DANIEL PANE

SELAMAT DATANG DAN MENIKMATI YANG TELAH DISAJIKAN

Jumat, 30 Maret 2012

Eskatologi dalam Perjamuan Kudus (Last Supper)


DIMENSI ESKATOLOGIS PERJAMUAN KUDUS

I.       Pendahuluan
Setiap gereja tentunya pernah melakukan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus merupakan salah satu sakramen[1] dari dua sakramen yang diperkenalkan oleh Martin Luther ketika reformasinya. Gereja Katolik mengenal 7 sakramen, diantaranya ialah Perjamuan Kudus (Ekaristi). Sebagian orang beranggapan bahwa Perjamuan Kudus itu hanya bertujuan untuk pengampunan dosa, peneguh iman, dan sebagai peringatan akan Dia. Bila kita memperhatikan ketetapan Perjamuan Kudus itu yang dilakukan oleh Yesus Kristus kita akan melihat bahwa dalam acara itu, ada dimensi eskatologis yang terkandung di dalamnya.
Selama manusia ada di dunia ini, ia tidak akan dapat lepas dari penderitaan, baik itu karena ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, perang, kemiskinan dsb. Dalam penderitaan itu, setiap manusia berusaha untuk keluar dari penderitaannya. Berbagai cara dilakukan termasuk meninggalkan apa yang ia yakini agar ia dapat keluar dari penderitaan itu, ada juga yang mengharapkan agar segera datangnya hari TUHAN untuk melepaskan kita dari penderitaan yang dihadapi. Dalam doa Bapa Kami, ada dikatakan ’Datanglah KerajaanMu’. Doa itu dapat berarti, sempurnakanlah KerajaanMu ya TUHAN Allah di dunia ini, atau yang disebut dengan Maranatha.
Dalam ketetapan Perjamuan Kudus yang dituliskan oleh Paulus dalam 1 Kor. 11:26 ’Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang,’ atau sampai kerajaan Allah itu disempurnakan di akhir zaman kelak. Sehingga segala penderitaan yang diakitbatkan oleh berbagai hal dilepaskan dan manusia akan menerima mahkota kehidupan di hari penghakiman terakhir kelak jika ia tetap teguh kepada yang ia imani. Dari penjelasan di atas, maka dalam Perjamuan Kudus terdapat dimensi eskatologi di dalamnya. Dimensi eskatologi yang bagaimanakah yang terdapat dalam Perjamuan Kudus? Siapakah yang turut menerima dimensi itu ketika menerima sakramen ini? Untuk itulah, penulis ingin membahasnya dengan sistematika sebagai berikut:
I.                    Pendahuluan
II.                 Etimologi dan Pengertian Perjamuan Kudus dan Eskatologis
III.               Penjelasan
a.       Dasar Alkitabiah
b.      Perjamuan Kudus dalam Perjanjian Lama
c.       Perjamuan Kudus pada masa gereja mula-mula
d.      Perjamuan Kudus menurut aliran gereja dan para tokoh
IV.              Dimensi Eskatologis Dalam Perjamuan Kudus
V.                 Kesimpulan
Daftar Pustaka

          II.      ETIMOLOGI DAN PENGERTIAN PERJAMUAN KUDUS DAN ESKATOLOGIS
Kata Perjamuan Kudus berasal dari dua kata, ’perjamuan’ dan ’kudus’. Perjamuan berakar kata dari ’jamu’ yang berarti ’orang yang datang berkunjung’, ’tamu’. Dari kata ini muncullah ’perjamuan’ yang berarti ’pertemuan makan dan minum’[2]. Kata kudus berarti  ’suci’ berarti ’murni’ atau ’suci’.[3] Kudus juga berarti segala sesuatu yang terpisahkan (dikhususkan) dari kebiasaan atau hal-hal yang duniawi.[4]
Liem Khiem Yang menuliskan dalam artikelnya ’Perjamuan Kudus’, bahwa Perjamuan Kudus merupakan sakramen Kristen yang merupakan inti Ibadah dalam gereja Kristen mula-mula. Perjamuan Kudus disebut juga dengan kata Yunani ekaristi yang artinya syukur atau dengan kata Latin ’komuni’, yang artinya persekutuan. Menurut pengertian Kristen di dalam Perjamuan Kudus terjadi persekutuan (komuni) antara Tuhan dan umatNya.[5]
Dalam Kamus Latin-Indonesia dituliskan kata commūnio (commoenio) berarti menguatkan, memperkuat persekutuan, persatuan, kehidupan bersama.[6] Dalam bahasa Latin, Perjamuan Kudus disebut juga dengan coena sacra juga ditujukan kepada coena Domini dan coena dominica. Sacra coena berarti upacara yang kudus yang ditetapkan oleh Kristus yang menyucikan roti dan anggur sebagai penengah tubuh dan darahNya dalam peringatan kematianNya dan mensahkan pengampunan dosa dan memberitahukan anugrah oleh iman kepada kehidupan yang kekal,[7] juga disebut dengan communicare Christo yang berarti bersekutu dengan Kristus sebuah ungkapan yang sama dalam menjelaskan libare sanguinem Christi[8] dan manducare corpus yang berarti memakan tubuh Kristus.[9]
Perjamuan Kudus disebut juga dengan kata ekaristi (Yun.’eucaristew’) yang berarti mengucap syukur.[10] Dalam tradisi Yahudi-Hellenis, model eukharisteo (eucaristew) pada umumnya merupakan sebuah ucapan syukur pada Yoh. 11: 41; Kis. 28:15. Khususnya  memberikan ucapan syukur atas makanan (Mark. 8:6; Mat. 15:36). Mereka mencoba untuk menjelaskan kata ini pada kisah Perjamuan Kudus (bdk. Mark. 14: 22; Mat. 26:26).[11]
Dari penjelasan tersebut, menurut penulis bahwa Perjamuan Kudus itu merupakan suatu perjamuan yang di dalamnya terdapat persekutuan orang-orang yang percaya kepadaNya. Perjamuan ini bukanlah suatu perjamuan makan biasa, namun perjamuan ini adalah kudus artinya berbeda atau perjamuan yang khusus dibandingkan dengan perjamuan makan biasa. Mengapa berbeda? Karena perjamuan ini dilakukan oleh Anak domba Allah, Yesus (Yoh.1: 29). Perjamuan itu diisi dengan ucapan syukur dan memakan roti sebagai tubuh Kristus, dan meminum Anggur sebagai darahNya. 
