TEOLOGI
SOSIAL BAGI KAUM PEMINUM TUAK
Latar belakang
Masalah sosial merupakan
suatu masalah yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah ini,
tidak terlepas dari zaman globalisasi.. Dalam sebuah artikel yang berjudul Gelombang Globalisasi Antara Dua Sisi,
menusikan pendapat beberapa tokoh mengenai pengertian globalisasi. Menurut Prof. Emeritus Datuk Dr. Osman Bakar,
globalisasi merupakan suatu himpunan proses pengaliran global berbagai-bagai
jenis objek yang melibatkan perlbagai bidang aktivitas manusia. Objek yang
diglobalisasikan bisa saja dalam bentuk maklumat, idea, nilai, institusi, atau
sistem.[1]
Dalam Kamus Dewan, “globalisasi
didefenisikan sebagai fenomena yang mejadikan dunia mengecil dari segi
perhubungan manusia disebabkan kepantasan perkembangan teknologi.”[2]
Dalam artikel yang
sama, penulis menguti pendapat Alvin
Toffer dalam bukunya ‘Third Wave’
menafsirkan fenomena globalisasi sebagai suatu gelombang ketiga. Pada masa
kini, terjadi pergeseran kekuatan dan pusat kekuasaan yang bersumber pada
tanah, kemudian kepada modal atau kapital, kemudian pada penguasaan terhadap
informasi. Begitu juga menurut Ahmad
Faraj, “maklamat globalisasi adalah untuk menjadikan semua aktivitas hidup
setiap bangsa di dunia seperti ekonomi, industri, pemikiran budaya, keilmuan,
ciptaan, HAM, dan sebagainya bersifat global dan tidak lagi menjadi ciri kepada
mana-mana bangsa atau sejarah mereka baik bersifat agama, keturunan, dan
budaya.”[3]
Dari penjelasan di
atas, maka globalisasi menurut pemahaman saya adalah suatu usaha atau proses
atau suatu tahapan kolonialisme dari suatu bangsa terhadap bangsa lain.. Ketika
suatu bangsa menanamkan modalnya ke bangsa lain, ia membawa budaya, sistem,
atau nilai yang terdapat dalam budayanya ke bangsa lain yang memiliki perbedaan
dengan bangsanya. Sehingga, bangsa yang dikunjungi masuk ke budaya, atau
menerima budaya dari luar bangsa itu, dengan berbagai alasan. Ketika bangsa
yang dikunjungi itu menerima budaya atau menyerap nilai moral yang dibawa oleh
bangsa lain. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi bangsa asing itu, karena
bangsa yang didatangi menjadi tempat dalam menanamkan modal dalam negeri itu. Hal
ini pun merupakan suatu keuntungan bagi bangsa pribumi, karena hal ini dianggap
sebagai suatu kesempatan untuk mengurangi pengangguran, dibukanya lapangan
pekerjaan, dan untuk pembangunan bangsa itu sendiri. Untuk melancarkan kegiatan
itu, maka dilakukanlah globalisasi dalam bidang ekonomi, politik, dan
sebagainya. Artinya tidak ada lagi pembatasan yang dianggap sebagai penghambat
kegiatan ini. Negara lain terasa dekat walaupun jaraknya jauh.
Keadaan yang
demikian menyebabakan bangsa yang menerima penanaman modal itu bergantung
kepada negara atau bangsa yang menanamkan modal itu. Hal itu menyebabkan muncul
anggapan bahwa negara penanam modal penguasa terhadap negara tempat penanaman
modal tersebut, dan negara penanam modal
menjadi penguasa terhadap negara penerima modal. Negara-negara yang biasanya penanam modal ialah
negara-negara maju baik dalam bidang industri.
Oleh karena itu, globalisasi tidak dapat
terlepas dari kolonialisme.
Dari penjelasan di atas, menurut pemahaman saya, globalisasi
merupakan suatu tahapan dalam bidang kolonialisme bangsa-bangsa kaya atau maju
untuk mengambil keutungan sebesar-besarnya terhadap bangsa-bangsa yang lemah.
Zaman globalisasi juga tidak
terlepas dari dari masalah Bank Dunia, IMF, dan WTO. Doug Lorimer dalam artikelnya menuliskan pendapat Hirts dan Thompson, “bagi kaum kanan di negara-negara industri maju retorika
mengenai globalisasi adalah merupakan sebagai ‘takdir’. Globalisasi memberikan kesempatan untuk melanjutkan kehidupan
kegagalan yang bersifat menghancurkan dalam hal eksperimen kebijakan moneter
dan individualisme yang radikal pada tahun 1980an. Hak-hak para buruh dan
kesejahteraan sosial dan praktek-praktek semacamnya di era manajemen ekonomi
nasional akan menyebabkan masyarakat barat menjadi tidak kompetitif dalam
hubungannya dengan negara-negara yang baru saja mengalami proses
industrialisasi di Asia dan karenanya harus dikurangi secara dramatisir”[4]
Setelah resesi tahun 1980-1982, ada
peningkatan dalam semua negara-negara ekonomi kapitalis maju. Resep neo-liberal nampak sudah jalan. Penerimaan
oleh publik terhadap resep itu adalah yang paling luas karena crash pasar modal pada tahun 1987 tidak segera menghasilkan resesi
harapan-harapan setiap orang. perekonomian negara-negara kapitalis maju terus
tumbuh dan pengangguran sedikit menurun. Namun pada resesi tahun 1990-1993
menyebabkan dampak yang lebih luas, dimana pengangguran meningkat tajam,
mencapai tingkat rata-rata resmi 8% di seluruh negara-negara imperialis. Kemudian
dilakukan perbaikan besar-besaran pada tahun 1994 tetapi tidak berlangsung
lama. Pengangguran di seluruh negara-negara imperialis hanya menurun menjadi 7%
menurut laporan resmi.[5]
Pada
tahun 1980an juga, kemandegan ekonomi neo-liberal dijustifikasi dengan klaim
bahwa pengorbanan kecil saat ini akan menghasilkan lapangan kerja baru dan
kesejahteraan masa depan. Pada tahun 1990an, sangat
jelas sekali bahwa tingkat pengangguran yang tinggi merupakan sebuah masa depan
