaruhi agama dan moralitas
- dengan menggunakan prinsip-prinsip injili gereja dapat membantu memperdamaikan dan meyatukan pertentangan antar kelas
- tujuan yang dimau gereja adalah memperdamaikan dan menyatukan kelas-kelas yang saling bertentangan
- gereja dapat mendidik masyarakat untuk bertindak secara adil.[13]
Bagaimana dengan
murid-murid Tuhan Yesus yang adalah gereja memperhatikan “orang banyak”
(Ochlos), yang kebanyakan terdiri dari orang-orang miskin. Kita memang tidak
boleh membiarkan diri alat untuk kepentingan tertentu, tetapi disini masalahnya
bukan menjadi alat melainkan menolong orang miskin, sehingga tidak lagi berada
di dalam kemiskinan dan ketergantungan.[14]
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah mendahulukan orang “miskin”, sehingga tidak
lagi berada di dalam kemiskinan dan ketergantungan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah
“mendahulukan orang-orang miskin”, Yesus berkata: “orang yang sehat tidak perlu
dokter”, (Mat. 9:12; Mark. 2:17; Luk. 5:31) dan paulus mengatakan dalam 1
Korintus 15:23-24 dimana anggota yang tidak elok diberi perhatian khusus.
Pemahaman ini didasarkan pada commonsense: dalam kehidupan bersama. Orang yang
miskin dan orang lemah tidak mungkin dapat menyesuaikan diri dengan orang kaya
dan kuat. Yang mungkin adalah orang kaya dan kuat menyesuaikan gaya hidupnya dengan orang
miskin dan orang lemah. “Menyesuaikan” ini tidak berarti merasa terpaksa atau
dipaksa, melainkan lebih dalam arti sesuatu tekat atau komitmen untuk tidak
meninggalkan mereka yang miskin dan lemah.
Gereja memang bukan
kantor sosial, memikul tanggung jawab sosial. Ia tidak menganggap kemiskinan
sebagai sesuatu yang menjijikkan, yang tidak perlu dibicarakan. Tetapi ia juga
tidak mau mendewa-dewakan kemiskinan, sama seperti Yesus tidak menganggap
kemiskinan sebagai sesuatu yang menjijikkan ataupun harus didewa-dewakan. Dalam
rangka ini diakoni sosial gereja tidak boleh lagi bersifat karikatif saja,
melainkan harus sekaligus reformatif dan tranformatif.[15]
Jika gereja betul bertekad untuk tidak meninggalkan orang miskin sehingga pada
akhirnya orang miskin tidaklah miskin lagi, yang mana ia tidak bisa hanya
diberi ikan secara terus-menerus, melainkan juga harus diberi kesempatan untuk
memancing.
Gereja dalam keiikutsertaannya di bidang
sosial hendaknya menunjukkan kasih Kristen. Kasih Kristen ialah kasih dalam
persekutuan. Yang pokok dalam kasih Kristen bukan ’aku’ atau ’engkau’ melainkan
’kita’. Tentu kasih dapat ditolak oleh orang yang dikasihi. Teteapi orang yang
mengasihi selalu berusaha menghapuskan halangan-halangan yang memisahkan dari
orang lain. Kasih itu adalah seperti hubungan dalam keluarga.[16]
Penutup
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
kemiskinan itu adalah istilah relatif, yang mana pengertian semula dari istilah
ini mengambarkan syarat kehidupan manusia secara lahiriah, ekonomis dan sosial.
Oleh karena itu, kemiskinan tidak boleh dilihat sebagai
hukuman atas dosa, dan juga tidak boleh dipandang sebagai urusan pribadi, untuk
itu dalam hal ini, gereja dituntut untuk berperan aktif dalam mengadakan respon
atas kemiskinan yang dialami oleh berbagai anggota masyarakat. Artinya gereja
harus ambil bagian dalam mengentaskan kemiskinan dari ruang lingkup masyarakat.
Oleh karena itu
gereja haruslah bersikap reformatif dan transformatif terhadap orang-orang
miskin. Sehingga akhirnya
orang miskin tidak lagi tetap dalam kemiskinan, melainkan telah terangkat dari
kemiskinan. Kemiskinan memang sering dilihat dari prespektif ekonomisnya,
tetapi dalam hal ini, gereja memberi peran dalam mengangkat sosial mereka,
seperti Yesus yang telah menjadi miskin bukan karena ketidak punyaannya,
melainkan karena umat manusia. Dalam kenyataan salib, Yesus telah mencamkan
semua kemiskinan manusia, mengubahnya menjadi suatu sumber berkat dan hidup
berkelimpahan bagi setiap orang.
Kepustakaan
Antoncich, Richardo, Iman dan Keadilan, Kanisius,Yogyakarta
1994.
Brownlee Malcolm, Pengambilan
Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya, BPK-GM, Jakarta 2006.
----------------------, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, BPK-GM,
Jakarta 1989.
Condrat, Boerma., Dapatkah Orang Kaya Masuk Kesorga ?, BPK-GM, Jakarta 1987.
Nababan, Soritua., Iman Dan Kemiskinan, BPK-GM, Jakarta
1966.
Nainggolan Binsar, Pengantar
Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari Bagi warga Gereja, L-Sapa,
Pematangsiantar 2007.
Nixon E.: Kemiskinan, dalam J.D. Douglas
(peny) Ensiklopei Alkitab Masa Kini
jilid II M-Z, YKBK / OFM, Jakarta 2003.
Pr, St. Darmawijaya., Keterlibatan Allah Terhadap Kaum Miskin,
Kanisius, Yogyakarta 1991.
Singgih, E. G., Berteologi Dalam Konteks, BPK-GM Jakarta; Kanisius, Yogyakarta
2004.
Schultheis Michael J.. dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, Kanisius,
Yogyakarta 1991.
Subrino, Jan., Theologi Solidaritas, Kanisius, Yogyakarta 1989.
W.J.S, Poerdarminta., Kamus Besar Bahasa Indonesia, P.N.
Balai Pustaka, Jakarta 1982.
Yewangoe, A.A., Theologia Crucis Di Asia, BPK-GM, Jakarta 1989.
[1]Poerdarminta. W.J.S, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,, (Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1982),
[2]Soritua Nababan, Iman Dan Kemiskinan,
(Jakarta: BPK-GM, 1966), 8
[4]R.E. Nixon: Kemiskinan, dalam J.D. Douglas
(peny) Ensiklopei Alkitab Masa Kini jilid II M-Z, (Jakarta: YKBK, 2003), 88
[6]Boerma Condrat, Dapatkah Orang Kaya
Masuk Kesorga ?, (Jakarta: BPK-GM, 1987), 12
[7] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis Di
Asia, (Jakarta: BPK-GM, 1989), 282
[8]Jan Subrino, Theologi Solidaritas, (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), 85
[9]St. Darmawijaya Pr. Keterlibatan Allah
Terhadap Kaum Miskin, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 62.
[11]Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari Bagi warga
Gereja, (Pematangsiantar: L-Sapa, 2007), 24
[12]Richardo Antoncich, Iman dan Keadilan,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 24-25
[13]Michael J. Schultheis SJ, dkk, Pokok-pokok
Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991), 41
[14]E.G. Singgih, Berteologi Dalam Konteks,
(Jakarta: BPK-GM; Kanisius, 2004), 214
[16] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya, (Jakarta:
BPK-GM, 2006), 204
Tidak ada komentar:
Posting Komentar