Dalam bahasa Indonesia banyak istilah yang diberikan untuk mengatakan Perjamuan Kudus. Beberapa istilah yang dibuat misalnya ekaristi, Perjamuan Malam Tuhan, Pemecahan roti, liturgi ilahi, misa, Korban Kudus, dan peringatan akan Tuhan. Selain itu juga ada yang menyebut dengan misa orang percaya, dan persembahan korban. Sejak akhir abad pertama, istilah ekaristi telah digunakan.[12]
Eskatologi berasal dari kata eskhaton (Yun. escaton (n); escatoV (m) yang berarti ’terakhir, paling rendah, yang paling akhir dari semuanya’.[13] Kittel menuliskan dalam artikelnya ’escatoV’, istilah ini pada umumnya berarti sesuatu yang terakhir baik berupa materi (Mat.5:26; Luk.12:59), ruang (Kis.1:8; 13:47), dan waktu (Mat.12:45; 20:8f). Secara tidak langsung istilah ini menjadi istilah teologi yang penting secara tidak langsung. Pada waktu bersamaan istilah ini berarti penutup dari cerita sehingga dari waktu tersebut istilah eskaton dapat menjadi tidak sama dengan peristiwa-peristiwa. Eskatologi dibawa dari pengertian akhir zaman. Keseberagaman ungkapan yang dihasilkan menjadi dijelaskan sebagian oleh penerjemah LXX הַיָמִים בְאַחֲרִית (hari terakhir) dan sebagian pengaruh oleh kenabian ’hari TUHAN’. Akhir dimulai dengan kedatangan Yesus (Ibr.1:2; 1Ptr. 1:20) tetapi penulis Kristen mula-mula juga melihat kehadiran mereka sendiri sebagai akhir zaman, diperhadapkan pada pencurahan Roh Kudus (Kis. 2:17) dan di lain pihak masa iblis, para pengejek, datangnya anti Kristus, dll.(2Ptr. 3:3; Yud.18). Di waktu yang sama kedatangan akhir zaman membawa akhir segala murka (Why. 15:1), menyelesaikan apa yang dibenci (1Kor. 15:26), memberitahukan bunyi terompet terakhir (1Kor.15:52), bangkit dari mati, penghakiman dan keselamatan (Yoh.6:39f; 44,54;11:24;1Ptr.1:5).[14]
Richard Bauckham menuliskan eskaton adalah penciptaan kembali oleh Allah atas dunia ini,[15]sama seperti kebangkitan Yesus yang adalah pembangkitan oleh Allah atas Yesus dari kematian. Teologi pengharapan dari Moltman bergantung pada pengharapan ini, tidak pada dunia lain, tetapi pada transformasi ilahi atas dunia ini. Suatu pengharapan yang dimunculkan oleh janji Allah dalam peristiwa Kristus, dan sudah mempengaruhi dunia ini. Pengharapan ini terjadi pada mulanya dalam kontradiksi, dengan menempatkan masa depan yang dijanjikan dari kenyataan itu dalam pertentangan dengan kenyataan masa kini.[16]
Ia juga menuliskan pendapat Moltman mengenai eskatologi ’eskatologi berbicara tentang Yesus Kristus dan masa depanNya. Eskatologi Kristen mencari kecenderungan-kecenderungan rahasia peristiwa penyaliban dan pembangkitan Kristus (Theology of Hope, 203), yaitu maksud ilahi untuk masa depan yang tersembunyi dalam salib dan dinyatakan dalam kebangkitan. Sama sekali tidak berarti bahwa peristiwa Kristus menyatakan semacam rencana tentang sejarah masa depan, melainkan dalam kontradiksi yang menyeluruh antara salib dan kebangkitan, dengan jelas janji-janji kebenaran dipertentangkan dengan dosa, kebebasan dipertentangkan dengan keterbelengguan, kemuliaan dipertentangkan dengan penderitaan, perdamaian dipertentangkan dengan perselisihan, kehidupan dipertentangkan dengan kematian, peniadaan dipertentangkan dengan ketiadaan, semuanya itu diarahkan oleh janji kehadiran Allah sebagai lawan dari keadaan yang ditinggalkan oleh allah (Theology of Hope, 18,203,210-211)’.[17]
Eskatologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai akhir zaman. Akhir zaman yang dimaksud ialah akhir dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Penderitaan, ketidakadilan, perselisihan, ketiadaan, pengejek, antikristus, kematian akan habis atau lenyap. Allah akan menyempurnakan kerajaanNya di bumi ini. Pada masa itu, muncullah penghakiman terakhir, kebangkitan orang mati, serta keselamatan. Setiap orang akan dihakimi menurut perbuatan mereka di hari penghakiman kelak (Why.20:12). Orang menderita dan kemudian mati oleh karena kesaksiannya akan Yesus Kristus maka ia akan memerintah bersama dengan Kristus untuk masa seribu tahun (Why.20:4). Dalam kedatangan Yesus kedua kali, semua orang mati menjadi hidup (Yoh.5:28-29). Tubuh orang yang percaya akan dimuliakan (1Kor.15:51-54); Ia akan menghakimi seluruh manusia (Mat.25:31-32;Why.20:12) dan membuat keputusan. Peristiwa tersebut akan datang namun manusia tidak mengetahui (Mat. 24:36,42; Mrk.13:32).
Kita ini adalah makhluk zaman. Kita bergerak ke masa depan melalui masa sekarang yang berdasarkan masa lalu tertentu. Selanjutnya, pernyataan-pernyataan tentang akhir zaman mengungkapkan apa yang kita antisipasi di masa depan berdasarkan pengalaman kita sekarang akan janji keselamatan dalam Kristus.[18] Dari penjelasan tersebut, Otto Hentz ingin mengatakan manusia yang hidup pada masa sekarang sedang mengalami proses menuju hidup yang akan datang hingga menuju akhir zaman. Apa yang menjadi pertanyaan kita mengenai akhir zaman merupakan sesuatu yang kita antisipasi ketika masa itu datang. Sehingga ketika hari itu tiba, kita tidak terkejut lagi karena kita telah mengantisipasi sebelum hari itu terjadi.