kehidpan yang permanen di dalam ekonomi pasar bebas.[6]
Dalam
tulisannya juga dituliskan bahwa jantung dari globalisasi adalah mekanisme
pasar bebas yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan ekonomi-politik secara
alamiah. Di dalam pasar berbagai pihak akan bersaing untuk menjadi yang terbaik
dan dalam pertarungan ini, pihak yang tidak dapat menyesuaikan diri dari
kondisi pasar akan kalah dan tenggelam. Slogan dasar para pendukung globalisasi
“biarkan pasar yang menentukan.” Bagi negara berkembang, globalisasi dianggap
sebagai suatu berkat karena memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk
bermain. Setiap negara hanya perlu menyesuaikan diri dengan aturan yang ada
untuk mencari “keunggulan yang komperatif” dan tentunya siap bersaing di pasar
terbuka.”[8]
Bank
Dunia berperan sebagai pengumpul atau penyedia modal bagi negara-negara maju
dan bekembang. Bank Dunia memberikan modal atau menanamkan modal bagi
negara-negara yang sedang berkembang. Sehingga modal-modal itu akan
dikembalikan ke Bank Dunia. Negara yang menerima modal itu menjadi bergantung
pada Bank Dunia yang beberapa anggotanya adalah anggota G8 (mis. Amerika
Serikat, Inggris, dsb.). Oleh karena itu, ekonomi negara Dunia Ketiga mengikat
diri kepada Bank Dunia. Sehingga Bank Dunia secara tidak langsung memberikan banyak
keuntungan bagi negara-negara yang memiliki modal di Bank Dunia, khususnya
anggota G8, negara yang memiliki modal atau saham di Bank Dunia.[9]
Pada
tahun 1995 didirikanlah WTO (World Trade Organization) yang bertindak berdasar
komplain yang diajukan oleh anggotanya. Dengan demikian, WTO merupakan slahsatu
aktor dan forum perundingan antarperdagangan dari mekanisme globalisasi yang
terepenting. Para penganut paham ekonomi
neoliberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal
dari ‘kompetisi bebas’. Kompetisi yang agresif adalah akbiat dari kepercayaan
bahwa ‘pasar bebas’ adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan
sember daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.[10]
Muhammad Ali menuliskan
bahwa terpuruk industri keuangan Amerika yang dipicu macetnya perumahan
kualitas rendah ternyata menunjukkan betapa rapuhnya konsep dan sistem keuangan
kapitalis liberal. Dengan kata lain, sistem keuangan yang selama ini
dibanggakan Amerika beserta sekutu dan penganutnya selama ini, ternyata
menunjukkan kerapuhan dan risiko yang ditimbulkannya bagi perekonomian dunia
secara keseluruhan. Sebagaian ekonom Amerika menilai, keterpurukan sistem
keuangan saat ini, berawal dari kebijakan The
Fed menerapkan suku bunga rendah pada era awal 2001an. Ditambah maraknya
berbagai inovasi produk di pasar keuangan. Kebijakan bunga rendah ini di satu
sisi mendorong terjadinya booming
Kredit yang luar biasa, sehinga menjadikan belanja masyarakat meningkat,
sedangkan saving berkurang.
Dalam tulisan Hilmar
Farid, ‘jantung dari globalisasi ialah mekanisme pasar bebas.’[11] Mekanisme
pasar bebas ini mengakibatkan adanya kesempatan kepada pihak untuk memajukan
industri atau perusahaan masing-masing. Mekanisme ini juga mengakibatkan
munculnya persaingan-persaingan yang ketat untuk mencapati suatu keunggulan.
Siapa yang menang, maka ialah yang maju, siapa yang kalah maka industri atau
perusahaannya akan tenggelam.
Untuk
mengantisipasi industri atau perusahaan agar tidak bangkrut, maka setiap industri
membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas untuk menghasilkan produk yang hebat,
dan dapat diteima masyrakat global. Untuk itu, dibukalah lembaga-lembaga
pelatihan tenaga kerja yang dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil.
Keterampilan tenaga kerja tersebut dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang
dapat diterima masyarakat global, dan secara tidak langsung dapat mendapatkan
modal sebanyak-banyaknya.
Franz Magnis-Suseno menuliskan pendapat
Marx, ‘pekerjaan adalah tindakan
manusia yang paling dasar. Dalam pekerjaan, manusia membuat dirinya nyata.”
Dalam tulisannya juga dituliskan bahwa manusia adalah makhluk ganda yang aneh.
Disatu pihak ia adalah makhluk alami,
seperti binatang. Ia membutuhkan alam untuk hidup. Di lain pihak, ia berhadapan
dengan alam sebagai sesuatu yang asing. Ia terlebih dahulu menyesuaikan alam
dengan kebutuhannya. Binatang hanya bekerja di bawah desakan naluri, persis
sesuai dengan kebutuhannya, tetapi manusia bekerja secara bebas dan universal.
Bebas kerena ia dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung.
Kegiatan bebas dan sadarlah ciri manusia. Universal karena di satu pihak ia
dapat memakai pelbagai cara untuk tujuan yang sama (manusia dapat membangun
rumah dari kayu, batu, tanah, bahkan salju).[12]
Makna pekerjaan tercermin dalam perasaan
bangga. Keringat yang tercurah tidak berarti apa pun ketika diperhadapkan
dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaan. Pekerjaan membuktikan bahwa manusia
itu nyata. Makna pekerjaan tidak terbatasa pada orang yang bekerja itu saja. Melalui
pekerjaan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Manusia juga
bekerja untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dan orang lain bergantung pada
hasil kerja orang lain. Sehingga, hasil pekerjaan membuat orang merasa bahagia
dan puas.