       III.      PENJELASAN
a.      Dasar Alkitabiah Perjamuan Kudus
Dasar Alkitabiah yang saya pakai dalam penetapan Perjamuan Kudus ialah Matius 26: 26-29 ” Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku. Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa. Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku." Penetapan tersebut bisa juga kita lihat dalam Markus 14: 22-25; Lukas  22:18-20, dan 1Kor. 11:23-26 (’...memberitakannya samapai Ia datang”)
b.      Perjamuan Kudus dalam Perjanjian Lama
Dalam PL tidak ditemukan istilah Perjamuan Kudus namun peristiwa Perjamuan Kudus    memiliki berakar dalam peristiwa paskah dalam PL. R.P. Martin menuliskan dalam artikelnya ’Perjamuan Kudus’, ahli Yahudi (terutama Billerbeck dan Dalman) mengatakan kegiatan Perjamuan Kudus itu sama dengan kegiatan pada perayaan Paskah diadakan.[19]
Kata Paskah berasal dari kata pesakh (Ibr. פֶסַח, dari kata פָסַח yang artinya melewati).[20] Paskah merupakan pesta tahunan Yahudi yang diadakan pada tanggal 14 bulan Nisan, memperingati peristiwa-peristiwa penyelamatan pada keluaran dari Mesir.[21] Pada peristiwa itu, bangsa Israel berada dalam perbudakan Mesir. Pada malam hari ketika TUHAN menjatuhkan tulah yang ke-10 kepada orang Mesir, serta adanya kejadian akan kematian anak sulung. Ketika TUHAN melewati Mesir, maka anak sulung Mesir dan anak sulung Israel yang tidak menempatkan darah anak domba di tiang pintu rumahnya akan mati. Malam itu merupakan suatu malam yang sangat mengerikan bagi kedua bangsa itu. Karena pada malam itu mereka menghadapi pemusnahan bersama-sama di Mesir.[22] Peristiwa malam itu juga suatu peristiwa pengharapan dimana mereka berharap TUHAN Allah melewatkan mereka dari penderitaan perbudakan Mesir (lih. Kel. 11-13).
Menurut Th. C. Vriezen, dapat diduga bahwa dalam perayaan tersebut kelompok-kelompok Yahwistis di tanah Kanaan, perayaan Paskah itu kemudian dikaitkan dengan fase pertama perayaan musim gugur, yaitu perayaan Matsoth, yang jatuh pada waktu yang sama dengan perayaan Paskah. Keluaran dari Mesir mula-mula diperingati dalam konteks perayaan peternakan kuno sehingga beberapa ritus kuno yang terkait dalam perayaan peternakan kuno itu dipertahankan dalam Yahwisme. Misalnya, ada kebiasaan menyembelih seekor anak domba dan melumurkan darahnya pada ambang pintu kemah di tanah Kanaan. Unsur yang terpenting dalam perayaan Matsoth ialah memakan roti tidak beragi. Oleh karena itu unsur tersebut dilekatkan pada legenda-legenda Paskah.[23]
Ch. Barth menuliskan penyembelihan seekor domba yang tadinya merupakan upacara kaum gembala pada malam bulan purnama yang pertama di musim semi untuk melindungi kawanan dombanya terhadap kuasa-kuasa jahat yang sekarang didasarkan pada peristiwa pada malam keluaran. Pemusnah dalam Kel. 12: 23 bukanlah roh-roh jahat atau kuasa jahat, melainkan YHWH sendiri yang mengancam. Bukan hanya kawanan domba sajalah yang terancam melainkan juga anak-anak sulung orang Israel, bahkan segenap umat Israel menghadapi pemusnahan bersama-sama di Mesir. Adat makan tidak beragi itu pun tadinya mempunyai arti yang lain. Masyarakat tani di bagian-bagian Kanaan yang subur, biasanya mentahbiskan buah-buah sulung dari panen yang baru mulai dengan satu upacara. Kemudian persembahan roti dipersembahkan dengan ucapan syukur dan dimakan dalam keadaan asli. Peristiwa inilah yang dikaitkan pada peristiwa keluaran. Mengapa tidak beragi? Cerita D dan P hanya menyebutkan perintah Allah melalui Musa, namun Y mengetahui bahwa roti itu tidak sempat diragi karena mereka diusir dari Mesir dan tidak dapat berlambat-lambat (12:39). Kedua upacara kuno itu, disatukan menjadi upacara pada masa raya Paskah, dengan pelepasan umat Israel dari Mesir sebagai dasarnya dan isinya yang sebenarnya.[24]
c.       Perjamuan Kudus pada masa gereja mula-mula
Pada gereja mula-mula orang Kristen non Yahudi tetap setia dalam pengajaran rasul-rasul dan persekutuan, memecah roti dan berdoa (Kis.2:42). 4 hal yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul sebagai karakteristik pada masa itu yang perlu ialah ajaran kerasulan, persekutuan dan berdoa. Tidak kurang penting pemecahan roti.[25]
Apabila kita membaca 1 Kor. 11: 17-22, Paulus menegor suatu acara Perjamuan Malam yang salah. Pada perikop tersebut dituliskan adanya suatu keadaan yang sangat berbeda. S. Wismoady menuliskan bahwa peristiwa 1 Kor.11:17-22, merupakan suatu perkembangan dari acara pemecahan roti sebelumnya. Pada perikop itu, acara pemecahan roti dan minum anggur sudah bergeser ke akhir seluruh acara, yakni sesudah acara makan bersama selesai. Hal itu terjadi karena dalam acara makan bersama, yang dilakukan di tengah-tengah seluruh upacara, ada kekacauan. Si kaya makan kenyang sedangkan para hamba dan orang miskin kelaparan. Perkembangan selanjutnya, menunjukkan bahwa Perjamuan Kudus sama sekali dipisahkan dari acara makan bersama. Acara makan tetap berlangsung dan disebut dengan istilah perjamuan kasih atau agape (Yudas 12).[26]
Acara Perjamuan Kudus dilakukan setiap minggu sore. Pada minggu pagi jemaat  berkumpul dan melakukan ibadah seperti biasa (mengucapkan kata-kata secara bergiliran, semacam pemujaan bagi Kristus). Dalam surat yang dikirimkan kaisar Trayan dari gubernur Plini, menunjukkan bahwa orang-orang Kristen itu melakukan ibadah pada pagi hari, menjelang fajar pada hari-hari tertentu yang kemungkinan besar hari Minggu. Kebaktian pagi atau subuh seperti itu dilakukan juga oleh orang Yahudi. Namun bertujuan untuk melawan penyembahan matahari. Kebiasaan itulah diambil oleh orang Kristen untuk melawan penyembahan kaisar.[27]
Masa penulisan kitab PB merupakan masa penganiayaan bagi umat Kristen. Pada masa itu terjadi peraturan untuk menyembah kaisar, dimana kaisar dianggap dewa dan kedudukan kaisar tidak boleh digantikan oleh kedudukan Kristus. Kaisar akan menghukum mati siapa yang tidak menyembah kepadanya. Untuk melawan itulah maka jemaat Kristen mula-mula ingin melawan tindakan itu dengan melakukan ibadah kemudian melakukan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus dibuat untuk meneguhkah iman mereka akan Kristus, untuk memberitakan kematianNya untuk memperdamaikan manusia dengan Allah, serta menantikan kedatanganNya kedua kali (lih. 1Kor.11:26).
d.      Perjamuan Kudus menurut aliran gereja dan para tokoh
H. Berkhof mengutip dalam bukunya ’sejarah gereja’ pendapat Augustinus yang mengatakan Perjamuan Kudus itu merupakan firman yang tidak kelihatan. Ia sangat menentang ajaran transubstansiasi (roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus).[28] Dari penjelasan tersebut, menurut pemahaman saya, Augustinus mengatakan bahwa roti dan anggur tidak berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, melainkan firman Tuhan ada di dalam roti dan anggur itu. Itu berarti orang yang makan roti dan meminum anggur dalam perjamuan itu, turut serta merasakan dan menikmati firman yang terkandung di dalam kedua media tersebut.
Dalam buku yang sama juga Gregorius Agung berpendapat bahwa rahmat Allah terutama diterima dalam Perjamuan Kudus yang dipandang selaku ulangan yang tidak berdarah dari kurban Kristus di Golgata.[29] Pendapat tersebut menurut pemahaman saya ingin mengatakan bahwa di dalam Perjamuan Kudus kita menerima Anugrah Allah, serta merupakan suatu peringatan akan Yesus ketika Ia akan ditangkap oleh orang-orang yang disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi (Mat. 26:47). Penangkapan itu akan mengakibatkan penderitaan yang dihadapi oleh Yesus, Ia disiksa, difitnah, bahkan disalib dan kemudian meninggal. Oleh karena itu, melalui Perjamuan Kudus kita mengingat itu semua dan Perjamuan Kudus merupakan suatu ulangan peristiwa tersebut namun tidak seperti yang aslinya.
            J. L. Ch. Abineno menuliskan dalam bukunya ’jemaat’ perjamuan malam adalah suatu sakramen eskatologis. Waktu Tuhan Yesus menetapkan perjamuan itu, Ia berkata ” Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku" (Mat. 26:29, bdk. Mrk. 14: 25).  Perjamuan ini telah menyinarkan cahayanya ke muka. Sebab di dalam Yesus Kristus, di dalam diri, perkataan dan perbuatanNya, Kerajaan Allah telah mendobrak masuk ke dalam dunia. Dimana Ia hadir, orang-orang yang telah menjadi milikNya tidak boleh berpuasa dan berduka, tetapi merayakan perjamuan sebagai anak-anak pesta kawin dengan Dia dalam kesukaan kegenapan perjanjian Allah (Mrk. 2:19).[30]
            Dalam dokumen konsili Vatikan II dituliskan ekaristi itu merupakan misteri Paskah, setiap orang yang ikut dalam acara itu dapat memahami misteri itu dengan baik, dan ikut serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, oleh santapan tubuh Tuhan bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan hosti yang tidak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersamaan dengannya mereka belajar mempersembahkan diri dan hari ke hari berkat perantaraan Kristus semakain penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua.[31]
Seorang teolog Katolik, A. Lukasik SCJ menuliskan gambaran PL yang setiap tahun diingat kembali dalam perayaan Paskah ini, berkaitan erat dengan apa yang diperintahkah Kristus ’lakukanlanh ini sebagai peringatan akan Daku (Luk. 22:19), dan berhubungan dengan apa yang sering diulangi dalam Perayaan Ekaristi. Dalam diri mereka yang melaksanan perintah Kristus itu terlaksana pembebasan dari perbudakan dosa. Jika kita mendengar perkataan tersebut, perlu kita menyadari pada saat itu bahwa yang mengumpulkan kita ialah Allah yang membebaskan kita dari dosa, yang membebaskan kita dari kelemahan kita. Begitulah seluruh umat manusia dituntun kepada Bapa oleh kematian dan kebangkitan Kristus.[32]
            Dalam Katekismus Heidelberg[33] dituliskan Perjamuan Kudus merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Kristus dan semua orang yang percaya memakan roti yang dipecahkan dan meminum dari piala dalam mengingat Dia ditambahkan dengan janji: pertama, bahwa tubuhNya telah ditawarkan dan rusak di kayu salib untukku, dan darahNya ditumpahkan untukku, tentu saya melihat roti dari Tuhan rusak untukku dan piala diberikan kepada saya; dan dengan pengorbanan tubuh dan darahNya sendiri memberi makan dan memelihara jiwaku kepada kehidupan yang kekal. Seperti yang telah saya terima dari imam, dan merasakan dengan mulut roti dan piala dari Tuhan yang disimbolkan dengan tubuh dan darah Kristus.[34] Apakah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus yang sesungguhnya? Tidak, seperti air dalam baptisan, tidak dirubah menjadi darah Kristus, tidak membersihkan dosa namun hanya jaminan atau tanda yang bersifat ilahi, begitu juga dengan roti dalam perjamuan Tuhan tidak berubah menjadi tubuh Kristus yang nyata.[35] Katekismus itu sangat menolak ajaran transubstansiasi seperti yang terdapat dalam gereja Katolik.