Jika
pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti
menggembirakan, memberi kepuasan. Tetapi kenyataannya sering terjadi
kebalikannya. Bagi kebanyakan orang, dan khususnya bagi para kaum buruh. Industri dalam sistem kapitalis, pekerjaan tidak
merealisasikan hakikat mereka melainkan justru mengasingkan mereka. Pendapat Marx yang dikutip oleh Suseno, dalam sistem kapitalisme, orang
yang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa,
sehingga syarat untuk bisa hidup. Jadi pekerjaan tidak
mengembangkan melainkan mengasingkan manusia baik dari dirinya sendiri maupun
dari orang lain.[13]
Manusia tidak lagi dalam suasana kebebasan
dalam bekerja. Namun, manusia telah terikat dengan industri dan mengasingkan
diri dari kebebasannya. Manusia yang demikian melakukan pekerjaan dengan
tekanan peraturan yang dilakukan oleh industri, dimana peraturuan tersebut
bertujuan untuk menghasilkan produk yang baik, serta menguntungkan industri. Manusia
menjadi proses industri. Manusia menjadi potensi, mereka ikut juga
dieksploitasi dalam hal tenaga untuk kepentingan industri.
Bila
diperhatikan kehidupan dan karya pada zaman pertanian, dapat diperhatikan
terjadi pertukuaran dengan sistem barter. Barang yang dihasilkan seseorang
dapat ditukarkan dengan barang yang dihasilkan oleh orang lain. Dalam
masyarakat tani setiap anggota keluarga mempunyai tanggung jawab tertentu dalam
proses mencapai hasil akhir. Keadaan saling tergantung antara semua yang terkai
sangat menonjol. Wanita yang bekerja dalam masyarkat tani tidak dipandang
sebagai unsur tersendiri, terlindungi, dan terpisah.[14]
Wanita
sering dipandang sebagai sesuatu yang membantu kaum pria dalam menunaikan
tugasnya. Misalnya, wanita mengurus rumah dan anak-anak agar pria dapat pergi bekerja;
wanita sebagai perawat sehingga dokter (pria) mengerjakan seni penyembuhan;
wanita mengurus kantor, mengatur surat-surat, pria yang mengambil keputusan. Wanita
tidak lazim menjadi pekerja tambang, bangunan atau pengemudi truk, bahkan
wanita tidak biasa menjadi dokter, insinyur, atau pemimpin perusahaan.
Namun,
dalam persaingan industri atau perusahaan tenaga kerja juga diperlukan yang
memiliki ketrampilan dalam menghasilkan produk yang bermutu tinggi, serta dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin banyak. Oleh karena
itu, maka suatu perusahaan atau industri memakai manusia yang memiliki
kemampuan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Dalam hal ini, tidak
diperdulikan jenis kelamin. Apa itu perempuan ataupun laki-laki, yang penting
memiliki kemampuan untuk mencipta atau menghasilkan produk yang berkualitas.
Dalam
hal demikan, terbukalah kesempatan bagi wanita untuk menunjukkan dirinya bahwa
ia juga dapat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Oleh
karena itu, muncullah persaingan gender dalam tenaga kerja. Wanita dan
laki-laki sama-sama bersaing untuk mendapatkan suatu pekerjaan dalam suatu
industri atau perusahaan besar. Siapa yang memiliki kemampuan untuk berproduksi
secara kualitas ia yang berhasil siapa yang lemah, ia akan tenggelam.
Bagaimana
pun wanita mesti membuktikan kemampuannya kepada dirinya sendiri dalam
pekerjaan nontradisional apa pun, tetapi ia harus melakukannya dengan cara yang
dapat diterima oleh dirinya maupun oleh para pria di sekitarnya, tanpa merusak
diri sendiri. Wanita belajar berurusan dengan pria, dengan sesama wanita
sebagaimana adanya, dengan segala ulah dan sikapnya. Masuknya kaum wanita ke
segala bidang kekaryaan sedikit demi sedikit tampaknya menimbulkan perjuangan
untuk mendapatkan kekuasaan. Ada pria yang menganggap dunia kekaryaan sebagai
wilayah kekuasaannya. Boleh saja wanita mengatur rumah tangga, tetapi kaum
prialah yang harus mengatur dunia kekaryaan.[15]
Dalam
hal ini, sekolah maupun universitas memiliki peran dalam globalisasi. Lawrence Kohlberg menuliskan semua
sekolah dan universitas perlu membantu menciptakan peranan terhadap partisipasi
yang bertanggungjawab sebagai sarana untuk perkembangan kemasyarakatan, sebab
peran kewarganegaraan dalam kerja yang akan dimasuki oleh para lulusan, justru
tidak merupakan peranan untuk partisipasi yang bertanggung jawab. Lebih lagi,
sekolah dibutuhkan untuk mendorong refleksi rasional dan moral serta pembahasan
mengenai peranan partisipasi, jika pengalaman partisipatoris itu diharap
mendukung perkembangan.[16]
Kohlberg
mengutip pendapat Fred Newmann
‘pendidikan umum seharusnya mengajarkan siswa untuk berfungsi di dalam suatu
struktur legal politis demokrasi perwakilan. Hal ini berarti harus ada
konsistensi anatara prinsip-prinsip demokrasi yang dianjurkan dan proses
pendidikan aktual. Pendidikan harus membuktikan prinsip-prinsip utama dari
demokrasi ini dan menerapkannya pada proses pendidikan. Persamaan kebebasan dan
persetujuan dari orang yang diperintah merupakan dua prinsip yang paling
fundamental di balik demokrasi perwakilan. Prinsip-prinsip
persamaan kebebasan dan persetujuan itu dapat diwujudnyatakan delam proses
pendidikan dengan memberikan kebebasan memilih, keterbukaan, intelek dan
partisipasi aktif.[17]