            Dalam Katekismus Besar Martin Luther dituliskan ’dengan demikian pada pihak Allah, kita memiliki perintah dan janji Kristus. Di samping itu, kebutuhan yang begitu memberatkan kita hendaknya mendorong kita mengikuti sakramen ini demi kebaikan kita sendiri. Apabila mereka merasa tertekan dan sangat lemah, ikutilah sakramen ini dengan gembira dan menjadi segar, terhibur dan kuat kembali.’[36] Dari penjelasan tersebut, saya memahami bahwa Martin Luther menyarankan agar Perjamuan Kudus itu diikuti oleh orang-orang yang lemah, lelah, yang memiliki rasa takut, yang tertindas karena ketidakadilan, orang yang berdosa karena dalam acara itu, mereka dapat dipuaskan kebutuhan rohaninya, mereka menjadi terhibur, dikuatkan dan mereka diteguhkan imannya. Acara itu merupakan suatu persiapan kita akan kedatanganNya kedua kali. Acara itu kita lakukan sampai Ia datang dalam kesempurnaan kerajaanNya di hari eskaton kelak. Sehingga kita akan dijamu di kerajaanNya dan dalam kemuliaanNya.
            Yohanes Calvin menuliskan dalam Perjamuan Kudus saya diperintahkan mengambil, memakan, dan meminum tubuh dan darahNya yang dilambangkan oleh roti dan anggur. Saya sama sekali tidak sangsi bahwa Dia sendiri sungguh-sungguh menyajikannya kepada saya dan bahwa saya benar-benar menerimanya. Kehadiran tubuhNya adalah sebagaimana dikehendaki oleh hakikat sakramen; dan kami berkata bahwa kehadiran itu menyatukan diri dengan kekuatan dan akibat yang begitu besar, sehingga tidak hanya jiwa kita diberi kepastian yang tak kenal keraguan akan kehidupan kekal, tetapi kita dinyatkannya juga mengenai kekekalan daging kita. Bukankah daging kita sekarang dihidupkan oleh dagingNya yang kekal dan dalam arti tertentu ikut ambil bagian dalam kekekalanNya?[37] Dari penjelasan tersebut, menurut pemahaman saya bahwa Calvin memberitahukan bahwa sakramen itu adalah suatu media untuk menuju hidup yang kekal tanpa ada keragu-raguan atau ketidakpastian. Roti dan anggur telah diperuntukkan kepada kita sebagai tubuh dan darah Kristus dan melalui sakramen ini, kita telah turut mengambil bagian dalam kekekalaNya di hari eskaton kelak.
        IV.      DIMENSI ESKATOLOGIS DALAM PERJAMUAN KUDUS
Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku’ (Mat. 26:29). Nas tersebut merupakan perkataan Yesus yang dituliskan oleh penulis Matius ketika Ia akan mengadakan perjamuan dengan para muridNya. Perkataan itu mengajak atau mengundang kita untuk bersama-sama denganNya mengadakan perjamuan di kerajaan BapaNya kelak. Pada saat misteri konsekrasi[38] berlangsung kita diajak untuk mengingat Dia yang telah memperdamaikan kita dengan Bapa dan kita dilayakkan menjadi anakNya. Ada dua elemen yang terkandung dalam Perjamuan Kudus yakni roti dan anggur. Bagi Katolik, roti digantikan menjadi hosti. Michael Keene menuliskan kata hosti berasal dari bahasa latin hostia yang berarti ’kurban yang dipersembahkan.[39]
Apabila kita melihat peristiwa paskah orang Ibrani sebelum keluar dari perbudakan Mesir, mereka mengadakan perjamuan. Perjamuan itu merupakan suatu perjamuan untuk menyambut hari kelepasan mereka dari perbudakan Mesir. Perjamuan itulah yang disebut dengan perjamuan Paskah (bdk. Kel.12:43-50). Acara minum anggur dalam pesta paskah merupakan suatu tanda sukacita dan gembira (bdk. Ul.14:26). Maka tidaklah mengherankan jika kitab suci dan tradisi, kepuasan yang terdapat dalam anggur benar-benar menjiwai citra kerajaan Mesianik (lih. Yes.25:6-9). Meja perjamuan Paskah yang tidak saja penuh dengan berbagai macam hidangan, tetapi juga dengan piala yang berisi anggur, membuktikan kenyataan bahwa pesta itu dirayakan dalam pengharapan bahwa pembebasan yaitu eksodus baru tidak lama akan datang.[40]
Orang Yahudi melakukan perjamuan paskah (termasuk Yesus) untuk memperingati nenek moyang mereka menyambut hari kelepasan dari perbudakan menuju kehidupan yang baru, keluar dari Mesir menuju Kanaan. Allah telah mendengarkan teriakan minta tolong orang Ibrani ketika mereka diperbudak. Allah tidak berdiam diri, Allah mengutus Musa untuk membawa mereka keluar dari perbudakan Mesir. Sebelum mereka keluar dari Mesir, mereka pada malam harinya melakukan perjamuan Paskah untuk menyambut kelepasan mereka.
Pada masa sekarang, sebahagian orang Kristen (Yahudi dan non-Yahudi) melakukan perjamuan Paskah atau Perjamuan Kudus untuk peringatan akan Dia yang telah menetapkan perjamuan Kudus. Perjamuan merupakan perjamuan terakhir yang dilakukan oleh Yesus kepada murid-muridNya tatkala Ia ditangkap, menderita, mati, kemudian dikuburkan dan dibangkitkan. Semuanya itu dilakukan untuk membebaskan manusia dari perbudakan dosa (Perjamuan Kudus menuju pengampunan dosa (Mat. 26:28)). Pengampunan dosa menurut saya bertujuan untuk memperdamaikan manusia dengan Allah, melayakkan manusia dihadapan Allah. Melalui Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh Yesus merupakan suatu pengharapan menuju exodus baru dimana manusia akan dibebaskan atau dilepaskan dari perbudakan dosa. Selain dari perbudakan dosa, manusia melalui Perjamuan Kudus akan diperhadapakan dari pengharapan untuk masa depan. Pengharapan tersebut berisikan suatu kelepasan dari penderitaan, baik itu penderitaan karena struktur pemerintahan, maupun karena ketidak-adilan dan sebagainya.
Siapa yang layak menerima Perjamuan Kudus ini? Menurut saya, orang yang layak menerima sakramen ini ialah orang yang telah menyesali dosanya, orang yang menderita karena kebenaran atau Kristus bukan karena kejahatannya (1Pet.2:20; 1Pet.3:14), bagi orang yang lemah, yang tidak berpengharapan, bagi yang orang yang sangat bergumul karena kejahatan yang ada di dunia ini bagi orang yang memiliki pergumulan iman dalam kehidupannya.
Apakah anak-anak dapat mengikuti Perjamuan Kudus? Pertanyaan tersebut merupakan suatu pertanyaan awal dari pertanyaan, apakah anak-anak dapat ikut menerima pengharapan masa depan melalui Perjamuan Kudus? Menurut saya, anak-anak layak menerima keselamatan di masa yang akan datang. Namun hendaknya dipahami bahwa pemberian keselamatan itu merupakan suatu anugrah dari Allah melalui baptisan.
 Perjamuan ini tidak ditujukan kepada orang menganggap kudus dirinya, menganggap dirinya tidak berdosa, dan orang yang belum mengakui dosanya. Karena Perjamuan Kudus ini dilakukan untuk penghapusan dosa bagi orang yang telah mengakui dosanya. Jika Perjamuan Kudus dilakukan bagi orang yang tidak berdosa, bagi orang yang kudus, maka apa yang harus dihapuskan dari padanya? Tidak ada seorang pun yang tidak berdosa (Rom.3:23). Ketika Perjamuan Kudus dilakukan, maka orang yang mengikutinya akan mengalami suatu pengharapan untuk masa depan, dimana pengharapan itu muncul di tengah-tengah penderitaan yang dialami dalam kehidupannya. Pengharapan itu terkandung dalam Perjamuan Kudus itu ketika peserta ekaristi melakukan untuk mengingat Dia.
Yesus berkata: ’perbuatlah demikian untuk peringatan akan Aku (1Kor. 11:24-25). Peringatan akan Aku berarti, ingatlah Aku yang telah menebus engkau, yang telah mendamaikan engkau dengan Bapa melalui kematianKu (Rom.5:10) dan yang dibangkitkan oleh Bapa agar kamu juga menerimanya di hari kebangkitan kelak, ingatlah Aku yang telah memberitahukan apa yang terjadi di akhir zaman (Mat. 13:39-49; Yoh.12:48). Ingatlah Dia yang karenaNya engkau telah menderita sehingga, kamu akan dipermuliakan bersama-sama dengan Dia (Rom.8:17). Engkau akan mendapat mahkota kehidupan apabila engkau setia sampai mati kepadaNya (Why.2:10).
Perjamuan Paskah tidak saja menoleh ke belakang, tetapi juga membuka kemungkinan untuk melihat kenyataan masa kini dan menaruh pengharapan pada masa depan yang tertuju pada pembebasan yang telah lama dinanti-nantikan. Paskah yang Yesus rayakan bersama para muridNya di Yerusalem telah terjadi dalam keadaan yang dapat dicirikan sebagai yang menimbulkan kegentaran. Kesungguhan masa kini menayangi masa lampau dan masa depan yang penuh sukacita. Sejak perjalanan masuk ke Yerusalem ancaman penangkapan dan nampak sebagai pendag Damecles di atas kepala Yesus. Pada mulanya, para pemimpin Yahudi belum berani menentangNya karena mereka belum tahu pasti bagaimana rakyat akan bereaksi.[41]
Apabila pengharapan mendesak orang Kristen ke dalam kontradiksi yang menyakitkan antara janji dengan kenyataan masa kini, hal ini sekaligus mendorong dia ke dalam dunia. Kontradiksi timubul dari suatu pengharapan bagi dunia , bagi seluruh kenyataan duniwi ini, yang ia ungkapkan dalam semua kesengsaraannya. Jadi penderitaan orang Kristen adlah suatu solidaritas kasih dengan seluruh ciptaan yang menderita, dan suatu solidaritas yang penuh pengharapan dalam kerinduan akan transformasi seluruh ciptaan. Pengharapan dapat memberikan semangat untuk mengubah dunia ke arah transformasi yang dijanjikan, memegang secara imajinatif dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan objektif masa kini yang paling dekat kesesuaiannya dengan Kerajaan yang sedang datang itu.[42]
Apabila sakramen ini dilakukan sebagai peringatan akan Dia, mengingat apa yang telah diperbuatNya bagi kita, maka kita akan diteguhkan. Sehingga kita tetap setia kepadaNya walaupun kita dalam suatu penderitaan, kelemahan, sehingga kita akan dimahkotai kehidupan dan kita ikut dalam perjamuan yang telah dibuat untuk kita di kerajaan BapaNya bersama-sama dengan Dia.
Tidak ada manusia yang berhak menghilangkan Perjamuan Kudus ini atau menghalangi acara ini dijalankan. Karena dunia ini jahat, penuh dengan cobaan yang dapat menghilangkan kesetiaan kita kepadaNya maka Perjamuan Kudus dibuat untuk menguatkan iman orang yang beriman sampai Ia datang dalam kemuliaanNya. Manusia hanya bisa menunggu kapan datangnya hari, dimana Ia datang dalam kemuliaanNya, manusia tidak dapat mengetahui kapan itu akan terjadi.
Dalam Perjamuan Kudus terdapat suatu harapan akan kerajaan Allah yang segera dinyatakan dengan sempurna di dunia ini. Sehingga segala penderitaan, penyakit, para ajaran-ajaran sesat lenyap. Dan manusia bersama-sama akan dibangkitkan kematian mereka, mereka akan diadili sesuai dengan perbuatan mereka, mereka akan diberi keselamatan dan mahkota kehidupan bagi yang setia kepadaNya sampai mati. Anak manusia akan datang dalam kemuliaanNya diiringi malaikat-malaikatNya serta menghakimi manusia menurut perbuatan-perbuatan mereka masing-masing (Mat.16:27).