Di negara-negara berkembang adopsi sistem
pendidikan dari luar sering kali mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan
sistem pendidikan yang ada sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena
seluruh daya guna sistem pendidikan tersebut diragukan. Generasi muda banyak
memberontak terhadap metode-metode dan sistem pendidikan yang ada. Bahaya yang
dapat timbul dari keadaan tersebut bukan hanya bentrokan-bentrokan dan
malapetaka, melainkan justru bahaya yang lebih fundamental yaitu lenyapnya
sifat-sifat perikemanusiaan. Freire
dalam buku yang dituliskan Dr. C. Asri
Budiningsih mengkritik selama ini sekolah telah menjadi alat penjinakan,
yang memanipulasi peserta didik agar mereka dapat diperalat untuk melayani
kepentingan kelompok yang berkuasa. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan
formal tampil dan menghadirkan dirinya sebagai suatu lembaga strutural baru
yang justru menggali jurang sosial. Segelintir orang yang mengenyam pendidikan
formal mebmentuk kubu elite sosial (setelah ada legitimasi yang berupa ijazah,
kepandaian, dan kesempatan) dalam kehidupan bermasyarakat sering memegang
peranan dan posisi kunci dalam menentukan kebijakan yang menyangkut hajat hidup
orang banyak.[18]
Kebebasan
jarang terdapat di sekolah maupun di perguruan tinggi. Kurikulum telah ditentukan oleh atasan yang harus
diikuti oleh semua sekolah sejenis. Penyimpangan dapat dihukum. Demikian pula
buku pelajaran, seta ujian-ujian tidak mengizinkan kebebasan. Dilakukan
penelitian, bahwa kebebasan merupakan dasar pendidikan yang ternyata memberikan
hasil yang menggembirakan. Belajar
bebas berbeda sama sekali dengan belajar terikat oleh peraturan dan pengawasan
yang ketat. Belajar yang terikat jauh lebih mudah dilaksanakan dan dapat
dilakukan oleh setiap guru karena banyak sedikit dapat dijalankan secara maksimal.[19]
Secara
tidak langsung, sekolah justru menjadi pendukung dalam globalisasi. Dalam
globalisasi diperlukan manusia-manusia yang memiliki ketrampilan. Dengan kata
lain, sekolah mempersiapkan anak didik memasuki pengalaman. Untuk itu,
diperlukan bahan-bahan pelajaran dan pengajar yang berkualitas untuk
menciptakan manusia-manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, terjadilah
penaikan harga pendidikan, serta orang-orang miskin tidak dapat memasukkan
anak-anak mereka ke sekolah karena biaya pendidikan yang tinggi.
Globalisasi
juga mempengaruhi budaya nasional. Kebudayaan
adalah kenyatan yang dilahirkan manusia dengan perbuatan. Kebudayaan tidak saja
asalnya, tetapi juga kelanjutannya bergantung pada manusia. Kebudayaan Barat
yang disebut kebudayaan modern bermula pada zaman Renaisance. Bangsa Belanda
merupakan bangsa yang lebih berperan dalam memasukkan budaya Barat ke
Indonesia. Kira-kira pertengahan abad XX sejumlah pemuda Indonesia berhasil
menghirup ilmu modern. Masyarakat yang telah dimanja oleh alam, akan lemah
juangnya, bila pada suatu saat menghadapi suatu kondisi yang sukar dan gawat.[20]
Semakin majunya zaman, semakin majulah dan
semakin banyaklah kebutuhan manusia. Oleh karena itu budaya juga semakin
dipengaruhi oleh zaman. Pada era globalisasi, terjadi persaingan antar industri
untuk menghasilkan produk yang dikenal oleh masyarakat global, dan disukai
masyarakat global. Oleh karena itu, industri membutuhkan tenaga kerja yang
handal. Manusia pun menjadi ikut bersaing dalam mendapatkan pekerjaan untuk
melanjutkan kehidupannya. Industri mencari pekerja yang handal tanpa
memperhatikan jenis kelamin. Dalam hal ini, sekolah menjadi berperan dalam
mempersiapkan manusia yang siap bekerja pada suatu industri. Tenaga kerja telah
menjadi potensi (tenaga mereka dieksploitasi) untuk kepentingan industri.
Kebudayaan
nasional juga turut dipengaruhi globalisasi melalui acara-acara televisi,
misalnya iklah. Iklan memperkenalkan beberapa barang yang diproduksi oleh
sebuah industri atau perusahaan. Misalnya, KFC. Begitu juga dengan berdirinya
swalayan-swalayan yang memperkenalkan beberapa produk-produk terkenal secara
global, dengan harga tertentu. Barang-barang tersebut menarik perhatian beberapa masyarakat. Siapa yang
mampu membelinya, maka akan dibeli. Namun, bagi masyarakat yang tidak mampu,
akan berusaha mendapatkannya dengan tujuan agar tidak dikatakan sebagai orang
ketinggalan zaman.
Banyak
masyarakat Indonesia tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang
lebih tinggi (SMA), karena kurangnya biaya untuk itu. Hal itu karena terjadinya
nilai ekonomi yang rendah. Keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasar keluaraganya. Agar eksistensinya sebagai manusia tidak hilang, beberapa
masyarakat melakukan pekerjaan sebagai tanda ia ada. Karena kebutuhan semakin
banyak, harga naik, maka beberapa masyarakat berjuanga memenuhi kebutuhan dasar
itu sebagai kelangsungan hidup mereka.
Selain
memenuhi kebutuhan dasar, globalisasi menghasilkan produk-produk yang diminati
masyarakat. Setiap orang ingin memilikinya, misalnya handphone. di
tengah-tengah persaingan muncullah keinginan untuk mendapatkan barang yang
global itu walaupun dengan cara halus maupun kekerasan.
Di
tengah-tengah persaingan bebas ini, muncullah tindakan kriminalitas. Soejono Dardjowidjojo menamai kriminalitas dengan white
collar dan blue color. White
collar diterjemahkan
kriminalitas halus. Kriminal yang dilakukan dengan cara halus, tidak dengan
fisik. Misalnya, pembobolan BNI Cabang Kebayoran, Korupsi, Penyelundupan
berbagai barang-barang, misalnya beras, mobil mewah, dan sebagainya. Orang-orang
yang melakukan demikian merupakan orang-orang kaya yang tidak puas denagn apa
yang dimilikinya. Meskipun ia dapat memenuhi kebutuhan dasar, ia juga ingin
memiliki barang-barang yang mewah, dikenal oleh masyrakat global, dan ingin
menunjukkan keeksistensinya sebagai masyarakat yang global. Blue
color diterjemahkan kriminalitas kasar. Hal ini dilakukan dengan kasar,
hingga dapat menghilangkan nyawa. Hal ini karena ingin
mempertahankan hidup, dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan dasar.[21]
Selain melakukan kriminalitas seperti di
atas, muncul masalah-masalah sosial, pelacuran. Pelacuran ini muncul bukan
hanya karena kurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, namun karena
ikut sertanya masalah seks bebas. Seks bebas diakibatkan adanya acara-acara
tontonan yang memiliki unsur seksualitas. Hal ini nyata dalam berseraknya kaset film porno,
tontonan yang bersifat erotis dan sebagainya. Statistik menunjukkan bahwa
kurang lebih 75% dari jumlah pelacur adalah wanita-wanita muda di bawah umur 30
tahun. Mereka umumnya
memasuki dunia pelacuran pada usia muda, yaitu 13-24 tahun. Hal ini diakibatkan beberapa hal, yaitu:[22]
- Menentang kewibawaan pendidik, dan konflik dengan orang tua atau salah seorang anggota keluarga
- Tudak mampu berprestasi di sekolah, konflik dengan teman-teman sekolah
- Merasa tidak puas atau nasib sendiri.
- Kekacauan kepribadian
- Mengikuti semau gue
Beberapa masyarakat mengalami stress karena tidak mampu memenuhi
kebutuhannya dalam era globalisasi. Banyak produk yang ditawarkan oleh beberapa
industri, namun harganya tidak dapat terjangkau. Oleh karena itu, beberapa cara dilakukan untuk
keluar dari tekanan itu.
Salah satu cara yang dipakai
ialah menggunakan narkoba. Beberapa masyarakat juga mengkonsumsi narkoba agar
dianggap gaul, dianggap hebat, bahkan sudah mengikuti zaman. Masalah penyalahgunaan narkotika adalah masalah sosial dan kesehatan
yang kompleks yang pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar,
yaitu:[23]
- Tersedia obat itu sendiri dan mudah didapat dengan harga terjangkau
- Kepribadian individu atau pemakai
- Masyarakat atau tempat perilaku penyalahgunaan obat terjadi seperti keluarga, sekolah.
Analisis Sosial, dan
Keprihatinan Sosial
Dari keterangan di atas,
tampak muncul suatu masalah yang terdapat di kehidupan sosial, terutama bagi
para peminum Tuak.oleh karena itu, perlu suatu analisa sosial, mengapa itu
sampai terjadi. Selanjutnya, ditemukan apa yang menjadi keprihatinan sosial
yang ada di dalam masalah sosial tersebut.
Dalam kasus peminum
tuak, ada pihak-pihak yang terlibat dalam masalah sosial, yaitu:
•
Pejabat
•
Tokoh Masyarakat/ yang
dituakan, orang kaya.
•
Pemilik warung
•
“Paragat”
•
Peminum tuak
Selain itu juga, ada pihak-pihak yang diuntungkan dan
dirugikan dari permasalahan sosial dalam konteks peminum tuak, yaitu:
Pihak yang paling
diuntungkan:
•
Pemilik warung : Menambah
penghasilan, menambah relasi,
•
“Paragat” : Menambah
penghasilan
•
Peminum : memperoleh manfaat
“sementara” (Stress, beban pikiran hilang).
•
Pemerintah : Mempermudah
sosialisasi informasi.
•
Agen tuak : menambah
penghasilan
Pihak yang dirugikan:
•
Peminum : merusak kesehatan
•
Keluarga
: kurangnya perhatian terhadap anak, dan istri, serta mempengaruhi stabilitas
ekonomi keluarga.
•
Masyarakat sekitar : Keamanan
dan ketentraman terganggu.
•
Gereja : para peserta kebaktian
lingkungan semakin berkurang
Dalam kasus yang demikian, tentu ada beberapa pihak yang
tidak mau tinggal dalam masalah yang terdapat padanya. Beberapa mereka ada yang
menuntut perubahan untuk menata kehidupan sosial yang barangkali terganggu akan
kehadiran kedai tuak.
Pihak yang menuntut perubahan:
1. Keluarga :
•
Agar adanya perubahan dari
bapak yang hidup dalam kebiasaan minum tuak.
•
Agar bapak menyadari peran
dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
•
Agar bapak mempertahankan
keharmonisan dalam keluarga.
•
Agar meminimalisasikan
pengeluaran di warung tuak.
2. Masyarakat :
•
Agar terciptanya ketentraman
dan ketertiban dari para peminum tuak.
•
Agar tidak terjadi tindakan
kriminalitas.
•
Agar tidak melakukan perjudian,
narkoba.
3. Pemerintah
(Pihak kepolisian)
•
Agar tercipta keamanan dalam
kehidupan (menciptakan suasana yang kondusif)
Nilai dan norma
sosial:
•
Tuak dianggap sebagai minuman
khas orang Batak.
•
Menambah relasi/Parsaoran,
karena warung dianggap sebagai tempat untuk bertemu dengan rekan, berdiskusi,
ada istilah Partungkoan.
•
Minum tuak sah-sah saja bila
dikonsummsii secara tidak berlebihan.
Dalam nilai dan norma sosial, oleh karena itu, menurut
saya yang membawa nilai itu adalah Masyarakat Batak sendiri. Namun ada sanksi
sosial .
Sanksi sosial yang menonjol yang diberlakukan jika
tidak mengikuti nilai dan norma sosial yang ada:
¨
Hukuman: apabila peminum tuak,
meminum tuak dengan berlebihan dan menyebabkan mereka menjadi mabuk, maka hal
ini dianggap sebagai pelanggaran nilai dan norma karena telah mengganggu
ketentraman masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dan pihak yang berwajib
akan turun tangan untuk proses lebih lanjut.