Oleh karena itu, gereja wajib melayankan Perjamuan Kudus ini sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Yesus Kristus. Gereja tidak bisa membatasi kapan perjamuan ini dilayankan misalnya 2 kali dalam satu tahun, namun gereja sebaiknya melakukannya sesering mungkin. Gereja tidak perlu mengkhawatirkan kekudusan perjamuan ini, karena kekudusan perjamuan ini bukan dari gereja melainkan dari Allah melalui Yesus Kristus. Ialah yang melayakkan kita untuk menerima sakramen ini. Kekudusan perjamuan ini haruslah dihormati bukan dijaga. Biarlah Allah sendiri yang menjaga kekudusan perjamuan itu, gereja cukup untuk menghormatinya. Jika terlalu sering perjamuan ini dilayankan maka semakin seringlah kita mengingat Yesus Kristus dalam penderitaan kita, dalam kelemahan, dalam keberdosaan kita. Oleh karena itu kita menjadi dikuduskan dan ikut serta dalam penderitaanNya, sampai Ia datang untuk menyempurnakan kerajaanNya. Di dalam Perjamuan Kudus kita diteguhkan di dalam pengharapan untuk menuju kesempurnaan Perjamuan Agung di masa depan dalam Kerajaan Allah, Bapa Tuhan Yesus Kristus.

           V.      KESIMPULAN
Perjamuan Kudus merupakan suatu Perjamuan yang ditetapkan oleh Yesus Kristus, Anak Allah yang Maha tinggi, Allah Israel, yang telah melepaskan umatNya Israel dari perbudakan Mesir. Di dalam Perjamuan Kudus kita lakukan karena kita telah menerima anugrah Allah, sehingga kita bersyukur karenanya. Dalam perjamuan itu, kita menerima roti dan anggur sebagai tubuh dan darah kristus, yang telah membebaskan manusia dari dosa, dan kematian (tanatos). Perjamuan ini bukanlah seperti perjamuan makan biasa karena perjamuan ini merupakan perjamuan menuju pelepasan yang dilakukan Allah di dalam diri Yesus kristus, dan telah dikuduskan olehNya.
Melalui Perjamuan Kudus kita telah menerima pengampunan dosa setelah kita mengakui dosa kita. Sehingga kita menerima hidup baru setelah kita menerima sakramen ini. Selain itu juga dalam sakramen in dilakukan untuk mengingat Dia. Jika kita mengingat Dia maka kita akan diteguhkan untuk beriman kepadaNya. Karena kita telah beriman kepadaNya, maka kita akan setia kepadaNya walaupun penderitaan, kelemahan, selalu mengiringi hidup kita, hingga Ia akan datang untuk kedua kali. Pada hari itu manusia akan dihakimi menurut perbuatan mereka masing-masing. Siapa yang tetap setia maka ia akan menerima mahkota kehidupan serta akan dijamu dalam perjamuan makan di Kerajaan Allah.



DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
_______________
1994                                        Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 13, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka
Abineno J.L. Ch.
1987                                        Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, dan Pelayan-pelayannya, Jakarta: BPK-GM
Barth Ch.,
2004                                        Theologia Perjanjian Lama I, Jakarta: BPK-GM

Basiro Umi, dkk (peny),
1989                                        Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Berkhof H.
2005                                        Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM.
Browning W.R.F.,
2007                                        Kamus Alkitab: Panduan dasar ke dalam kitab-kitab, tema, tempat, tokoh, dan istilah Alkitabiah, Jakarta: BPK-GM.
Buckham Richard,
1996                                        Teologi Mesianis: Menuju Teologi Mesianis Menurut Jürgen Moltman, Jakarta: BPK-GM.
Calvin Yohanes,
2005                                        Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK-GM.
Davidson Benjamin,
1993                                        The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon, USA: Hendrickson Publisher
Douglas J.D. (peny)
2004                                        Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid II, Jakarta: YKBK/OFM.
Friedrich Gerhard (edit),
1976                                        Theological Dictionary of The New Testament vol. IX Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eermans Publishing Co.
Heyer C.J. Den,
1997                                        Perjamuan Tuhan: Studi Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, Jakarta: BPK-GM.
Hentz Otto,
2005                                        Pengharapan Kristen: Kebebasan, Kerajaan Allah, Akhir Zaman, Kematian, Kebangkitan, Neraka, Pemurnian, Keabadian, Penghakiman, Yogyakarta: Kanisius
Keene Michael,
2006                                        Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat, Keprihatinan, Pengaruhnya di Seluruh Dunia, Yogyakarta: Kanisius
Kittel Gerhard (edit),
1976                                        Theological Dictionary of The New Testament, vol. II, Grand Rapid, Michigan: W.M.B. Eermans Publishing Company
Lukasik A.,
1991                                        Memahami Perayaan Ekaristi: Penjelasan Tentang Unsur-unsur Perayaan Ekaristi Yogyakarta: Kanisius
Luther Martin,
2007                                        Katekismus Besar Martin Luther, Jakarta:   BPK-GM.
Mounce William D.,
2002                                        The Analytical Lexicon to The Greek New Testament, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House
Muller Richard A.,
1986                                        Dictionary of Latin and Greel Theological Terms, Grand Rapids, Michigan: Baker Book House
Newman Barclay M.,
2004                                        Kamus Yunani – Indonesia, Jakarta: BPK-GM.
Parsons Martin,
1964                                        The Holy Communion: An Exposition of The Prayer Book Service, UK: Hodder and Stoughton
Prent K., J. Adisubrata, W.J.S. Poewadarminta,
1969                                        Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius,

Ursinus Zakharias, Caspar Olevianus,
1993                                        Katekismus Heidelberg: Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK-GM.
Vriezen Th. C.,
2003                                        Agama Israel Kuno, Jakarta: BPK-GM.
Wahono S. Wismoadi,
2004                                        Di Sini Ku Temukan, Jakarta: BPK-GM.
White James F.,
2005                                        Pengantar Ibadah Kristen, Jakarta: BPK-GM.
Williamson G.I.
1993                                                                                The Heidelberg Catechism: A Study Guide, Phillipsburg, New Jersey: P & R
1994                                                                                 
Bahan mata kuliah dan dokumen
Beyer Ulirich,
25 Januari 2008                        Materi Kuliah Teologi Biblika II,
 ______________
2002                                        Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta, Obor


[1] Sakramen merupakan satu istilah dari kerajaan Romawi (sacramentum). Kata ini ditujukan pada seorang perwira Romawi yang mengangkat sumpah di depan bendera. Kemudian Tertulianus menggunakan istilah ini menjadi istilah Rohani. Ulirich Beyer mengajarkan bahwa kata sakramentum diterjemahkan dengan istilah misterion yang berarti suatu yang rahasia. Beyer juga menambahkan bahwa menurut Karl Barth, Yesuslah yang merupakan sacramentum, artinya sesuatu yang rahasia. Beyer juga mengajarkan bahwa menurut Augustinus bahwa sakramentum itu ’Verrum Visibile’ yang berarti ‘firman yang kelihatan’ (Ulirich Beyer, Materi Kuliah Teologi Biblika II, 25 Januari 2008).
[2] Umi Basiro, dkk (peny), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 349
[3] Ibid, 608
[4] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab: Panduan dasar ke dalam kitab-kitab, tema, tempat, tokoh, dan istilah Alkitabiah, Lim Khiem Yang dan Bambang Subandrijo (penerjemah),  (Jakarta: BPK-GM, 2007 ), 232
[5] Liem Khiem Yang: Perjamuan Kudus dalam buku Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 13 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1994), 84
[6] K. Prent, J. Adisubrata, W.J.S. Poewadarminta, Kamus Latin-Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), 157
[7] Richard A. Muller, Dictionary of Latin and Greel Theological Terms, (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1986), 68-69
[8] Libare sanguinem Christi berarti mengambil bagian dalam darah Kristus (ibid. 175).
[9] Ibid. 71
[10] William D. Mounce, The Analytical Lexicon to The Greek New Testament, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 2002), 227
[11] Conzelmann Cart: eucaristew dalam buku Gerhard Friedrich (edit), Theological Dictionary of The New Testament vol. IX (Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eermans Publishing Co., 1976), 411-412
[12]James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, Liem Sien Kie (penerjemah), (Jakarta: BPK-GM, 2005), 227
[13] Barclay M. Newman, Kamus Yunani – Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 68 lihat juga William D. Mounce, Op. Cit. 219
[14] Gerhard Kittel: escatoV, dalam buku Gerhard Kittel (edit), Geoffrey W. Browmiley (penerjemah), Theological Dictionary of The New Testament, vol. II (Grand Rapid, Michigan: W.M.B. Eermans Publishing Company, 1976), 697
[15] Tulisan ini dikutip oleh Richard Bauckham dari A.J. Heschel, The Prophets (New York: Harper & Row, 1962), 235
[16] Richard Buckham, Teologi Mesianis: Menuju Teologi Mesianis Menurut Jürgen Moltman, Liem Sien Kie (penerjemah), (Jakarta: BPK-GM, 1996), 46-47
[17] Ibid, 44-45
[18] Otto Hentz Sj, Pengharapan Kristen: Kebebasan, Kerajaan Allah, Akhir Zaman, Kematian, Kebangkitan, Neraka, Pemurnian, Keabadian, Penghakiman, Sikun Pribadi (penerjemah), (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 62
[19] R.P. Martin: Perjamuan Kudus dalam buku J.D.Douglas (peny) Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid II, (Jakarta: YKBK/OFM, 2004), 247
[20] Benjamin Davidson, The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon, (USA: Hendrickson Publisher, 1993), 628
[21] W.R.F. Browning, Op.Cit. 307
[22] Bdk. Ch. Barth, Theologia Perjanjian Lama I, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 146
[23] Th. C. Vriezen, Agama Israel Kuno,I.J. Caims (penerjemah), (Jakarta: BPK-GM, 2003), 153-154
[24] Ch. Barth, loc. Cit.
[25] Martin Parsons, The Holy Communion: An Exposition of The Prayer Book Service, (UK: Hodder and Stoughton, 1964), 11
[26] S. Wismoadi Wahono, Di Sini Ku Temukan  (Jakarta: BPK-GM, 2004), 461
[27] Ibid, loc.cit
[28] H. Berkhof, Sejarah Gereja, penyadur: I.H. Enklaar, (Jakarta: BPK-GM, 2005), 67
[29] Ibid, 75
[30] J.L. Ch. Abineno, Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, dan Pelayan-pelayannya, (Jakarta: BPK-GM, 1987), 92
[31] ______________Dokumen Konsili Vatikan II,: R. Hardawiryana (penerjemah), (Jakarta, Obor, 2002), 22
[32] A. Lukasik, Memahami Perayaan Ekaristi: Penjelasan Tentang Unsur-unsur Perayaan Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 9-10
[33] Katekismus Heidelberg disusun atas permintaan raja Jerman, Frederik III dari Pfaltz, oleh dua orang mahaguru yang masih muda, Zakharias Ursinus (lhr. 1534) dan Caspar Olevianus (1536). Disusun dalam bahasa Latin dan Jerman. Tidak lama kemudian orang Belanda menyalinnya ke dalam bahasa mereka. Pada masa penulisan itu, gereja insaf akan panggilannya untuk mengakui apa yang diakui. Ketika itu timbullah surat pengakuan sebagai pernyataan keinsyafan itu (Zakharias Ursinus, Caspar Olevianus, Katekismus Heidelberg, Pengajaran Agama Kristen, BPK-GM (penerjemah), (Jakarta: BPK-GM, 1993), 3
[34] G.I. Williamson, The Heidelberg Catechism: A Study Guide, (Phillipsburg, New Jersey: P & R, 1993),127
[35] Ibid,131
[36] Martin Luther, Katekismus Besar Martin Luther, Anwar Tjen (penerjemah), (Jakarta: BPK-GM, 2007)  224
[37] Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Ny. Winarsih dan J.S. Aritonang, Arifin & Th. Van den End (penerjemah), (Jakarta: BPK_GM, 2005), 305-306
[38] Suatu kegiatan apabila pemimpin Perjamuan Kudus mengucapkan penetapan Perjamuan itu ’...ambillah, makanlah inilah tubuhku...ambillah, minumlah inilah darahku...Perbuatlah ini sebagai peringatan akan Daku (1Kor. 11:24-25). Lih. A. Lukasik SCJ, Op.cit. 82-83. Pada saat inilah umat Katolik percaya roti dan anggur sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Kepercayaan ini disebut dengan transubstansiasi.
[39] Michael Keene, Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat, Keprihatinan, Pengaruhnya di Seluruh Dunia, F.A.Soeprapto (penerjemah), (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 112
[40] C.J. Den Heyer, Perjamuan Tuhan: Studi Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, Ny. S.L. Tobing-Karohadiprojo (penerjemah), (Jakarta: BPK-GM, 1997), 39-40
[41] Ibid, 56
[42] Richard Baukham, Op.Cit. 48 – 49