¨
Hukuman: apabila peminum tuak
tidak lagi hanya mengkonsumsi tuak saja, tetapi disamping itu mereka melakukan
hal-hal yang juga bertentangan/melanggar nilai-nilai dan norma masyarakat,
seperti: perjudian, narkoba, tindakan kriminalitas, perselingkuhan dan lain
sebagainya.
Dari keterangan di atas,
tampaklah pola pikir dan tingkat kesadaran pelaku dalam masalah peminum tuak.
a. Peminum Tuak : Liberal dan Naif. Karena
peminum tuak sering menyalahkan orang lain, oleh karena ia kurang mendapatkan
kesempatan dalam melakukan perubahan.
b. Pemilik warung : Konservatif dan Magis.
Karena pemilik warung merasa bahwa dialah akar dari segala masalah yang muncul,
dan tidak memberikan kemampuan anlisis antara sistem dan struktur terhadap
permasalahan responden, oleh karena ia kurang mampu untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari.
c.
Pemerintah : liberal dan naif.
Pemerintah dalam hal ini selalu mempersalahkan pelaku (Peminum tuak) sebagai
penyebab masalah. Pemerintah tidak mempersalahkan sruktur dan sistem yang
berlaku dalam maslah ini.
d.
Keluarga : Liberal, progresif
dan Naif. Karena keluarga sering menyalahkan pemerintah menilai dengan kritis
segala sesuatunya berdasarkan struktur dan sistem sosial.
e.
Masyarakat
: Progersif dan Kritis Karena Masyarakat menilai dengan kritis segala
sesuatunya berdasarkan struktur dan sistem sosial yang ada dalam masyarakat.
Gereja : Liberal dan Naif. Karena pihak gereja hanya mampu mempersalahkan objek tertentu (peminum tuak)
Gereja : Liberal dan Naif. Karena pihak gereja hanya mampu mempersalahkan objek tertentu (peminum tuak)
Maka, saya menemukan apa yang
menjadi rumusan keprihatinan sosial, yaitu:
“semakin berkembangnya ekonomi
yang marginal, maka semakin banyak jugalah masyarakat yang akan menjadi
terpinggirkan karena termarjinal secara ekonomi, sehingga mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat dan keluarga.”
Refleksi Teologi
Dari Perjanjian Lama (PL)
Cornelis
Alyona menuliskan sebuah artikel yang memberikan suatu pandangan teologi
terhadap perlindungan orang miskin. Beliau mengambil
nas Ulangan 25: 35-55 dan perbandingan terhadap Ulangan 15: 1-18.
Menurutnya[24], bila berbicara tentang orang miskin di
Israel selalu terkait dengan kehidupan sosial ekonomi. Orang miskin ditujukan
kepada orang yang lemah secara finansial, kemudian orang pendatang atau upahan
karena utang, dan orang yang menyerahkan dirinya yang berasal dari kaum orang
asing. Perlindungan terhadap orang miskin dilakukan lewat penebusan bersyarat
(terhadap majikan orang miskin yang kaya) dan penebusan tanpa syarat (Tahun
Yobel). Sarana dan wahana tindakan
perlindungan itu dikukuhkan dalam hukum kekudusan sebagai perekat dan pengokoh
rasa senasib-sepenanggungan.
Dari
penjelasan di atas, maka tema teologi yang saya usulkan ialah Teologi Pengharapan. Saya mengusulkan
tema ini karena tema ini sangat cocok bagi masyarakat yang pada saat sekarang
sangat susah, hidup menderita, bahkan terpinggirkan. Tema ini sudah muncul
ketika bangsa Israel berada dalam perbudakan Mesir, Allah mengirimkan pembebas,
untuk membebaskan mereka dari perbudakan tersebut. Hal itu berarti, Allah juga
turut bekerja atau berkarya dalam setiap kehidupan manusia. Semua karya Allah
bertujuan untuk pembebasan umatNya. Allah tetap memperhatikan dan mendengarkan
setiap seruan minta tolong ciptaanNya.
Allah
menyatakan diriNya, agar diriNya dikenal begitu juga dengan namaNya yang kudus
(Kel.3 dan 6). Setiap Allah menyatakan diriNya, terdapat suatu panggilan atau
utusan untuk membebaskan umatNya. Dari penyataan tersebut, Allah memberikan
suatu pengharapan kepada umatNya akan suatu pembebasan dari setiap beban yang
dipikul atau penderitaan yang dialami.
Keluaran 6:5 “Sebab itu katakanlah
kepada orang Israel: Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa
orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan mereka dan menebus kamu dengan
tangan yang teracung dan dengan hukuman-hukuman yang berat.” Kata kerja melepaskan (nasai) dipakai acap kali untuk perbuatan
Allah yang sama, bnd. Kel.3:8;
5:23. Pada hari itu TUHAN melepaskan orang Israel dari tangan orang Mesir. Ternyata dari sini bahwa orang Israel diandaikan sebagai orang-orang
tahanan yang tadinya terbelenggu, meringkuk di dalam suatu lobang penjara;
prerbuatan Allah diandaikan sebagai tindakan penyerobotan, dimana rumah penjara
itu direbut, pintu gerbangnya dibongkar, rantai-belenggunya dilepaskan dan para
tahanan dibolehkan luput, sehingga bebas dan merdeka.[25]
Dalam pengharapan perbuatan Allah selaku pembebas memanglah ditujukan kepada
kelahiran umat TUHAN yang mengabdi kepadaNya: tidaklah dengan kebetulan saja,
bahwa sebutan jemaat bagi umat Israel
dipakai untuk pertama kalinya dalam cerita malam paskah (Kel.12:6).[26]
Ketika bangsa
Isarel berada dalam pembuangan Babel,
Allah juga memberikan suatu pengharapan bagi bangsa itu di tengah-tengah
penderitaan, kehilangan identitas sebagai suatu bangsa, keterpurukan politik
maupun ekonomi. Allah memberikan pengharapan bahwa TUHAN Allah telah dan akan
terus menerus bekerja atau berkarya dalam memberikan kelepasan atau pembebasan
(Yes.54-55; Yer. 30-34; Yeh. 33-39; dst).
Dari penjelasan di atas, maka Allah
dijelaskan sebagai seorang Pemelihara bagi umatNya. Ia memelihara umatNya dan
peristiwa pembebasan merupakan bentuk nyata pemeliharaan Allah kepada umatNya. Dalam
kondisi yang sangat memprihatinkan bagi bangsa Israel, Allah berinisiatif untuk
membebaskan mereka dari kondisi yang memprihatinkan itu.
Dari Perjanjian Baru
Yesus juga memperkenalkan TUHAN Allah, Bapanya sebagai
Pemelihara. Dalam ajaran Yesus, terdapat penekanan khusus mengenai pemeliharaan
Allah yang istimewa akan makhluk-makhluk ciptaanNya. Hal ini tampak dalam
ucapanNya dalam Mat. 10: 29). Hal ini didukung lebih lanjut oleh ajaran yang
mengatakan bahwa Bapa Sorgawi memberikan makanan kepada burung-burung tanpa
mereka harus menabur benih, memetik, atau menyimpan makanannya (Mat. 6:26).
Ajaran itu menggambarkan Allah mempedulikan ciptaanNya. Dalam surat-surat PB
juga disebutkan tentang pemeliharaan Allah, seperti Roma 1: 19; Yak. 1:17, dll.
Walaupun pemeliharaan Allah dirasakan umat manusia, namun Ia memberikan
perhatian khusus kepada mereka yang percaya kepadaNya, tertama dalam
mengaruniakan berkat-berkat rohani bagi mereka.[27]
Disain Intervensi
Pada bagian ini, saya mencoba
merumuskan disain intervensi yang hendaknya dilakukan gereja di era golbalisasi
yang menjadi faktor penyebab masalah sosial menuju ke arah yang transformatif. Dalam konteks
globalisasi neoliberal, gereja terpanggil mengungkapkan komitmen iman yang
eksplisit dan umum dalam perkataan dan perbuatan. Gereja dapat mengungkapkan
iman mereka dengan cara:[28]
a.
Memilih jalan pemuridan yang
mahal, bersiap menjadi marti dengan mengikuti Kristus.
b.
Mengambil suatu sikap iman
ketika kuasa ketidakadilan dan penghancuran mempertanyakan integritas Injil;
mengakui imannya dengan terang-terangan dengan mengatakan TIDAK! Kepada
kekuasaan-kekuasaan dan kerajaan-kerajaan.
c.
Mengambil bagian dalam
persekutuan kerajaan Allah.
d.
Saling berbagi dengan penderitaan
dan kesakitan rakyat dan bumi pertiwi dalam dampingan Roh Kudus yang sedang
mengerang bersama seluruh ciptaan (Rom. 8:22-23)
e.
Mengadakan perjanjian untuk
mewujudkan keadilan daam kehidupan bersama dengan orang-orang dan ciptaan Allah
yang lain, dan
f.
Solider dengan rakyat yang
menderita dan bumi pertiwi. Dan mengadakan perlawanan terhadap kuasa
ketidakadilan dan perusak.
Dari pelatian yang diberikan di PELPEM GKPS, Disain
intervensi yang diberikan ialah:
1.
Coercion atau power strategy (strategi kekuasaan
atau pemaksaan).
Oleh : Ketua RT, dan Penatua lingkungan
¨
Membuat peraturan tentang
jadwal buka dan tutup untuk warung tuak.
¨
Mengeluarkan sanksi bagi
peminum tuak yang menciptakan tindakan kriminalitas, dan bagi pemilik warung
yang melanggar peraturan jadwal.
- Persuacive strategy (strategi persuasi).
Dilakukan oleh : Pihak
Gereja, Penatua lingkungan
¨
Gereja melalui pendeta dan
seluruh pelayan full timer termasuk sintua lingkungan memberikan nasehat berupa
bujukan kepada para peminum tuak untuk tidak mengkonsumsi tuak secara
berlebihan yang menyebabkan mereka mabuk dan menimbulkan tindakan kriminalitas.
¨
Gereja tidak memberikan sanksi
tetapi hanya memberika pengertian dan kesadaran bagi para peminum tuak tentang
akibat dan dampak yang mereka hasilkan dari meminum tuak.
¨
Gereja dan penatua lingkungan
memberikan penjelasan dan pengertian kepada peminum tuak dengan langsung terjun
ke warung atau datang ke rumah. Pengertian yang diberikan harus mencakup
hal—hal yang logis, emosional, dan moral.
¨
Gereja dan penatua membuat
selogan atau iklan yang memuat pernyataan sikap yang bisa membuka kesadaran
bagi para peminum tuak tentang dampak yang mereka hasilkan dari kebiasaan minum
tuak.
- Reeducative strategy (mendidik kembali)
Dilakukan oleh : Gereja dan Pemerintah (Ketua RT)
¨
Gereja memberikan Pendekatan
dan penyadaran melalui Khotbah,
PA,
¨
Ketua RT memberikan penyuluhan
akan pentingnya kesejahteraan dalam keluarga, keamanan dan ketertiban
lingkungan.
¨ Gereja mendampingi secara pastoral dengan
melakukan kunjungan kepada target. Dalam hal ini gereja akan membuka kesadaran
untuk melihat dampak dan keprihatinan kepada keluarga.
¨
Ketua RT menunjukkan fakta
dengan mengundang dokter yang bisa mensosialisasikan dampak minum tuak bagi
kesehatan.
¨
Mengundang Psikolog atau pihak
kepolisian untuk menjelaskan akibat dari kemabukan dan kehilangan kesadaran
karena tuak.
¨
Gereja Mengadakan pertemuan
atau bimbingan tentang kehidupan keluarga Kristen sejati. Dalam hal ini gereja
akan memberikan penjelasan tentang fungsi dan peranan setiap anggota dalam
keluarga khususnya peranan bapak sebagai imam.
Refleksi Khusus
Selama mengikuti kuliah ini,
saya sangat capek dalam melakukan penelitian terhadap masalah sosial. Hal ini disebabkan karena kurangnya waktu untuk
meneliti, karena masih ada kegiatan yang harus dilakukan selama praktek
lapangan berlangsung. Dalam hal ini, saya mengakui saya memiliki kelemahan
secara fisik dalam melakukan penelitian, terutama ketika saya meneliti di kedai
tuak. Secara pribadi, saya
tidak begitu senang minum tuak, bahkan tidak pernah. Namun, karena saya
meneliti peminum tuak, saya disuruh sedikit demi sedikit untuk meminumnya.
Mata
kuliah ini juga telah membuka perhatian saya terhadap masalah sosial yang muncul
dalam masyarakat yang global. Saya juga diajak untuk melihat sumber dari
penyebab masalah ini muncul sampai kepada inti-intinya. Saya sangat beruntuk
memasuki kelas ini, walaupun kegiatan yang di dalamnya sangat melelahkan. Saya
mengakui bahwa dari segi potensi saya, saya tidak kuat, tetapi aku dimampukan
oleh Allah Bapa, dimana Dia membimbing aku melalui Roh Kudusnya.
Saran
saya, kalau bisa mata kuliah ini dikhususkan di satu semester seperti praktek
lapangan (sistem live in). hal ini saya katakan agar penelitian dapat dilakukan
dengan konsentrasi penuh terhadap sampel penelitian. Sehingga, ketika melakukan
penelitian, tidak lagi terganggu oleh tugas-tugas perkuliahan lainnya. Kemudian waktu untuk rekoleksi atau pun
pelatihan kalau bisa di perpanjang, misalnya satu minggu.
Sumber Data/ Buku
Gelombang Globalisasi di Antara Dua Sisi,
Doug
Lorimer, “Globalisasi”, Neo-Liberalisme
dan Dorongan-dorongan Kemunduran Ekonomi Kapitalis
Hilmar Farid, Senjata Tuan Makan Korban: Jalan APEC
Menaklukan Buruh”, 6
Mansour
Fakih, Sesat Pikir Teori: Pembangunan
dan Globalisasi,
Sritua Arief, Laporan dan Nasihat
Sang Guru,.
Franz Magniz – Suseno, Pemikiran
Karl Marx: Dari Sosialisme Utopisme Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia
Pestaka Utama, 2003
Nancy van Vuuren, Wanita
dan Karier: bagaimana mengenal dan mengatur karya, Yogyakarta:
Kanisisu, 1988
Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap
Perkembangan Moral, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
C. Asri Budiningsih, Belajar
dan Pembelajaran, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2005
S. Nasution, Berbagai
Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu
Budaya Dasar, Jakarta:
Rineka Cipta, 1991
Soejono Dardjowidjojo, Robohnya
Moral kami, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
Kartini Kartono, Patologi Sosial: Jilid I,
Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999
Satya Joewana, dkk, Narkoba:
Petunjuk Praktis Bagi Keluarga Untuk mencegah Penyalahgunaan Narkoba,Yogyakarta:
Media Pressindo, 2001
Robert P. Borrons, Berakar di Dalam Dia dan Dibangun di Atas
Dia Jakarta:
BPK-GM, 2000.
Christoph Barth, Teologi Perjanjian Lama I,
Jakarta:
BPK-GM, 2005
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I
Jakarta:
BPK-GM, 2005
Team Keadilan DGD, Geneva
dan PMK HKBP 2006, Globalisasi
Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi, Jakarta: PMK-HKBP, 2006
[1] Gelombang Globalisasi di Antara Dua Sisi,
http://bobex.wordpress.com/2007/09/28/gelombang-globalisasi-antara-dua-sisi/
, 1
[2] Ibid. loc.it
[3] Ibid. 2
[4] Doug Lorimer, “Globalisasi”, Neo-Liberalisme dan Dorongan-dorongan Kemunduran Ekonomi
Kapitalis, 6
[5] Ibid. loc.it
[6] Ibid, 6-7
[7] Hilmar Farid, Senjata Tuan Makan Korban: Jalan APEC Menaklukan Buruh”, 6
[8] Ibid, 1
[9] Bdk. Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori: Pembangunan dan Globalisasi, 203 – 204; Sritua
Arief, Laporan dan Nasihat Sang Guru, 1
– 6.
[10] Mansour Fakih, Op.Cit, 212-218
[11] Hilmar Farid, Senjata Tuan
Makan Korban: Jalan APEC Menaklukkan Buruh, 1
[12] Franz Magniz – Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme
Utopisme Perselisihan Revisionisme, (Jakarta:
PT Gramedia Pestaka Utama, 2003), 90
[13] Ibid, 95
[14] Nancy van Vuuren, Wanita dan Karier: bagaimana mengenal
dan mengatur karya, (Yogyakarta: Kanisisu, 1988), 10
[15] Ibid, 58 – 59
[16] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), 226
[17] Ibid, 226 – 227
[18] C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2005), 3
[19] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan
Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
84-85
[20] Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1991), 40-42
[21] Soejono Dardjowidjojo, Robohnya Moral kami, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 111 – 112
[22] Kartini Kartono, Patologi Sosial: Jilid I, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1999), 194
[23] Satya Joewana, dkk, Narkoba: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga
Untuk mencegah Penyalahgunaan Narkoba,(Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), 50
[24] Cornelis Alyona, “Perlindungan Terhadap Orang Miskin dalam Imamat
25:35-55 (Perbandingan dengan Ulangan 15: 1-18), dalam buku Robert P. Borrons, Berakar di Dalam Dia dan Dibangun di Atas
Dia (Jakarta:
BPK-GM, 2000),45-59.
[25] Christoph Barth, Teologi
Perjanjian Lama I, (Jakarta:
BPK-GM, 2005), 134
[26] Ibid, 145
[27] Donald Guthrie, Teologi
Perjanjian Baru I (Jakarta:
BPK-GM, 2005), 50-51
[28] Team Keadilan DGD, Geneva dan PMK
HKBP 2006, Globalisasi Alternatif
Mengutamakan Rakyat dan Bumi, (Jakarta:
PMK-HKBP, 2006), 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar